Pendopo

Terhampar seluruh getar hati dalam setiap kata dan maknanya. Terdendang sebuah kisah yang sempat tertoreh di seperempat waktu. Kebahagiaan terasa hanya beberapa kejap dari usia yang tak lagi dihitung oleh hitungan tahun tetapi oleh kedalaman rasa. Maka, di atas sajadah kata ini, ku berusaha memetik dawai hati, nyanyikan kidung sunyi yang rindukan buaian mimpi. Tak usah membuka telinga, belalakkan mata, apalagi memaksa batu bicara pada takdir. Bukan pula penulis, tetapi tetap mencoba menulis.

MEMBONGKAR DISPARITAS PENELITIAN HUKUM

Judul Buku : Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris
Penulis : Dr. Mukti Fajar ND. dan Yulianto Ahmad, MH.
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Januari, 2010
Tebal : xiv + 320 halaman
Peresensi : Anwar Nuris *


Membaca buku ini pertama-tama akan menemukan sebuah ilustrasi yang unik dari solusi dualisme (untuk tidak mengatakan ambiguitas) sistematika penelitian hukum yang selama ini terjadi. Setelah itu pembaca akan dihadapkan pada sajian konkrit aplikatif penelitian hukum normatif dan empiris yang sampai saat ini masih dipertahankan kebenarannya oleh masing-masing penganutnya.

Implementasi metode penelitian hukum dalam dunia akademis maupun non-akademis ibarat ingin memasak nasi goreng dan sup ayam yang notabene masing-masing bahannya berbeda. Begitu pula alat yang digunakan serta tahap memasukkan bahan ke dalam ramuan masakan juga berbeda.

Jika prosedur yang berbeda ini dilanggar maka akan tersaji masakan yang tidak jelas rasanya dan pasti tidak enak. Tidak bisa dibayangkan nasi goreng yang dimasak dalam panci dengan menggunakan air yang banyak, dan sup ayam yang diramu menggunakan wajan dengan bumbu cabe dan minyak sawit. Bisa saja orang tetap ngotot bahwa itu bisa dilakukan, namun prosedur yang dipaksakan tersebut jelas akan menyajikan masakan yang tidak jelas nama dan rasanya.

Begitu pula dengan penelitian hukum yang mendasarkan pada paham normatif akan berbeda dengan yang empiris. Bahan, teori, alat dan proses analisisnya masing-masing mempunyai ketentuan menu sendiri-sendiri. Tetapi orang harus yakin bahwa jika prosedur dan tata caranya diikuti secara konsisten maka akan tersaji hasil penelitian yang enak dan lezat untuk dinikmati. Akhirnya, secara dikotomi tidak bisa mengatakan bahwa nasi goreng itu lebih enak dari sup ayam atau normatif itu lebih baik dari empiris, masing-masing mempunyai cita rasa dan memberikan kelezatan yang tidak bisa dibandingkan satu dengan lainnya.

Faktanya, perbedaan pemahaman mengenai eksistensi ilmu hukum menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan. Perdebatan tersebut didasari oleh perbedaan mengenai batasan definisi hukum itu sendiri, madzhab yang dianut, sejarah perkembangannya, hingga pengkategorian ilmu hukum termasuk dalam ilmu sosial atau berdiri sendiri sebagai ilmu hukum.

Bagi penganut paham positivisme selalu mengatakan bahwa ilmu hukum adalah ilmu yang mendasarkan pada sistem norma yang ekslusif (paham nomatif). Hukum sebagai sistem norma berlaku universal dan tidak terkait dengan kondisi sosial di sekitarnya. Hukum diperuntukkan hanya untuk memberikan justifikasi tentang benar atau salah atas suatu duduk perkara atau kasus hukum yang terjadi. Hukum hanya berfungsi teknis untuk menyelesaikan perkara-perkara hukum oleh para juris atau lawyer di dalam pergaulan masyarakat. Proses berpikir mereka yaitu selalu menggunakan logika deduktif; berangkat pada norma hukum sebagai premis mayor dan melihat duduk perkara sebagai premis minor.

Sementara para ahli yuridis sosiologis beranggapan bahwa hukum tidak bisa lepas dari keberadaannya di masyarakat (paham empiris). Hukum mengalami proses interaksi dengan masyarakat secara empiris materialis (nyata) pada proses penciptaan maupun ketika diterapkan dalam masyarakat. Selain itu, hukum bisa pula dimaknai sebagai gejala sosial dalam bentuk perilaku masyarakat yang ajek dan berulang-ulang.

Diskursus dua kutub di atas timbul karena sisi pandang yang berbeda tetapi keduanya adalah sama-sama benarnya. Hal ini bisa terlihat dari manfaat masing-masing cara pandang para ahli yang mampu memberikan kontribusi tersendiri bagi pengembangan dan perkembangan ilmu hukum.

Meskipun demikian, mencari jalan tengah bukan persoalan mudah, bahkan kadang harus terlibat dengan kekerasan dan pemaksaan pikiran. Tidak hanya mengalami perdebatan panjang yang bukan sekedar arogansi namun lebih pada persoalan persepsi. Sehingga upaya yang lebih mudah adalah menjelaskan perbedaan yang ada dalam garis demarkasi tersebut untuk menempatkan eksistensi masing-masing secara proporsional.

Salah satunya adalah mengkritisi suatu disiplin ilmu pada metode penelitian yang digunakan, karena sampai detik ini penelitian dalam dunia akademis menempati posisi yang sangat urgen, terlepas dari disiplin ilmu yang ditekuninya. Kedudukannya adalah bagian dari proses pengembangan ilmu pengetahuan. Tanpa penelitian ilmiah, ilmu pengetahuan tidak mungkin berkembang. Oleh karena itu, aktifitas penelitian ilmiah menjadi salah satu tugas tri dharma perguruan tinggi dari para intelektual selain dari pendidikan pengajaran dan pengabdian masyarakat.

Akibat yang nyata ketika berbicara tentang metode penelitian sebagai basis pengembangan ilmu hukum adalah menuntut konsistensi dan sistematika yang berbeda agar dapat dirumuskan suatu struktur ilmiah yang dapat diuji dan dikritisi.

Buku ini hadir pada saat yang tepat, di mana upaya penegakan hukum di Indonesia malah menyuburkan ketidakadilan di tengah menjamurnya pengadilan. Buku ini merupakan hasil dari proses panjang penjajakan penelitian hukum. Dua praktisi hukum; Mukti Fajar bersama Yulianto Achmad mencoba memuntahkan kegalauan intelektualnya melihat dualisme penelitian hukum dalam sebuah karya yang brilian; Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.

Buku setebal 320 halaman ini mengulas secara komprehensif, gamblang dan sistematis tentang hukum perspektif teori, definisi, aliran (madzhab), dan metode yang dipakai. Selain itu, juga dipaparkan bagaimana praktek penelitian hukum di lapangan hingga tehnik penulisan hasil penelitian. (Hal. 195)

Terlepas dari wacana yang hendak diusung oleh buku ini, dengan meminjam bahasa Thomas Kuhn bahwa ilmu dari waktu ke waktu mengalami revolusi dimulai dengan perubahan dalam paradigma yang digunakan, maka agar tidak terjadi pengkultusan terhadap buku ini, perlu kiranya berkaca terhadap relatifitas kebenaran sebuah disiplin ilmu yang senantiasa berubah (the changing of science). Ilmu tidak dapat berpretensi (telah) menemukan kebenaran absolut. Kebenaran ilmiah tidaklah bersifat mutlak, tetapi berubah-ubah dan tidak abadi. Ia bersifat nisbi, sementara dan kira-kira.


* Anwar Nuris, Mahasiswa Angkatan 2005 IAIN Sunan Ampel Surabaya. Tulisan ini sudah di muat di Harian Seputar Indonesia, Minggu 28 Februari 2010.
read more “MEMBONGKAR DISPARITAS PENELITIAN HUKUM”

METODE INDUKSI DALAM QAWAID FIQHIYAH


Judul Buku : Hukum Manusia sebagai Hukum Tuhan
Penulis : Dr. H. Abdul Mun’im Saleh, M.Ag.
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Desember, 2009
Tebal : x + 343 halaman
Peresensi : Anwar Nuris*



Secara praktis, fikih biasanya dibahasaindonesiakan dengan hukum Islam yang dalam bahasa Inggris disebut Islamic law atau Islamic jurisprudence. Fikih diartikan oleh Imam Abu Hanifah dengan pengetahuan seseorang tentang hak dan kewajibannya. Cakupan dalam pengertian ini berwilayah amat luas, tetapi filosofinya amat sederhana. Yaitu seseorang yang dalam teksnya dinyatakan al-nafs yang kemudian dinyatakan sebagai pihak yang mempunyai pengetahuan (ma’rifat/knowledge) tentang hak dan kewajibannya.
Hak dan kewajiban merupakan fenomena manusia dalam berinteraksi, sebab sesungguhnya interaksi (sosial) manusia dalam masyarakat itu adalah menunaikan kewajiban dan menerima hak. Hak dan kewajiban bagi manusia itu berdimensi sakral (berhubungan dengan Tuhan) dan berdimensi profan (berkenaan dengan sesama dan lingkungannya). Fenomena ini sebenarnya memperlihatkan bahwa manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon menurut Aristoteles; madaniyyun bit-thab’i menurut Ibnu Khaldun). Dengan demikian, Fikih dalam kawasan yang abstrak adalah pengetahuan manusia tentang posisinya (hak dan kewajiban) sebagai makhluk sosial. Demikianlah sekilas tentang fikih yang berkenaan dengan perbuatan manusia (mukallaf).
Disisi lain, Noel J. Coulson di tengah kritiknya tentang miskinnya aspek historis dalam literatur kajian hukum Islam, menegaskan bahwa sejarah hukum Islam memang sebenarnya ada, dan syari’ah pun menjadi sistem hukum yang berevolusi. Hukum Islam (klasik) merupakan puncak proses kesejarahan dari usaha untuk menerapkan kehendak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Dengan kata lain, ia merupakan usaha untuk menjabarkan kemauan dan ajaran Tuhan dalam istilah-istilah hukum.
Kemauan Tuhanlah yang kita cari, hal itu merupakan cerminan dari sebuah masyarakat yang meyakini hakikat hukum Tuhan adalah hukum Tuhan. Dalam kajian sosiologi hukum, diyakini terdapat korelasi positif antara hakikat hukum bagi masyarakat dengan hakikat sistem sosialnya. Jika orang memahami hukum sebagai fenomena sosial, maka ia akan mengerti lebih banyak tentang masyarakat yang memilikinya. 
Ketika para pemikir Islam beramai-ramai menyerukan ditemukannya nilai Islam yang fundamental (maqashidus syari’ah) untuk menghadapi kasus-kasus hukum baru yang dipicu oleh perubahan sosial yang demikian pesat, mereka belum berhasil mendapatkan solusi bagaimana nilai-nilai itu ditemukan beserta aplikasinya untuk menciptakan sosok fiqh yang dianggap situasional dan dapat dipertanggungjawabkan secara epistimologis menurut Islam.
Masdar Farid Mas’udi mengemukakan bahwa nilai-nilai (ajaran Islam) itu sah dengan sendirinya, bersifat prinsipil dan fundamental serta kebenaran dan keabsahannya tidak memerlukan verifikasi dari luar dirinya, sehingga harus dijunjung tinggi sedemikian rupa dan teks sucipun harus tunduk kepadanya.
Sedangkan Munawir Sjadzali dengan isu reaktualisasi menyerukan ditemukannya apa yang disebut dengan ruh Islam yang paling mendasar. Segala hasil pemahaman dan penafsiran terhadap Islam yang tidak sesuai dengan ruh Islam harus dibongkar. Begitu pula dengan isu yang dihembuskan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan isu pribumisasi Islam dan Nurcholis Madjid dengan argumennya tentang kontekstualisasi ajaran Islam.
Selama masa percaturan pemikiran hukum Islam tersebut, tidak satupun tokoh yang memperhatikan salah satu khazanah keilmuan yang penting bagi umat Islam, yaitu al-qawaidul fiqhiyah. Mereka juga tidak menyodorkan sumbangan kajian aspek metodologis dan hanya berkutat pada perbincangan filosofis.
Al-qawaidul fiqhiyah merupakan kekayaan keilmuan Islam yang bisa disebut sebagai model penemuan maqashidus syari’ah atau nilai-nilai fundamental, karena ilmu ini merupakan aspek prosedural dari pengelolaan maslahah yang telah disepakati sebagai tujuan hukum Islam. Rumusan-rumusan kaidahnya yang bersifat universal-abstrak meniscayakan penggunaan metode induktif, berangkat dari partikular-partikular hasil pemikiran fikih menuju kesimpulan general-universal yang berbasis pada kesamaan atau padanan.
Kaidah-kaidah dari ilmu ini dilukiskan oleh pemikir kontemporer sebagai lukisan yang baik tentang prinsip-prinsip fiqh dan pedoman bagi penyusunan hukum positif (furu’). Para fuqaha’ perintis dan penyusun ilmu ini dengan demikian telah menyediakan fasilitas untuk memandu langkah-langkah penalaran hukum dalam berbagai tingkatannya berikut contoh-contohnya.
Meskipun demikian, diskursus di atas hanya sebatas persepsi orang tentang ijtihad yang selama ini tidak memperhitungkan peranan al-qawaidul fiqhiyah. Berfikir mengembangkan hukum Islam tanpa menyertakan fasilitas yang diberikan ilmu hukum Islam adalah menyalahi logika kemajuan ilmu pengetahuan yang selalu merupakan akumulasi pengetahuan dari masa lalu untuk dijadikan pijakan kemajuan masa kini dan mendatang.
Buku Hukum Manusia sebagai Hukum Tuhan, Berpikir Induktif Menemukan Hakikat Hukum Model Al-Qawaid Al-Fiqhiyah ini bermaksud menjelaskan makna dari segala aktifitas pemikiran hukum di luar apa yang secara konvensional disebut ijtihad yang biasanya dipersepsi sebagai aktifitas nalar deduktif atas sumber tekstual (nash) dan secara tipikal bisa dipahami sebagai bidang peranan ilmu ushul fiqh saja. 
Buku setebal 343 halaman ini disamping mengkaji keterlibatan metode induktif dalam pengembangan fiqh juga bisa disimak bagaimana pembacaan kritis penulis terhadap kitab yang dikaji yaitu Al-asbah wan nazhair susunan as-Suyuthi sebagai kitab yang paling popular di dunia Islam. (Hal. 168)
Meskipun berasal dari proses penelitian akademis (desertasi), dengan bahasa lugas yang mudah dipahami oleh kaum awam sekalipun, buku ini menjelaskan secara detail mekanisme-aplikatif metode induksi dalam penyusunan kaidah fiqh serta implementasinya dalam proses pengembangan hukum Islam sehingga hasilnya tetap diyakini sesuai dengan bingkai hukum Tuhan.

* Peresensi adalah kandidat Es Wan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, sekarang masih nyantri di Pondok Budaya IKON Surabaya. Tulisan ini sudah di NU Online PB NU, Edisi 18 Februari 2010.


read more “METODE INDUKSI DALAM QAWAID FIQHIYAH”

HUMANISASI METODE PEMBELAJARAN


Judul Buku : Cooperative Learning, Teori dan Aplikasi PAIKEM
Penulis : Agus Suprijono
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : November 2009
Tebal : xvi + 189 halaman
Peresensi : Anwar Nuris *


Education is not a preparation for life, education is life itself.

Pendidikan bukanlah persiapan untuk kehidupan, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. (John Dewey)

 

Apa yang dikhawatirkan oleh dua tokoh pendidikan, Paolo Freire dan Ivan Illich, bahwa pendidikan sekolah lebih sering menjadi alat legitimasi oleh sekelompok elit sosial politik untuk menjinakkan kesadaran kritis masyarakat, mendekati kebenarannya. Ivan Illich melalui Deschooling Society-nya mengungkapkan bahwa anggapan mengenai sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan adalah bias dari kehidupan kapitalis yang telah merasuk dalam kesadaran masyarakat. Menurutnya, sekolah adalah fenomena modern yang lahir seiring dengan perkembangan masyarakat industri kapitalis. Konspirasi terselubung antara pendidikan dan kapitalisme menurutnya juga tak lepas dari dukungan pemerintah (kekuasaan), sehingga daya hegemonik yang diciptakannya menjadi massif.

Sedangkan bagi Paolo Freire sendiri, ada dua pandangan dunia (world view) yang mempersepsikan manusia kepada dunianya. Pertama, melihat manusia sebagai objek yang dapat dibentuk dan disesuaikan. Dalam konsep ini manusia berdiam diri, kalaupun melakukan tindakan hanya bersifat pasif atau patuh tanpa ada waktu untuk merefleksikan diri. Pola pendidikan yang berdasarkan pandangan pertama ini diterapkan untuk melanggengkan status quo karena proses belajar hanya sebatas proses transfer pengetahuan sehingga manusia hanya menampung pengetahuan tersebut atau lebih dikenal dengan “gaya bank”.

Kedua, melihat manusia sebagai subyek, makhluk yang bebas dan mampu melampaui dunia. Pendidikan diarahkan agar manusia bisa berpikir untuk diri sendiri dan dapat berintegrasi di dunianya melalui aksi dan refleksi. Cara pandang yang melihat manusia sebagai subjek, pada gilirannya melahirkan pendidikan hadap masalah. Gaya pendidikan hadap masalah bukan bertujuan membentuk manusia yang hanya mampu beradaptasi, tetapi manusia harus mampu berintegrasi dengan lingkungannya dan melakukan perubahan.

Namun dalam konteks pendidikan di Indonesia, terdapat kejanggalan mengenai proses yang diterapkan. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya disparitas antara pencapaian academic standard dan performance standard. Faktanya, banyak peserta didik mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimanya, namun pada kenyataannya mereka tidak memahaminya. Mayoritas peserta didik tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan.

Disparitas terjadi karena pembelajaran selama ini hanyalah suatu proses pengkondisian-pengkondisian yang tidak menyentuh realitas alami. Pembelajaran berlatar realitas arti fisial. Aktifitas kegiatan belajar mengajar selama ini merupakan pseudo pembelajaran. Terdapat jarak cukup jauh antara materi yang dipelajari dengan peserta didik sebagai insan yang mempelajarinya.

Sebagai medium pendekat antara materi dan peserta didik pada pembelajaran arti fisial adalah aktifitas mental berupa hafalan. Pembelajaran lebih menekankan memorisasi terhadap materi yang dipelajari dari pada struktur yang terdapat di dalam materi itu. Pembelajaran ini melelahkan dan membosankan. Belajar bukan manifestasi kesadaran dan partisipasi, melainkan keterpaksaan dan mobilisasi. Dampak psikis ini tentu kontra produktif dengan hakikat pendidikan itu sendiri yaitu memanusiakan manusia atas seluruh potensi kemanusiaan yang dimiliki secara kodrati.

Pembelajaran menunjuk pada proses belajar yang menempatkan peserta didik sebagai center stage performance. Pembelajaran lebih menekankan bahwa peserta didik sebagai makhluk yang berkesadaran memahami arti penting interaksi dirinya dengan lingkungan yang menghasilkan pengalaman. Yaitu dalam mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan yang dimilikinya.

Buku Cooperative Learning ini hadir sebagai implikasi kerisauan penulis atas sistem pembelajaran yang masih kaku, dan masih banyak diterapkan di lembaga pendidikan di Indonesia. Buku ini bermaksud merenovasi pembelajaran bagi peserta didik untuk menuju pembelajaran yang berkualitas, humanis, organis, dinamis, dan konstruktif. Yaitu dengan pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM).

Pondasi kritis dan rasional PAIKEM adalah filsafat konstruktifisme. Berdasarkan konstruktifisme pembelajaran ini merupakan proses konstruksi pengetahuan, bukan duplikasi pengetahuan. Pengetahuan di konstruk pada latar kenyataannya, bukan seharusnya. Pengetahuan yang di pelajari dan disetting berdasarkan autentisitasnya, bukan arti fisialnya. PAIKEM sebagai proses learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together mendorong terciptanya kebermaknaan belajar bagi peserta didik. (hal. 31).

Nilai plus buku setebal 189 ini adalah di samping menjelaskan kerangka teori yang meliputi arti belajar, dukungan teoritis, model pembelajaran, dan pembelajaran kontekstual, juga mengulas bagaimana mempraktikkan metode-metode PAIKEM; mulai dari metode jigsaw hingga metode student teams-achievement divisions. Karena itu, dalam proses belajar mengajar, apa, mengapa, dan bagaimana PAIKEM merupakan rumusan-rumusan yang harus dijawab guru dan jawaban tersebut merupakan pengetahuan deklaratif, struktural, dan prosedural yang hampir semuanya tersaji dalam buku ini. Aspek pengetahuan-pengetahuan tersebut penting sebagai landasan bagi guru maupun calon guru dalam berpikir logis dan bertindak professional atas profesinya.

Dus, pembelajaran sebagai key word pendidikan seyogyanya mengajari bagaimana caranya belajar dan bukan memberikan instruksi tentang suatu pelajaran tertentu. Apa yang harus dipelajari tidaklah benar-benar penting. Yang penting adalah bagaimana cara mempelajarinya. Implementasi berbagai metode pembelajaran yang disajikan buku ini, niscaya proses pembelajaran akan lebih manusiawi.

 

Anwar Nuris, kontributor Pondok Budaya IKON Surabaya. Tulisan ini sudah di muat di Harian Radar Surabaya, Minngu, 10 Januari 2010

read more “HUMANISASI METODE PEMBELAJARAN”

DESAKRALISASI TEKS AL-QUR’AN


Judul Buku : Metodologi Studi Al-Qur’an
Penulis : Abd. Moqsith Ghazali, dkk.
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : I; November 2009
Tebal : xxvi + 176 halaman
Peresensi : Anwar Nuris *

Sejak Edward Said melakukan serangan terhadap orientalisme, studi kritis tentang sejarah pembentukan Islam menjadi sebuah anatema (sesuatu yang kurang disukai). Sarjana Muslim yang hendak melakukan studi kritis terhadap Al-Qur’an, Hadis maupun sejarah Nabi Muhammad, akan ragu, karena mereka khawatir disamakan dengan para orientalis yang memang memiliki citra sangat buruk di dunia Islam.
Dengan beban psikologis seperti itu, studi kritis terhadap sumber-sumber Islam klasik tak bisa lagi dilakukan secara bebas. Para sarjana Islam yang mencoba melakukan kritik terhadap tradisi Islam klasik merasa perlu terlebih dahulu melakukan disclaimer bahwa mereka bukanlah orientalis, dan apa yang mereka lakukan sesungguhnya demi kebaikan peradaban Islam, dan bukan karena membela kepentingan Barat atau orientalisme.
Beban psikologis itu tentu amat mengganggu, menguras energi dan waktu. Alih-alih memfokuskan diri kepada pokok pembahasan, para sarjana Muslim sibuk berdebat tentang hal-hal yang sama sekali tidak pokok. Padahal, kalau mereka langsung masuk ke pangkal permasalahan tanpa terlalu mempersoalkan dari mana sebuah metode ilmu didapat, maka akan banyak hal yang bisa dihasilkan dengan segera.
Begitu juga yang terjadi pada proses pemahaman terhadap Al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi yang berisi nilai-nilai universal. Sebagaimana dimafhum bersama, nilai-nilai dasar Al-Qur’an mencakup berbagai aspek kehidupan manusia secara utuh dan komprehensif (Q.S. al-An῾am: 37). Tema-tema pokoknya mencakup aspek ketuhanan, manusia sebagai individu dan anggota masyarakat, alam semesta, kenabian, wahyu, eskatologi, serta makhluk spiritual. Eksistensi, orisinalitas, dan kebenaran ajarannya dapat dibuktikan oleh sains modern (Q.S. al-Hujurat: 9), sedang tuntunan-tuntunannya adalah rahmat bagi semesta alam (Q.S. al-Furqan: 1).
Namun demikian, Islam sendiri bukanlah suatu creatio ex nihilo, ciptaan yang meloncat begitu saja dari ruang kosong. Begitu juga Al-Qur’an yang tidak lepas dari historisitas-sosiologisnya. Al-Qur’an tidak boleh ditonjolkan sebagai kitab (teks) antik yang harus dimitoskan maupun dikultuskan, karena hal tersebut bisa menciptakan jarak antara Al-Qur’an dengan realitas sosial. Al-Qur’an di satu pihak diidealisasi sebagai sistem nilai sakral dan transendental, sementara di pihak lain realitas sosial yang harus dibimbingnya begitu pragmatis, rasional, dan materialistis.
Nashr Hamid Abu Zayd dalam salah satu karyanya; Mafhum al-Nash; Dirasat fi Ulum al-Qur’an menegaskan bahwa peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks. Artinya perlu adanya penakwilan dan reinterpretasi teks-teks keagamaan untuk menyemangati nilai-nilai kemanusiaan. Karena yang berkembang selama ini hanya penafsiran yang mengunggulkan aspek transendensi dan sakralitas, tapi mengenyampingkan aspek historisitas-sosiologis yang menyapa realitas kemanusian dengan santun dan elegan. Seperti yang dilakukan oleh kaum fundamentalis dengan pemahaman agama yang bersifat literalis-skripturalistik dan bibliolatrik menyebabkan supremasi teks yang berlebihan, dimensi manusia (ghayah al-insan) hilang dari modus keberagamaan, serta pengasingan manusia dari pengalaman spiritualnya sendiri.
Fenomena ambiguitas seputar teks di atas membuat para pemikir muda merasa galau dan risau. Adalah Abd. Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, dan Ulil Abshar Abdalla yang mencoba menarik napas kegalauan dan memuntahkannya dalam sebuah karya brilian, Studi Metodologi al-Qur’an. Mereka yang dilahirkan dari rahim kaum tradisional-liberal (baca: Nahdlatul Ulama/NU), mampu melakukan terobosan pemikiran yang melampaui khazanah tradisionalismenya. Buku ini menjadi bukti otoritas keilmuannya dalam membedah diskursus metodologi yang tertancap dalam kitab suci Al-Quran.
Mereka melakukan penjelajahan khazanah keilmuan Al-Quran, sehingga menghasilkan sintesis pemikiran yang memukau: alternatif metodologi atau wajah baru pemahaman Al-Quran sebagai kitab yang tidak lepas dari kerangka historisitasnya. Penjelajahannya dalam samudera keilmuan metodologi studi Al-Quran bisa terlihat dari pembacaan kritisnya atas al-Itqan fi Ulum al-Quran karya Jalal al-Din al-Suyuthi dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi.
Buku Metodologi studi Al-Qur’an yang di tulis oleh tiga intelektual muslim generasi baru yang paham khazahah klasik dan khazanah modern ini pasti akan mendorong diskusi sehat dan dewasa di kalangan umat Islam di Indonesia yang semakin cerdas. Penulis menyorot proses penulisan wahyu yang notabene sebagai domain iman yang berada di seberang ranah ilmu pengetahuan. Begitu juga bagaimana misalnya kompleksitas penulisan dan kodifikasi Al-Qur’an berlangsung hingga bagaimana cara memaknai dan menafsirkan Al-Qur’an dalam konteks sekarang.
Buku setebal 176 halaman ini bermaksud memberikan pemaknaan terhadap Al-Qur’an dari sudut normatif sekaligus historisnya. Di samping memiliki nilai partikular yang historis-tarikhi, tak bisa disembunyikan bahwa dalam Al-Qur’an juga terkandung nilai universal yang meta-historis-all tarikhi. Posisi Al-Qur’an yang selalu berada di antara dua ketegangan (kesementaraan dan keabadian, partikularitas dan universalitas, ushuliyyat dan furu’iyyat) menyebabkan Al-Qur’an sebagai kitab suci selalu menarik untuk dikaji dan ditelaah.
Tidak seperti umumnya buku-buku tentang Al-Qur’an yang suka menenggelamkan kritik historisnya, buku ini sengaja menyingkap tirai (kasyf al-mahjub) kesejarahan Al-Qur’an secara dingin dan objektif. Oleh karena itu, lebih bijaksana jika tidak di hadapi dengan anarkisme intelektual bagi mereka yang tidak setuju dengan pemikiran para penulis buku ini.


* Anwar Nuris, Mahasiswa semester bonus Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, sekarang nyantri di Pondok Budaya IKON Surabaya. Tulisan ini sudah di muat di Harian Duta Masyarakat, Ahad, 27 Desember 2009.
read more “DESAKRALISASI TEKS AL-QUR’AN”

GERAKAN PENA KAUM SARUNGAN


Judul Buku : Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Penulis : Rizal Mumazziq Zionis, dkk.
Editor : Tsanin A. Zuhairi, S,Hi, M.Si.
Prolog : Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si
Penerbit : Muara Progresif, Surabaya
Cetakan : I; 2009
Tebal : vii + 224 halaman
Peresensi : Anwar Nuris *

Verba volant, scripta manent
(kata-kata akan sirna, tulisan akan membuatnya abadi)

Di tengah maraknya santri pesantren saat ini yang syndrom jejaring sosial semacam Facebook sebagai media sharing dan menulis, terdapat anekdot menarik yang berkembang dikalangan mereka. Seorang santri yang tidak mau dan mampu menulis, ibarat burung bersayap satu. Burung itu hanya mampu meloncat dari satu dahan ke dahan yang lain, atau terbang pendek dari satu pohon ke pohon lain yang jaraknya sangat dekat. Santri yang tidak mau menulis hanya mampu mengaji dan mengkaji dari satu halaqah ke halaqah yang lain. Santri yang mau menulis akan mampu mengembangkan pemikiran dan ilmu mereka lebih luas, tanpa dibatasi oleh sekat apapun, terlebih di era digital seperti sekarang ini.
Mereka (santri) sepertinya tersihir oleh lembar sejarah kepenulisan para pendahulunya. Aviecena (Ibnu Sina) yang dikenal karena kepakarannya di bidang kedokteran. Buah karyanya berjudul al-Qanuun fi al-Thibb menjadi rujukan beberapa fakultas kedokteran di Barat. Bahkan dengan karyanya itu, ia dinobatkan sebagai bapak kedokteran dunia. Selain itu ada Imam al-Ghazali dengan magnum opus-nya Ihya’ Ulumiddin yang konon menjadi rujukan negeri Barat dan Eropa selama lebih kurang 7 abad lamanya. Al-Khawarizmi, Omar Khayyam, Nashir Al-Din Thusi sang profesor Matematika, Ibnu Al-Haytam yang ahli Eksprimentalis, Al-Biruni sang pegiat Fisika, Ar-Razi yang menggeluti ilmu Kimia, dan masih banyak yang lainnya.
Buah pemikiran cendikiawan yang dituangkan dalam bentuk tulisan tersebut telah merubah peradaban dunia hingga seperti sekarang. Berkat buku yang di dalamnya terdapat banyak ilmu pengetahuan telah menjadikan dunia lebih berwarna. Alam tidak lagi gelap karena Thomas Alfa Edison yang telah menemukan listrik. Manusia bisa bepergian cepat sampai tujuan dengan sarana kereta api berkat mesin uap yang ditemukan James Watt. Karya-karya mereka lah yang membuat mereka dikenal. Karya yang tidak lapuk oleh waktu, karena ditulis dalam sebuah media bernama buku atau kitab, sehingga bisa dinikmati oleh generasi yang jauh di bawahnya.
Dalam konteks Indonesia, Tradisi kepenulisan juga amat kuat. Banyak cendekiawan Islam di negeri ini yang menulis buku, kitab, atau pun karya tulis yang lain. Mayoritas dari mereka dididik dan dibesarkan oleh lingkungan pesantren.
Sebagaimana kita ketahui, pesantren memiliki tradisi unik dan unggul yang jarang didapat pada lembaga lain. Dan salah satu keunikan tersebut adalah tradisinya dalam mengembangkan warisan keilmuan ulama salaf (al-salaf al-shaleh). Pola gerakan yang dilakukan ulama salaf untuk memperoleh dan mentransformasikan keilmuannya tidak hanya membaca dan mengkaji, tetapi berkontemplasi dan kemudian menerjemahkan pemikirannya dalam bentuk tulisan.
Mereka (ulama salaf) mampu melahirkan dan mewariskan karya-karya tulis yang ternyata masih dipelajari oleh berbagai pondok pesantren atau sekolah sampai sekarang. Tidak sedikit pula dari karya ulama atau kiai Indonesia yang dikenal luas di berbagai belahan bumi. Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Al-Tirmasi, atau Syekh Yasin Al-Fadani Al-Makky adalah di antara para punggawa pesantren di Indonesia yang karyanya telah melabuhi pemikiran intelektual Islam di berbagai Negara.
Selain mereka, “santri Indonesia” yang lain juga banyak menelorkan karya-karya yang bagus dan monumental. Beberapa nama yang dapat disebut di antaranya adalah KH. Ma’shum Ali dengan al-Amtsilatut Tashrifiyah, KH. Hasyim Asy’ari dengan Adab al-Alim wa al-Muta’allim, KH Bisri Mustofa dengan Tafsir al-Ibriz dan KH. Sahal Mahfudz dengan Thariqah al-Ushul ala al-Ghayah al-Ushul. Rata-rata tulisan mereka tetap di baca saat ini bahkan menjadi referensi utama dalam setiap kajian maupun pengajian dilingkungan pesantren.
Dus, santri sebagai salah satu elemen pesantren tidak hanya ta’dzim terhadap pemikiran gurunya, tetapi juga patuh dan meniru dalam usaha mendapatkan pemikiran kreatif. Kreatifitas menulis yang dikembangkan kaum santri akan menjadi media dakwah sejati bagi umat Islam dan untuk generasi mendatang nanti. Pesantren tidak akan disebut lembaga eksklusif bila mampu melahirkan pemikiran kreatif serta ide-ide cerdas demi pengembangan dan dakwah Islam sesuai dengan visi dan misi pesantren.
Oleh karena itu, persepsi yang berkembang bahwa tradisi menulis di kalangan santri kini lengang dan seakan mati suri itu tidak benar adanya. Buku Jalan Terjal Santri menjadi Penulis ini hadir sebagai bukti bahwa kaum santri intelektual (pesantren) telah "berusaha" mengikuti gerakan pena para pendahulunya meskipun hanya sebatas tulisan pendek (opini, artikel, antologi sastra, kolom, dan lain-lain) yang tersebar di media massa maupun elektronik.
Buku ini juga sebagai antitesa terhadap anggapan mayoritas masyarakat bahwa menulis itu adalah bakat. Faktanya, menulis dapat dipelajari asal ada kemauan, keberanian, dan ketekunan berlatih. Dengan kemauan kuat, setiap orang akan mahir menulis. Membaca teori saja tidak pernah cukup. Ibarat orang belajar berenang, kalau hanya membaca teori tanpa pernah mempraktikkan, tentu dia tidak akan bisa berenang. (hal. 20-21).
Buku setebal 224 halaman ini merupakan kumpulan tulisan (curhat) tentang lika-liku penulis pemula maupun yang sudah agak tua dalam upaya menyuratkan ide yang tersirat. Mereka yang mayoritas santri asli Jawa Timur ini sebagian besar telah menempuh Perguruan Tinggi. Mereka aktif diberbagai kajian dan aktivitas yang tak jauh dari minat mereka. Adalah Rijal Mumazziq Zionis, Noviana Herliyanti, Nur Faishal, Mohammad Suhaidi RB, Ach. Syaiful A’la, Azizah Hefni, Ahmad Muchlish Amrin, Salman Rusydi Anwar, Muhammadun AS, Ana FM, Ahmad Khotib, Fathorrahman JM, dan Hana Al-Ithriyah.
Dengan menulis mereka dapat mengatasi rasa amarah, iri, kelemahan diri, dan kebencian yang ada di hati. Menulis jelas sangat membantu mereka untuk mengatasi rasa sok tahu. Menulis dapat membuat diri lebih berhati-hati dalam memutuskan sesuatu.
Dari tulisan-tulisan mereka dalam buku ini dapat diketahui bahwa jalan terjal yang dimaksud yaitu; memelihara keinginan dan semangat yang kuat, manajemen waktu yang mapan, banyak membaca dan berfikir, optimistis, komitmen dan idealisme yang tinggi, membebaskan diri dari keterikatan rasa salah, serta mencari dan menemukan tanpa menunggu berpangku tangan.
Sebuah buku yang melelahkan namun mata tak mau terpejam.

* Anwar Nuris, Alumnus Pondok Pesantren Nasy-atul Muta’allimin Gapura Sumenep Madura, sekarang nyantri di Pondok Budaya IKON Surabaya. Tulisan ini sudah di muat di Media Elektronik NU Online, PBNU.


read more “GERAKAN PENA KAUM SARUNGAN”

MEMBUMIKAN MANAJEMEN DALAM DUNIA PENDIDIKAN


Judul Buku : Education Management; Analisis Teori dan Praktik
Penulis : Veithzal Rivai & Sylviana Murni
Penerbit : Rajawali Pers, Jakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal : xxii + 916 halaman
Peresensi : Anwar Nuris *
Management is doing things right; leadership is doing the right things
(Peter Drucker)

Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life dalam arti pendidikan sebagai persoalan hidup dan kehidupan maka diskursus seputar pendidikan merupakan salah satu topik yang selalu menarik. Setidaknya ada dua alasan yang dapat diidentifikasi sehingga pendidikan tetap up to date untuk dikaji. Pertama, kebutuhan akan pendidikan memang pada hakikatnya krusial karena bertautan langsung dengan ranah hidup dan kehidupan manusia. Membincangkan pendidikan berarti berbicara kebutuhan primer manusia. Kedua, pendidikan juga merupakan wahana strategis bagi upaya perbaikan mutu kehidupan manusia, yang ditandai dengan meningkatnya level kesejahteraan, menurunnya derajat kemiskinan dan terbukanya berbagai alternatif opsi dan peluang mengaktualisasikan diri di masa depan.
Dalam tataran nilai, pendidikan mempunyai peran vital sebagai pendorong individu dan warga masyarakat untuk meraih progresivitas pada semua lini kehidupan. Di samping itu, pendidikan dapat menjadi determinan penting bagi proses transformasi personal maupun sosial. Dan sesungguhnya inilah idealisme pendidikan yang mensyaratkan adanya pemberdayaan.
Namun dalam tataran ideal, pergeseran paradigma yang awalnya memandang lembaga pendidikan sebagai lembaga sosial, kini dipandang sebagai suatu lahan bisnis basah yang mengindikasikan perlunya perubahan pengelolaan. Perubahan pengelolaan tersebut harus seirama dengan tuntutan zaman.
Situasi, kondisi dan tuntutan pasca booming-nya era reformasi membawa konsekuensi kepada pengelola pendidikan untuk melihat kebutuhan kehidupan di masa depan. Maka merupakan hal yang logis ketika pengelola pendidikan mengambil langkah antisipatif untuk mempersiapkan diri bertahan pada zamannya. Mempertahankan diri dengan tetap mengacu pada pembenahan total mutu pendidikan berkaitan erat dengan manajemen pendidikan adalah sebuah keniscayaan. 
Pembenahan secara total meliputi segala aspek. Jika ini dilakukan maka akan membentuk sebuah jaringan yang kuat yang secara serentak melaju mencapai tujuan/sasaran. Dengan demikian maka sebuah lembaga pendidikan akan tetap eksis dan terus berkembang dalam kancah persaingan global.
Kepekaan melihat kondisi global yang bergulir dan peluang masa depan menjadi modal utama untuk mengadakan perubahan paradigma dalam manajemen pendidikan. Modal ini akan dapat menjadi pijakan yang kuat untuk mengembangkan pendidikan. Pada titik inilah diperlukan berbagai komitmen untuk perbaikan kualitas. Manakala tahu melihat peluang, dan peluang itu dijadikan modal, kemudian modal menjadi pijakan untuk mengembangkan pendidikan yang disertai komitmen yang tinggi, maka secara otomatis akan terjadi sebuah efek domino (positif) dalam pengelolaan organisasi, strategi, SDM, pendidikan dan pengajaran, biaya, marketing pendidikan.
Untuk menuju point education change (perubahan pendidikan) di atas secara menyeluruh, maka manajemen pendidikan adalah hal yang harus diprioritaskan untuk kelangsungan pendidikan sehingga menghasilkan out-put yang diinginkan. Walaupun masih terdapat institusi pendidikan yang belum memiliki manajemen yang bagus dalam pengelolaan pendidikannya. Manajemen yang digunakan masih konvensional, sehingga kurang bisa menjawab tantangan zaman dan terkesan tertinggal dari modernitas. (hal. 633)
Dengan semangat education changes, pertanyaan lain kemudian muncul, mau dikemanakan arah pendidikan di Indonesia saat ini?. Pertanyaan ini dilatarbelakangi oleh ketidakjelasan arah pendidikan di negeri ini; setiap ganti kepemimpinan, ganti kebijakannya. Seolah-olah pendidikan di Indonesia tidak memiliki blue print yang jelas. Belum pada tingkat yang lebih rendah, misalnya, dalam kaitan teknis pendidikan, banyak sekali instiotusi pendidikan (baik pada tataran sekolah hingga perguruan tinggi) pengelolaannya tidak profesional. Mulai perencanaan, sistem pendidikan, sarana-prasarana, Sumber Daya Manusia (SDM), hingga sistem manajemennya.
Kalau manajemen pendidikannya sudah tertata dengan baik dan membumi, niscaya tidak akan lagi terdengar tentang pelayanan sekolah yang buruk, minimnya profesionalisme tenaga pengajar, sarana-prasarana tidak memadai, pungutan liar, hingga kekerasan dalam pendidikan. (Hal. 47)
Hal ini mengakibatkan sasaran-sasaran ideal pendidikan yang seharusnya bisa dipenuhi ternyata tidak bisa diwujudkan. Parahnya terkadang para pengelola pendidikan tidak menyadari akan hal tersebut. Oleh karena itu, buku Education Management; Analisis Teori Dan Praktik ini secara mendetail sistematis mengulas teori-teori paling mendasar dalam dunia kependidikan, sehingga dapat digunakan sebagai pijakan menanggapi setiap problematika negatif yang mengancam keberlangsungan pendidikan yang ideal. Selain itu juga sebagai counter balances akan isu-isu yang berkaitan dengan manajemen pendidikan dalam wilayah praksis dan riil.
Buku setebal 916 halaman ini memberikan ruang diskursus lebih mendalam, tidak hanya teori tetapi juga wilayah praktiknya. Yang agak berbeda dengan buku manajemen pendidikan lainnya, buku yang ditulis oleh Veithzal Rivai dan Sylviana Murni ini berangkat dari pengembangan unsur terpenting pendidikan (Sumber Daya Manusia), yaitu gagasan dasar pendidikan sebagai proses di mana seseorang memperoleh pengetahuan (knowledge acquisition), mengembangkan kemampuan/keterampilan (skills developments) sikap atau mengubah sikap (attitute change). Pendidikan adalah suatu proses transformasi anak didik agar mencapai hal-hal tertentu sebagai akibat proses pendidikan yang diikutinya.
Buku ini juga berangkat dari asumsi dasar teori manajemen, bahwa manajemen pendidikan dalam perkembangannya memerlukan apa yang dikenal dengan Good Management Practice untuk pengelolaannya. Buku ini hadir tepat pada waktunya, yaitu ketika praktek Good management practice dalam pendidikan masih merupakan suatu hal yang elusif. Banyak penyelenggara pendidikan yang beranggapan bahwa manajemen pendidikan bukanlah suatu hal yang penting, karena kesalahan persepsi yang menganggap bahwa domain manajemen adalah bisnis.
Dengan bahasa yang mudah dipahami, buku ini mampu menjelaskan teori-teori manajemen yang rumit; education change, total quality management, hingga management by objective. Sebuah oase deskriptif pendidikan yang melelahkan.

* Mahasiswa Semester Bonus Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan Nyantri di Padepokan IKMAS (Ikatan Mahasiswa Sumenep) di Surabaya. Tulisan ini sudah di muat di Harian Duta Masyarakat, Edisi Minggu 16 Agustus 2009.


read more “MEMBUMIKAN MANAJEMEN DALAM DUNIA PENDIDIKAN”

ILMU FILSAFAT VERSUS FILSAFAT ILMU


(Kajian Etimologis-terminologis)

A. HANTARAN
Ada yang mengasumsikan bahwa filsafat itu sulit, sulit dalam artian bukan karena tidak adanya definisi apa itu filsafat, melainkan karena terlalu banyaknya definisi yang di introdusir oleh para tokoh filsafat. Filsafat sudah menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, mempunyai ruang definisi-perspektif masing-masing, baik dalam kerangka ontologism, epistimologis, dan aksiologis, layaknya disiplin ilmu pengetahuan yang yang lain. 
Salah satu cara untuk mempermudah memahami filsafat adalah mengetahui filsafat dalam bingkai histories-geneologis, artinya filsafat harus diketahui dari proses sejarah pemikiran, aliran dan tokoh filsafat yang bersangkutan. hal ini dimungkinkan dapat mengetahui dan mampu mengidentifikasi kerangka ontologism, epistimologi, dan aksiologis disiplin ilmu ini.
Dus, perlu ada semacam pengkajian awal terhadap preodisasi yang (dalam hal ini adalah filsafat barat) dibuat oleh para ahli filsafat. Secara umum, periodisasi pemikiran filsafat barat itu dapat di bedakan dan di klasifikasikan sebagai berikut;

B. DESKRIPSI
1. Zaman Yunani Kuno (5 SM – 2 M)
Pada masa ini filsafat lebih bercorak Kosmosentris, artinya para filsuf pada waktu itu mengarahkan perhatian mereka terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan asal mula terjadinya alam semesta. Mereka berupaya mencari jawaban tentang prinsip pertama (arkhe) dari alam semesta, oleh karena itu mereka lebih dikenal dengan julukan “filsuf-filsuf alam”. Tokoh yang termasyhur pada zaman ini antara lain; Thales, Anaximandros, Anaximenes, dan lain-lain. 
2. Zaman Klasik Yunani (5 SM – 2 M)
Pada masa ini filsafat lebih bercorak Antroposentris, artinya para filsuf dalam periode ini menjadikan manusia (antropos) sebagi objek pemikiran filsafat mereka. Mereka berupaya mencari jawaban tentang masalah etika (filsafat tingkah laku) dan juga tentang hakikat manusia. Tokoh kesohor pada masa ini antara lain; Socrates, Plato, Aristoteles. Mereka di juluki filsuf klasik, karena ide-ide mereka tetap aktual.
3. Abad Pertengahan (2 - M)
Pada masa ini filsafat lebih bercorak Theosentris, artinya para filsuf dalam periode ini menjadikan filsafat sebagai abdi agama atau filsafat diarahkan pada masalah ketuhanan. Suatu karya filsafat dinilai benar sejauh tidak menyimpang dari ajaran agama (Christiany). Tokoh yang paling piawai pada masa ini antara lain; Agustinus dan Thomas Aquines.
4. Zaman Renaissance (14 – 16 M)
Pada masa ini para ahli fakir berupaya melepaskan diri dari dogma-dogma agama. Bagi mereka citra filsafat yang paling bergengsi adalah zaman klasik Yunani. Oleh karena itu mereka mendambakan kelahiran kembali filsafat yang bebas, radikal, tidak terikat pada ajaran agama. Cita-cita ini terwujud dengan baik karena ditunjang oleh factor penyebab sebagai berikut;
a. Pudarnya kewibawaan dewan gereja yang dianggap terlalu banyak mencampuri kegiatan ilmiyah. Misalnya saja yang terjadi pada seorang filsuf, bruno, lantaran kegiatan ilmiyahnya dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama.
b. Orang tidak lagi mempercayai nilai universalisme yang dianggap terlalu abstrak. Orang lebih mendambakan nilai-nilai individualisme yang bersifat konkret dan lebih banyak memberikan kesempatan untuk menggunakan akal piker secara bebas.
5. Abad Modern (16 – 19 M)
Corak pemikiran filsafat pada masa ini kembali pada masalah Antroposentris, serupa dengan masa klasik Yunani, namun lebih mengagungkan kemampuan akal piker manusia. Tokoh yang termasyhur pada masa ini antara lain; Rene Descartes, David Hume, Immanuel Kant, Wilhem Frederick Hegel, dan August Comte. Pendewaan terhadap akal pikir manusia itu tampak jelas dalam semboyan Descartes, Cogito Ergo Sum.
6. Abad Keduapuluh
Meskipun sulit untuk menentukan corak pemikiran filsafat yang khas pada masa ini, namun banyak ahli filsafat yang bercorak Logosentris, lebih dominan dari yang lain. Logosentris artinya, mayoritas filsuf pada masa ini melihat bahasa sebagai objek terpenting pemikiran mereka. Tokoh yang paling piawai pada masa ini antara lain; G. E Moore, Bethrand Russell, Wittgenstein, Ryle, Austin, dan lain sebagainya.

C. FILSAFAT; TITIK TOLAK KEHAUSAN BERFIKIR
Lahirnya filsafat yaitu bermula dari aktivitas berpikir manusia. Berpikir yang dapat disebut berfilsafat adalah berpikir yang radikal (mendasar, mendalam, sampai ke akar), sistematis (teratur, logis dan tidak serampangan) dan universal (umum, terintegral). Yang pada akhirnya tujuan berfilsafat adalah memperoleh pengetahuan yang menyangkut kebenaran.
Bertrand Russel (1946) dalam bukunya “History of Western Philosophy” mengatakan munculnyafilsafat di Yunani akibat kemahiran bangsa Yunani di dalam merajut dan menyempurnakan peradaban besar lainnya pada saat itu, Mesir dan Mesopotamia. Tesis B. Russel tersebut nampaknya sejalan dengan pandangan Van Peursen yang paling tidak memiliki tiga ciri perkembangan yang khas, yaitu; mistis, ontologis dan fungsional.
Hambatan-hambatan yang terjadi sebelum filsafat muncul, masyarakat Yunani masih menggantungkan diri kepada mitos, legenda, kepercayaan dan agama untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan mereka. Akan tetapi sekitar abad ke-7 SM di Yunani mulailah berkembang suatu pendekatan yang berlainan disbanding masa-masa sebelumnya, yaitu melalui pendekatan filsafat. Dari sinilah peradaban Yunani mengalami titik balik peradaban yang cukup menakjubkan. Sebab, pada saat itu orang-orang mulai berpikir dan berdiskusi tentang keadaan alam, dunia dan lingkungan sekitar dengan tidak lagi menggantungkan diri kepada mitos, legenda, kepercayaan dan agama. Tetapi, mereka mulai menggunakan rasio dan akal sehat dalam rangka untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kehidupan.
Thales adalah seorang filosof pertama yang berjasa melahirkan gagasan-gagasan kritis mengenai semua kehidupan ini yang kata Thales berawal dari Air. Lalu, tesis tersebut mengundang perdebatan hingga sampai saat ini dan melahirkan banyak aliran pemikir, ilmuwan dan pemikir besar dunia.
Peristiwa munculnya filsafat di Yunani terbilang sebagai peristiwa unik dan ajaib (The Greek Miracle). Ahli filsafat K. Bertens (1990) menyebutkan ada tiga factor, yaitu :
• Mitos bangsa Yunani. Layaknya pada bangsa-bangsa besar lainnya, Yunani juga memiliki mitologi. Mitologi tersebut dapat dianggap sebagai perintis yang mendahului filsafat pasalnya, mite-mite sudah menjadi percobaan untuk mengerti (processing to know).
• Kesusastraan Yunani. Dua karya puisi Homeros (Iliyas dan Odyssea) mempunyai kedudukan istimewa. Syair-syair dalam karya tersebut telah lama digunakan sebagai semacam buku pendidikan untuk rakyat Yunani.
• Pengaruh ilmu pengetahuan. Pada bangsa Yunanilah di dapatkan ilmu-ilmu pengetahuan yang bercorak dan sungguh-sungguh ilmiah.
Secara etimologi filsafat berasal dari bahasa yunani philosophia yang berarti “love of wisdom” atau cinta kebijaksanaan, cinta keareifan, cinta pengetahuan, yang menurut sejarah istilah philosophia pertama kali digunakan oleh Pythagoras sekitar abad ke-6 SM.
Secara terminologi, banyak definisi tentang pengertian filsafat, yang dari situlah menunjukkan bahwa manusia memiliki sebuah kebebasan untuk memilih sudut pandang dalam berfilsafat seperti definisi dari beberapa filosof dan ahli filsafat, yaitu :
1. Para Filosof Pra-Socrates
Filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam dan realitas dengan mengandalkan akal.
2. Plato (427-347 SM)
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni
3. Aristoteles (384-322 SM)
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realitas yang ada
4. Rene Descrates (1596-1650)
Filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan manusia
5. William James (1842-1910)
Filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berpikir yang jelas dan terang
6. R.F Beerling
Filsafat adalah mempertanyakan tentang kenyataan seluruhnya atau tentang hakikat, asas, prisip dari kenyataan
7. Louis O. Kattsoff
Filsafat adalah suatu analisa secara hati-hati terhadap penalaran-penalaran mengenai suatu masalah, dan penyusunan secara sengaja serta sistematis suatu sudut pandang yang menjadi dasar suatu tindakan.
8. Harold H. Titus
Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan. Filsafat adalah kumpulan masalah yang mendapat perhatian manusia dan diberikan jawaban oleh ahli filsafat
9. Poedjawijatno
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki ketyerangan atau sebab yang sedalam-dalamnya.
10. Sidi Gazalba
Filsafat adalah system kebenaran tentang segala sesuatu yang dipersoalkan sebagai hasil dari berpikir secara radikal, sistematis dan universal.
11. Lorens Bagus
Filsafat adalah upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.
Filsafat adalah disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu manusia melihat apa yang dikatakan dan mengatakan apa yang manusia lihat.
Definisi tentang filsafat yang ada dapat dipahami behwa filsafat sangat erat hubungannya dengan kegiatan pemikiran atau berpikir yang dilakukan manusia, yang sasaran pemikirannya mengarah pada segala sesuatu yang ada secara keseluruhan. Adanya interaksi dan saling berhubungan antara ilmu dan filsafat. Banyak persoalan filsafat yang memerlukan lanjutan dasar pada pengetahuan ilmuah apabila pembahasannya tidak ingin keliru.
Ilmu khusus memiliki konsep dan asumsi yang tidak perlu dipersoalkan. Terhadap ilmu khusus filsafat, secara kritis menganalisis konsep-konsep dan memeriksa asumsi-asumsi dari ilmu- ilmu untuk memperoleh arti dan validitasnya.
Jadi, filsafat berusaha untuk mengatur hasil-hasil dari berbagai ilmu-ilmu khusus ke dalam suatu pandangan hidup dan dunia yang tersatupadukan, komprehensif dan konsisten.

DAFTAR PUSTAKA

Moh. Hatta, Alam Fikiran Yunani, 5-12.
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, 18-26.
Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, 141.
Bertrand Russel, History of Western Philosophy, (London: George A. & Unwin Ltd., 1946), 3.
Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy, Terj. Soejono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995), 4.
Poedjawijatno, Pebimbing ke Arah Alam Filsafat (Jakarta: Bina Aksara, 1986), 8.
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 24.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama, 2000), 242.

Disampaikan dalam Local Discussion Komunitas Sastrawan Intelektualis SENJANUARI Surabaya, Bidang Kurikulum “Filsafat; introdusir-hegemonic sejarah masa lalu’, Sabtu, 30 Maret 2008.


read more “ILMU FILSAFAT VERSUS FILSAFAT ILMU”

EVOLUSI IDEOLOGI


Anwar Nuris *
 
“Tanpa definisi, kita tidak akan pernah bisa sampai pada konsep” (Ibnu Sina)
 
Ideologi perspektif etimologi berasal dari kata idea = pikiran, dan logos = ilmu. Jadi secara terminologi, ideologi berarti studi tentang gagasan, pengetahuan kolektif, pemahaman-pemahaman, pendapat-pendapat, nilai-nilai, prakonsepsi-prakonsepsi, pengalaman-pengalaman, dan atau ingatan tentang informasi sebuah kebudayaan dan juga rakyat individual. Filsuf Perancis, Antoine Destutt de Tracy (1754-1836), yang pertama kali menciptakan istilah Ideologi pada 1796, mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang pikiran manusia (sama seperti biologi dan zoologi yang merupakan ilmu tentang spesies) yang mampu menunjukkan jalan yang benar menuju masa depan.
D.D. Raphael mengatakan, ideologi biasanya dimaknai sebagai sebuah doktrin yang bersifat preskriptif yang tidak didukung oleh argumentasi rasional. Ilmu mengenai ide yang semula merupakan filsafat akal yang memperoleh ide atau gagasan dari akal (sebagai lawan dari metafisika), dari bahasa francis ideologie, studi atau ilmu mengenai ide-ide. 
Beberapa kalangan lain mendefinisikan istilah ideologi sebagai sebuah doktrin yang ingin mengubah dunia. Ada juga yang mengualifikasikan ideologi sebagai sesuatu yang visioner tapi, lebih banyak lagi mengualifikasikannya sebagai sesuatu yang bersifat hipotetis, tak terkatakan, dan tidak realistis, bahkan lebih dari itu, adalah sebuah penipuan kolektif oleh seseorang atau yang lain, yang mengarah pada pembenaran atau melegitimasi subordinasi satu kelompok oleh kelompok lain, dengan jalan manipulasi sehingga menyebabkan ketidaknyamanan yang berhubungan dengan kekerasan sistematik dan teror yang kemudian berujung pada imperialisme, perang, dan pembersihan etnis.
Dalam literature Arab, istilah ideologi adalah Mabda’ yang secara etimologis berasal dari mashdar mimi dari kata bada’a-yabda u-bad’an wa mabda’an yang berarti permulaan. Secara terminologis berarti pemikiran mendasar yang dibangun diatas pemikiran-pemikiran (cabang )
Dalam Al-Mausu’ah al-Falsafiyah, di sana disebutkan Al-Mabda’ (ideologi) adalah pemikiran mendasar (fikrah raisiyah) dan patokan asasi (al-qaidah al-asasiyah) tingkah laku. Dari segi logika, al-mabda’ adalah pemahaman mendasar dan asas setiap peraturan.
Selain definisi di atas, berikut ada beberapa definisi lain tentang ideologi:
 Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan atau aqidah 'aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan.
 Ideologi adalah studi terhadap ide – ide/pemikiran tertentu (Destutt de Tracy).
 Ideologi adalah inti dari semua pemikiran manusia (Rene Descartes).
 Ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa (Machiavelli).
 Ideologi adalah suatu cara untuk melindungi kekuasaan pemerintah agar dapat bertahan dan mengatur rakyatnya (Thomas H).
 Ideologi adalah sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup (Francis Bacon).
 Ideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat (Karl Marx).
 Ideologi keseluruhan pemikiran politik dari rival–rivalnya (Napoleon Bonaparte).
 Ideologi (Mabda’) adalah Al-Fikru al-asasi al-ladzi hubna Qablahu Fikrun Akhar, pemikiran mendasar yang sama sekali tidak dibangun (disandarkan) di atas pemikiran pemikiran yang lain. Pemikiran mendasar ini merupakan akumulasi jawaban atas pertanyaan dari mana, untuk apa dan mau kemana alam, manusia dan kehidupan ini yang dihubungkan dengan asal muasal penciptaannya dan kehidupan setelahnya (Muhammad Muhammad Ismail).
 Ideologi adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi rasional (aqidah aqliyah), yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi metode untuk mengaktualisasikan ide dan solusi tersebut, metode mempertahankannya, serta metode menyebarkannya ke seluruh dunia (Dr. Hafidh Shaleh).
 Mabda’ adalah suatu aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Yang dimaksud aqidah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan Zat yang ada sebelum dan sesudah alam kehidupan di dunia ini. Atau Mabda’ adalah suatu ide dasar yang menyeluruh mengenai alam semesta, manusia, dan hidup. Mencakup dua bagian yaitu, fikrah dan thariqah (Taqiyuddin An-Nabhani).
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa Ideologi (mabda’) adalah pemikiran yang mencakup konsepsi mendasar tentang kehidupan dan memiliki metode untuk merasionalisasikan pemikiran tersebut berupa fakta, metode menjaga pemikiran tersebut agar tidak menjadi absurd dari pemikiran-pemikiran yang lain dan metode untuk menyebarkannya.
Pada prinsipnya terdapat tiga arti utama dari kata ideologi, yaitu pertama, ideologi sebagai kesadaran palsu. Biasanya dipergunakan oleh kalangan filosof dan ilmuwan sosial. Ideologi adalah teori-teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya. Ideologi juga dilihat sebagai sarana kelas atau kelompok sosial tertentu yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. 
Kedua, ideologi dalam arti netral. Dalam hal ini ideologi adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini terutama ditemukan dalam negara-negara yang menganggap penting adanya suatu “ideologi negara”. Disebut dalam arti netral karena baik buruknya tergantung kepada isi ideologi tersebut.
Dan ketiga, ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah. Biasanya digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Segala pemikiran yang tidak dapat dibuktikan secara logis-matematis atau empiris adalah suatu ideologi. Segala masalah etis dan moral, asumsi-asumsi normatif, dan pemikiran-pemikiran metafisis termasuk dalam wilayah ideologi.
Kembali pada evolusi definitive ideology, di tangan de Tracy, pengertian ideologi bersifat netral, jauh dari makna yang dilontarkan oleh para definitor yang lain. Tetapi, kenyataannya istilah ideologi tak sesederhana yang dirumuskan de Tracy. Bahkan, seperti dikatakan Ania Loomba, istilah ideologi merupakan salah satu istilah yang paling kompleks dan paling sulit dipahami dalam pemikiran sosial, dan merupakan bahan perdebatan berkelanjutan.
Rolf Schwarz, dalam artikelnya What is Ideology, misalnya, mendefinisikan ideologi sebagai, kepercayaan atau sekumpulan kepercayaan, khususnya kepercayaan politik yang mana rakyat, partai, atau negara mendasarkan tindakannya.
Paling tidak, meminjam rumusan Eatwell dan Wright, ideologi dapat dibagi ke dalam beberapa hal: pertama, ideologi sebagai pemikiran politik; kedua, ideologi sebagai norma dan keyakinan; ketiga, ideologi sebagai bahasa, simbol, dan mitos; keempat, ideologi sebagai kekuasaan elit.
Karena sarat kontroversi, tak heran jika makna ideologi berubah menjadi jelek (peyoratif). Lantas, dari mana datangnya perubahan makna ideologi yang bersifat peyoratif itu?. Masih menurut Eatwell dan Wright, itu semua bermula dari Napoleon Bonaparte (1796-1821). Ketika berhadapan dengan kekuasaan tradisional yang legitimasinya semakin memudar, Bonaparte adalah orang yang tertarik pada karya de Tracy karena mendukung ambisi politiknya. Tapi, begitu kursi kekaisaran telah didudukinya, Bonaperte berpaling memusuhi kelompok de Tracy. Kali ini, demi memperoleh dukungan dari kelompok-kelompok tradisional, khususnya gereja Katolik, Bonaparte menuduh kelompok de Tracy sebagai "ideologis."
Kata Eatwell dan Wright, Napoleon kemudian memulai sebuah kritik yang panjang dimana ia menghubungkan ideologi dengan sifat-sifat seperti keinginan a priori untuk menjatuhkan kehidupan lama atau tradisional dan "memajukan" kehidupan manusia, dan atau untuk mendukung keyakinan yang cocok dengan kepentingan mereka yang memproklamirkan ideologi tersebut. (de Tracy adalah seorang republikan liberal yang membayangkan suatu dunia baru di mana kaum intelektual seperti dirinya akan memainkan suatu peranan yang signifikan).
Sejak saat itu, demikian Schwarz, ideologi diasosiasikan dengan orang yang visioner dan teoritikus yang tidak bersentuhan dengan kenyataan, tapi pada saat yang sama tetap berpegang pada pandangannya sendiri, keras kepala, dan dogmatik.
Kita lihat, perlahan-lahan mulai terjadi evolusi pengertian ideologi, dari yang semula bersifat netral menjadi sebuah penghakiman terhadap perbedaan atas dasar kepentingan politik. Dari sebuah ilmu yang mempelajari tentang gagasan menjadi sebuah pengertian yang sinis, jelek, dan tidak ilmiah. Di sini istilah ideologi kedudukannya lebih rendah dari ilmu pengetahuan atau teori. Mungkin itu sebabnya kaum intelektual lebih enjoy disebut akademis, filsuf, atau teoritikus, dari pada disebut sebagai ideolog.
***
Di bawah ini terdapat bermacam bentuk ideology dan tokohnya, tergantung teritorial diskursus dan objek formal kajiannya. Dalam dunia politik terdapat paham Batllisme (José Batlle y Ordóñez), Blairite atau Blairisme (Tony Blair). Castroisme (Fidel Castro). Chavisme (Hugo Chávez). Clintonisme (Bill Clinton). Francoisme (Francisco Franco). Gandhisme (Mahatma Gandhi). Gaullisme (Charles de Gaulle). Jacobitisme (James II dari Inggris). Josephinisme (Joseph II, Kaisar Romawi Suci). Kaczisme (Jarosław Kaczyński). Kemalisme (Mustafa Kemal Atatürk). Kimilsungisme (Kim Il-Sung). Leninisme (Vladimir Lenin). Machiavellianisme (Niccolò Machiavelli). Maoisme (Mao Zedong). Marxisme (Karl Marx). McCarthyisme (Joseph McCarthy). Nasserisme (Gamal Abdel Nasser). Pabloisme (Michel Pablo). Peronisme (Juan Perón). Reaganisme (Ronald Reagan). Sandinisme (Augusto César Sandino). Shachtmanisme (Max Shachtman). Soekarnoisme (Soekarno). Sparticisme (Spartacus). Stalinisme (Joseph Stalin). Strasserisme (Gregor dan Otto Strasser). Thatcherisme (Margaret Thatcher). Titoisme (Josip Broz Tito). Trotskyisme (Leon Trotsky). Uribisme (Álvaro Uribe). Whitlamisme (Gough Whitlam). Yeltsinisme (Boris Yeltsin). Zapatisme (Emiliano Zapata), dan lain-lain.
Sedangkan dalam Agama dan falsafah, terdapat paham Ahmadiyyah (Mirza Ghulam Ahmad). Alevi (Ali). Althusserianisme (Louis Althusser). Amish (Jacob Amman). Arianisme (teolog Arius). Aristotelianisme (Aristotle). Arminianisme (Jacobus Arminius). Augustinisme (Agustinus dari Hippo). Averroisme (Averroes). Bábisme (the Báb). Badawiyyah (Ahmad al-Badawi). Bahá'í Faith (Bahá'u'lláh). Basilideans (Basilides). Bektashi (Hajji Bektash Wali). Benthamisme (Jeremy Bentham). Buchmanisme (Frank N. D. Buchman). Buddhisme (Buddha). Darbyisme (John Nelson Darby). Darqawa (Muhammad al-Arabi al-Darqawi). Dominikan (Dominikus dari osma). Epicureanisme (Epicurus). Erastianisme (Thomas Erastus). Febronianisme (Justinus Febronius). Feeneyisme (Leonard Feeney). Fransiskan (Fransiskus dari Assisi). Georgisme (Henry George). Hanafi (Abu Hanifa an-Nu‘man). Hegelianisme (Georg Wilhelm Friedrich Hegel). Hobbesianisme (Thomas Hobbes). Hutterit (Jakob Hutter). Ismailiyah (Ismail bin Jafar). Jansenisme (Cornelius Jansen). Jerrahi (Pir Nureddin al-Jerrahi). Kalvinisme (Yohanes Kalvin). Kantianisme (Immanuel Kant). Kekristenan (Yesus Kristus). Khalwati (Umar Khalwati). Konfusianisme (Konfusius). Kubrawiyyah (Najmeddin Kubra). Laestadianisme (Lars Levi Laestadius). Lutheranisme dan Neolutheranisme (Martin Luther). Maniisme (Mani/nabi). Martinisme (Louis-Claude de Saint-Martin). Mennonite (Menno Simons). Millerite (William Miller). Mohisme (Mozi). Montanisme (Montanus). Naqshbandi (Baha-ud-Din Naqshband Bukhari). Nestorianisme (Nestorius). Nimatullahi (Shah Nimatullah). Pelagianisme (Pelagius). Platonisme dan Neoplatonisme (Plato). Puseyisme (Edward Bouverie Pusey). Pyrrhonisme (Pyrrho). Qadiriyyah (Abdul Qadir Jaylani). Randianisme (Ayn Rand). Rastafarianisme (Ras Tafari). Raëlisme (Raël). Rifaiyyah (Ahmed ar-Rifa'i). Sabellianisme (Sabellius). Safaviyeh (Safi Al-Din). Senussi (Muhammad ibn Ali as-Senussi). Shadhili (Abu-l-Hassan ash-Shadhili). Socinianisme (Laelius Socinus). Spinozisme (Baruch Spinoza). Suhrawardiyyah (Abu al-Najib al-Suhrawardi). Thomisme (Thomas Aquinas). Tijaniyyah (Sidi Ahmed al-Tidjani). Wahhabisme (Muhammad ibn Abd-al-Wahhab). Yazidisme (Yazid I). Wycliffite (John Wycliffe). Zahediyyah (Zahed Gilani). Zoroastrianisme (Zoroaster). Zwingliisme (Huldrych Zwingli), dan sebagainya.
Demikian juga dalam aspek Ekonomi, terdapat paham Friedmanisme (Milton Friedman). Keynesianisme (John Maynard Keynes). Malthusianisme (Thomas Malthus). Dan lain sebagainya. Sedangkan pada wilayah Ilmiah, diantaranya paham Cartesian (René Descartes). Comtisme (Auguste Comte). Darwinisme (Charles Darwin). Lamarckisme (Jean-Baptiste de Lamarck). Dan masih banyak yang lainnya sesuai dengan spesifikasi pencetusnya, misalnya terdapat paham Fordisme (Henry Ford). Freudianisme dan post-Freudianisme (Sigmund Freud). Masochisme (Leopold von Sacher-Masoch). Sadisme (Donatien-Alphonse-François de Sade). Taylorisme (Frederick Winslow Taylor). Victorianisme (Ratu Victoria).
 
* Selaku editor data mentah bersama team kreatif Ideologi yang disampaikan pada “Wong Tuwo” Dewan Kemitraan Agung (DEKAN) Ikatan Mahasiswa Sumenep (IKMAS) di Surabaya.
read more “EVOLUSI IDEOLOGI”

SURAT UNTUKKU


Anwar Nuris *

Hari ini adalah hari pertamaku masuk kuliah semester III. Semester I dan II telah aku lewati dengan berbagai sejarah kelam. IPK anjlok 1.57, terkena skors 3 minggu karena menghilangkan buku perpustakaan 3 ekslamper sekaligus, surat peringatan dari rektorat karena lambat membayar Herregistrasi. Lebih-lebih surat dari jurusan karena jarang kuliah hingga satu semester, tanpa ada keterangn cuti atau alasan lain. Yang lebih menyedihkan, di putus oleh sang pacar karena terindikasi perselingkuhan. Pada hal, saat malam minggu kemarin, yang aku ajak nonton bioskop hanya sebatas teman dekat.
Jam di dinding sudah meniti angka 6.30 WIB, angka yang begitu dingin, sedingin pagi ini. Sebenarnya jam segini adalah rutinitas yang tidak boleh aku tinggalkan sejak semester kemarin, memeluk bantal, berselimut, tidur di kost sendirian. Tapi untuk semester ini ada kebijakan baru dari fakultas. Jam intensif Bahasa Inggris untuk setiap jurusan pada jam 07.00 WIB hingga jam 08.00 WIB.
Dengan langkah lemas, kuraih handuk kumuh di gantungan baju. Meskipun udara masih dingin, aku coba membulatkan hati untuk tetap ke kampus. Bukan karena jam tambahan intensif bahasa, tetapi karena ada inisiatif baru di kepalaku untuk sekedar melihat-lihat pemandangan alam, makhluk tuhan yang begitu elok nan ayu. Mungkin ada mahasiswi yang cocok, berkenan mengganti kekosongan pasca di putus pacarku yang dulu. Semangat untuk mencari gebetan baru.
Tidak sampai 7 menit, prosesi mandi sudah selesai. Berdandan ala kadarnya, karena memang sejak dulu, aku bukanlah tipe orang yang rajin berhias diri, bagiku yang penting suci.
Sudah siap berangkat dengan tas mungilku sejak semester dua, tas yang hanya berisi ballpoint dan buku catatan. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara ketukan di daun pintu. Tidak biasanya sepagi ini aku dengar ketukan pintu. Tidak mungkin sepagi ini teman-temanku bertamu, ataupun pak kost untuk menagih uang kost, uang listrik atau PDAM. Mungkin orang lain.
“Selamat pagi, Mas..!, apa benar ini Mas Roni?”, dengan sopan pak pos yang kelihatannya masih muda itu menyalamiku sebelum mengutarakan apa maksudnya ke kostku.
“Selamat pagi juga. Ya, benar sekali, ada sesuatu untuk saya?”, balasku seraya sedikit merendahkan bahu tanda menghormatinya.
“Iya, ini”. Sambil merogoh tas orange yang digendongnya, dikeluarkannya satu amplop kecil dan disodorkannya padaku. Aku terima amplop itu dengan wajah penasaran apa gerangan isinya. Setelah kutanda tangani surat tanda terimanya, Pak pos tadi pamit mohon diri.
Aku membolak-balik amplop itu untuk menemukan siapa pengirimnya. Aku temukan; Pengirim: Dede A. Ziyad, Jl. Anggrek 09. Gapura, Sumenep - Madura. Aneh, tidak biasanya kakakku mengirim surat. Kalau ada sesuatu yang penting, atau paling tidak mengetahui kabarku di perantauan, dia hanya memberitahuku dan bertanya via SMS.
Setelah kututup pintu kost, aku duduk di kursi reot yang terdapat di pojok kost. Aku sobek memanjang ujungnya dan ku keluarkan isinya. Ternyata hanya surat biasa, dua lembar kertas ukuran kwarto dengan tulisan tangan. Tanpa pikir panjang kubaca surat itu.

Buat Yth; Adikku
di Perantauan.
Mungkin adik bertanya-tanya, di zaman yang serba maju ini, era globalisasi dan tehnologi, kakak masih sempat menulis surat. Kakak mengakui, zaman sekarang ini semuanya serba cepat, ruang dan waktu bisa diperpendek dan dipersingkat. Kalau hanya sebatas ingin mengetahui kabar adik di perantauan, sebenarnya kakak cukup dengan bertanya lewat SMS atau menelepon adik. Tapi ini kakak lakukan, biar adik selalu dan selalu membaca isi surat ini. Bisa memahami getaran hati kakak selama ini.
Getaran hati kakak saat ini tidak berbeda jauh dengan apa yang pernah adik katakan sebelum berangkat ke Jogjakarta dulu. “Kak.. doakan ya.. semoga adik bisa menjadi penulis di kota para penulis, di Jogjakarta nanti”. Sebait ungkapan adik sendiri yang perlu direfleksikan lagi oleh adik, dan kakak sendiri.
Kakak tahu, dan adik pun pasti lebih memahami, jarak antara Jogjakarta dan Madura bukan jarak yang dekat. Sebuah perantauan panjang bagi adik untuk mengejar impian di seberang. Apa saja aktifitas adik di Jokjakarta, kakak tidak tahu seluruhnya. Adik nakal, rajin, bolos kuliah dan sebagainya, kakak tidak tahu.
Tidak ada misi apa-apa kakak mengirim surat ini. Tulisan di dalam surat ini hanya sebatas getaran hati kakak untuk adiknya. Adik yang sangat kakak cintai dan sayangi. Okelah..!, kakak akan mulai, sehingga kemudian adik mampu menangkap apa dan bagaimana sebenarnya getaran hati yang kakak maksud. 
Pernahkah adik menemukan sebaris celoteh;
Ada daun jatuh, tulis..
Ada batu jatuh, tulis..
Tulis dan tulis..
Di tulis sampai kapan.
Kalau tidak salah, itulah sebagian yang pernah di ungkapkan oleh Raut Sitompul yang kakak temukan dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri; Filsafat Ilmu, sebuah pengantar populer. Ungkapannya sederhana namun mampu menumbuhkan nilai esensi dari kata tulis. Tidak ada sesuatu yang tidak bisa di tulis, dalam artian bahwa tradisi menulis harus di mulai dari sesuatu yang sederhana. Menulis sebenarnya mudah meskipun membutuhkan proses panjang dan sulit. Penulis sekaliber Karen Amstrong misalnya, dia dalam menulis Sejarah Tuhan tidak langsung menjadi sebuah buku. Tetapi melalui proses lama, mulai dari proses keyakinan dan pencariannya terhadap definisi tuhan beberapa agama hingga konklusi akhir terhadap tuhan yang ada di masing-masing agama.
Adik tentu tahu penulis kitab Ihya’ Ulumiddin?, Al-ghazali kan?. Siapa yang menyangka beliau masih “hidup” sampai sekarang, tulisannya menjadi rujukan banyak ulama, cendekiawan, terutama cendekiawan muslim. Beliau dikenang meskipun sudah mendahului kita.
Yang tergolong baru adalah Zainal Arifin Thaha, Jogjakarta. Kota tempat adik kini menimba ilmu. Kota yang di sebut-sebut sebagai kota pendidikan. Banyak yang mengakui, Gus Zainal (sapaan akrab Zainal Arifin Thaha) adalah salah satu inspirator mahasiswa UIN Jogjakarta dalam tradisi tulis-menulis. Bahkan dalam salah satu bukunya, “Aku Menulis Maka Aku Ada” beliau telah mampu memformulasikan nilai filosofis Co geto er Go sum-nya Rene Descartes ke dalam dunia tulis-menulis. Meskipun beliau (Gus Zainal) sudah tiada, tulisan-tulisannya selalu dibaca orang, namanya sering disebut-sebut. Beliau masih hidup.
Ada lagi; sekaliber Al-Farabi misalnya, tokoh filosuf dan pemikir Islam yang kita kenal dengan sebutan “al-mu’allim al-tsani”, guru terbesar kedua setelah Aristoteles, tidak lain adalah seorang penulis.
Coba adik Bayangkan, karya-karya beliau, sejauh yang dapat ditemukan dari beberapa sumber, berjumlah sekitar 117 buku. 43 buku membahas tentang logika, 11 buku membahas metafisika, 7 buku tentang etika, 7 buku tentang ilmu politik, 17 buku membahas tentang musik, ilmu kesehatan, pengobatan, dan sosiologi. Serta 11 buku lainnya merupakan buku-buku komentar atas buku-buku sebelumnya yang di tulis oleh banyak pemikir dan filosuf.
Sebagai contoh; salah satu Kitab atau buku al-Musiqa al-Kabir-nya Al-Farabi, yang menjelaskan tentang teori musik, menjadi salah satu karya monumental di dunia seni musik terutama barat. Karena buku ini menjadi buku wajib bagi mereka yang mendalami musik klasik disana, bahkan buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa mereka. Lagi-lagi ini membuktikan bahwa Al-Farabi masih “hidup”. Karya-karya monumental beliau menjadi rujukan berbagai kalangan intelektual.
Kemudian Ibnu Sina atau Avicenna (Abu Ali al-Husain ibn Abdullah ibn Sina). Adik tentu juga sudah pernah membaca sejarahnya. Beliau semasa hidupnya telah menghasilkan berbagai buku. Dari beberapa sumber, kakak memperoleh data bahwa karya Ibnu Sina mencapai 99 buku; 16 buku di bidang pengobatan, 68 buku di bidang teologi, 11 buku di bidang ilmu falak dan metafisika, dan tidak di sangka ternyata 4 buku beliau merupakan kumpulan puisinya. Karena semangat dan profesionalitas beliau, kerap di ingatkan oleh koleganya agar tidak terlalu memforsir diri dalam bekerja dan belajar. Namun beliau malah berkata; I prefer a short life with width to a narrow one with length. Apa makna ungkapan ini, adik tentu paling tahu.
Selain sejarah di atas, masih banyak tokoh-tokoh yang kakak, adik, dan kita bersama ketahui sejarah dan karya-karyanya. Semisal; Imam al-Syafi’i, al-Ghazali, dan sebagainya. Kemudian Fariduddin Attar, Jalaluddin rumi, Muhammad Iqbal, Ibnu Arabi, Nasrudin Hoja, Kahlil Gibran, Robindranat Tagore, Mahatma Gandhi, Betrand Russel, Jean Paul Sarte, Voltaire, Nietszche, dan sebagainya. Mereka adalah para penulis yang dengan tulisannya mampu merubah dunia.
Lalu para pemikir kontemporer, seperti Sayyid Qutub, Ismai’il Raji al-Faruqi, Sayyid Husein Nashr, Ali Syari’ati, Hasan al-Banna, Muhammad Arkoun, dan sebagainya. Di negeri kita sendiri, banyak sosok yang antusias dalam kepenulisan patut kita refleksikan bersama. Keranjingan mereka terhadap karya sastra sangatlah luar biasa. Orang seperti Gus Dur, Gus Mus, Goenawan Muhammad, Umar Kayam, Kuntowijoyo, Emha Ainun Najib, D. Zawawi Imron, WS. Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Sultan Takdir Ali Syahbana, Akhdiyat Karta Miharja, Sapardi Djoko, Damono, Nur Kholis Majid, dan banyak lagi sastrawan lainnya.
Yang terakhir.. Ada ungkapan Al-Ghazali; kalau engkau bukan anak raja dan engkau bukan pula anak ulama besar, maka jadilah penulis. Aku dan adik anak siapa ya..!?
Itulah getaran hati seorang kakak yang dari getarannya kamu sebagai adikku akan merasakan getarannya juga. Getaran yang tidak semua orang merasakannya. Terlepas dari wacana di atas, getaran hati kakak tidaklah menjamin hati adik bergetar jua. Jadi, kemauan dan cita-cita kakak bukan berarti harus adik penuhi. Cita-cita kakak, adalah bagaimana adik sukses dan dapat dibanggakan oleh keluarga. Ingat dik..!, bapak dan ibu di rumah selalu semangat dalam bekerja keras untuk biaya adik kuliah. Apa yang mereka lakukan adalah demi kesuksesan kita mencapai cita-cita.
Entahlah Dik..!, tiba-tiba kakak berinisiatif menulis surat ini. Sudah satu tahun lebih adik menimba ilmu di perantauan. Dan selama itu pula kakak belum pernah melihat nama adik terpampang di media massa. Kakak tidak memaksa adik untuk menjadi seorang penulis. Kakak hanya bertanya-tanya, di saat nama teman-teman seangkatan adik di sana sering muncul di media massa, menulis puisi, artikel ilmiyah, opini, kolom, cerpen dan lain sebagainya. Nama adik kok tidak pernah kakak lihat.
Kakak sadar, kakak yang sudah lulus kuliah ini bukanlah penulis. Kakak yang pernah kuliah di surabaya ini tulisannya tidak pernah di muat di media massa. Kakak hanya lulusan tarbiyah yang tak pernah aktif di penerbitan. Antara adik dengan kakak harus tidak harus sama kan?.
Adik tentu lebih mengerti perbandingan Jokjakarta sebagai kota pendidikan dan tempat para penulis produktif. Tidakkah ada keinginan adik seperti mereka, atau bahkan lebih dari mereka?.
Mohon maaf sebelumnya, mungkin surat kakak ini membuat risau hati adik. Atau bahkan menyalahkan kakak yang hanya bisa “memarahi”. Tapi kakak hanya ingin mengingatkan kembali bagaimana keinginan adik dulu, ingin menjadi penulis di kota para penulis. Itu saja.
Oke!, mungkin bagi adik semua orang tidak harus sama, adik bisa menentukan jalannya sendiri, tapi bukankah menulis itu adalah salah satu tradisi intelektual. Dan adik adalah mahasiswa, seorang intelektual, kenapa tidak menulis sebagaimana para intelektual yang lain?.
Selamat beraktifitas, rajin-rajinlah kuliah, jaga diri baik-baik. Kami sekeluarga selalu mendoakan adik. Semoga sukses, meskipun prosesnya tidak sama. Amin..

Terhenyak juga membaca surat kakakku. Aku mendongakkan kepala kelangit-langit kostku, menarik nafas panjang mencoba menangkap kembali apa yang sebenarnya terjadi pada diriku ini. Di katakan kuliah, kebanyakan bolosnya. Di katakan intelektual, malah tidak mungkin. Jarang membaca, diskusi, apalagi menulis.
Kulipat lembar surat itu dan kumasukkan ke dalam amplopnya lagi. Kulihat jam di Hp-ku sudah menunjukkan waktu 07.47 WIB. Sepertinya aku lambat lagi hari ini untuk mengikuti intensif bahasa. Dengan hati risau, aku putuskan tidak ke kampus hari ini. Kubaringkan badanku dengan tas mungil yang masih di pinggangku.
Kak.. terima kasih, kakak telah mengetuk hatiku yang beku. Sebelum berangkat dari rumah untuk kuliah Jogjakarta ini, keinginan terbesarku adalah menjadi penulis. Tetapi ternyata aku tidak menjalani proses untuk menjadi seorang penulis. Maafkan aku kak..!, Mak, Pak..!.



* Anwar Nuris, Penulis adalah Kontributor Teater ANCAKA Gapura - Sumenep, sekarang nyanggong di IKMAS (Ikatan Mahasiswa Sumenep) di Surabaya. Tulisan ini sudah dipublikasikan LPMI (Lingkar Pena Mahasiswa Independen) PMII Komisariat Tarbiyah Cabang Surabaya Selatan di Bulletin TransForma.
read more “SURAT UNTUKKU”

CHANGE ONE'S OWEN


(untuk sang pemilik 15 maret dan 2 april) *
IKMAS, 1 Maret 2009
 
Alarm HP 2600 Classicku berdering dengan lagu sangar Linkin Park. Song title What I'Ve Why Done-nya mampu memecah keheningan fajar buta. Suaranya keras sekali di telinga, melepaskan tubuhku dari perangkap mimpi. Ini berarti hari sudah pagi, lebih tepatnya lagi jam 4 lewat 10 menit.
Aku memang sedang membiasakan diriku bangun setiap jam tersebut. Ini kulakukan agar ritme hidupku lebih teratur dan tentu saja lebih mengenal arti disiplin, lebih-lebih disiplin dalam melaksanakan shalat Shubuh yang selama ini sering mengelupas panas oleh semburatnya mentari, alias bolong di patuk paruh kokok ayam. Sebuah antitesa dari masa laluku yang penuh ketidak-teraturan. Bukan untuk maksud yang khusus, namun alangkah segarnya menikmati matahari 5 derajat dari horizon dan mendengar kicauan burung-burung dekat jendela kamarku. Sungguh, hidup ini terasa indah.
Aku segera menuju kamar mandi untuk mencuci muka, berwudlu, lalu minum segelas air putih dari Galon "Aqua" di sudut kamar, shalat Shubuh berjamaah di Mushalla, mengeja firman Tuhan di tengah lelapnya kawan, yang masih terbuai mimpi oleh selimut hangat setan sehingga mereka enggan mengangkat kepalanya dari bantal. Lega rasanya, berusaha beda dengan teman yang lain.
Sesudah itu aku menggerakkan tubuhku dengan sedikit jogging di bawah rerindangnya pohon depan pondokku, hingga terasa sekali aliran darah melesat lancar dari ubun-ubun sampai mata kaki. Segala mimpi lenyap kini dan sekarang waktunya menghadapi realitas hidup.
Sungguh, hari ini terasa indah. Burung-burung masih bernyanyi. Aneh juga terasa, di tengah kota metropolitan sekaliber Surabaya, masih ada satu-dua burung yang terbang bebas berkicau, berseliweran di dahan nan hijau. Mungkin inilah salah satu anugerah untuk pondokku, mungkin pula Tuhan telah mengirim mereka untuk membangunkanku.
Matahari sedikit naik ketika aku menuju taman kumuh depan pondokku untuk menyirami tanaman yang telah menyumbangkan udara segar bagi nafasku. Mataku langsung terpaku pada seekor kupu-kupu yang hinggap di tanaman Jihong yang baru mekar. Meski Jihong tak seindah dan seharum bunga melati ataupun mawar, kupu-kupu itu tetap bertengger di tangkai bunga itu. Warna sayapnya penuh keceriaan, penuh keragaman.
Tetapi ada sesuatu yang lain tampaknya. Ya! Terlihat dari kelepak lemah sayapnya. Aku mendekat untuk melihat lebih jelas lagi. Kupu-kupu ini sepertinya benar-benar kelelahan. Mungkin semalaman mengembara. Ia diam saja ketika kudekati. Malah waktu kusentuh ia tetap diam. Kupu-kupu yang sangat letih. Aku bisa merasakannya. Keadaannya kontras dengan warna sayapnya yang indah.
Konon, bila ada kupu-kupu hinggap di kediamanmu, itu artinya akan ada tamu yang datang. Aku mencoba menghindari spekulasi itu dengan menganggap kupu-kupu itulah tamuku di pagi hari ini. Bila nanti ada orang lain bertamu untuk bertemu aku, anggap saja itu kebetulan semata. Walau bisa saja itu bukan suatu kebetulan. Namun bukankah hidup juga dipenuhi dengan banyak kebetulan? Atau segalanya sudah direncanakan yang Maha Kuasa? Apapun aku menganggapnya, tetap saja itu dinamika hidup yang juga terasa indah.
Kupu-kupu itu kini berada di jariku. Ia tetap diam. Dari diamnya aku merasa ada gejolak dalam dirinya. Penat yang menyelubungi sayap-sayap kecilnya seakan merekam jejak-jejak perjalanannya. Mungkin ia habis mengarungi suatu petualangan yang luar biasa. Aku semakin di dera penasaran. Aku percaya semua mahluk hidup bisa saling berkomunikasi. Tentu saja hal yang absurd bila perbincangan dengan kupu-kupu ini melalui bahasa verbal. Namun ini lebih kepada mengasah kepekaan intuisi kita dalam memahami mahluk hidup selain manusia.
Sekarang, aku duduk tepat di depan daun pintu kamar pondokku yang terbuka dengan kupu-kupu tetap berada di jariku. Aku telah menyiapkan diri seutuhnya untuk mendengar kisah perjalanannya. Ku tatap ia dengan kekuatan intuisiku, mencoba menyelam pada bening dua belah matanya yang sayu. Kubalik adegium dari mata turun ke hati, menjadi dari hati naik ke mata. Aku berbicara padanya dengan bahasa hati melaui perantaraan indra mata. Aku akan bercerita tentangnya..
Awalnya adalah seekor ulat. Hewan kecil melata yang sekujur tubuhnya dipenuhi bulu-bulu. Bagi sebagian orang, ulat adalah binatang paling menjijikkan. Setipe dengan kecoa, kelabang, atau cacing tanah(tentu pean lebih jijik, geli, dan takut dengan cacing tanah, ketimbang hewan melata lainnya).
Pada suatu ketika, mulanya keadaan tersebut tidak merisaukannya sebagai eksistensi dari makhluk yang bernama ulat. Di sebuah taman ia asyik saja melahap daun-daun muda yang merupakan makanan kegemarannya. Namun lama-kelamaan habislah seluruh tanaman karena daun-daun tempat proses pembakaran tanaman telah termakan seluruhnya oleh ulat. Hal ini menggusarkan manusia yang menanamnya. Mereka memburu ulat itu. Hanya saja ulat itupun sudah merasa bahwa ia akan diburu manusia dan ia melarikan diri sejauh mungkin. Yang penting lolos dari perburuan manusia.
Dalam persembunyiannya, ia mendengar sumpah serapah manusia terhadap dirinya. Mulanya ia acuh saja. Tetapi sumpah serapah itu berkembang menjadi sugesti negatif baginya. Hancurlah keyakinan ulat itu. Tiba-tiba ia merasa kalau ia adalah benar-benar binatang yang paling menjijikkan bahkan bila dibandingkan dengan kecoa, kelabang atau cacing tanah.
Ulat itu sedih. Tubuhnya seakan mengecil menjadi seukuran renik atau mikroba. Ia malu bahkan terhadap dirinya sendiri. Ulat itu merasa tak berharga sama sekali. Tuhan menciptakanku tanpa kegunaan selain menjadi bahan umpatan manusia, batinnya mulai memprovokasi.
Ulat itu menjadi amat murung. Tak selera lagi ia melihat daun-daun muda. Hidup terasa menyebalkan. Saat itu ia mengharap ada predator yang melumat habis dirinya. Tapi tak satupun predator ia temui. Kemana larinya mereka? Entahlah, seolah-olah dunia menjadi begitu kosong. Tak ada yang lain selain dirinya dan kepedihannya.
Ia memutuskan untuk tak berhubungan dengan dunia. Tekadnya sudah bulat untuk menyembunyikan diri dalam sebuah kepompong. Namun di dalam kepompong ia kembali berbenturan dengan masalahnya. Tak ada tempat untuk melarikan diri di dunia ini. Mau tak mau ia harus menghadapi problemanya, di dalam kepompong. Bersemedi dan bertapa dalam kesedihan.
Berhari-hari ia menutup diri. Hingga sampailah pada sebuah titik balik. Ia merefleksikan hidup yang telah dijalaninya. Dan setelah melakukan evaluasi secara total, ia menemukan solusi. Yaitu transformasi. Ya, hidup takkan berubah bila kita tak merubah diri sendiri. Kesadaran baru yang timbul dalam diri ulat ini sungguh terasa menakjuban. Ia telah menemukan jalan terbaik baginya. Merubah diri sendiri. Change one's owen.
Kepompong pun pecah. Ulat telah berubah. Kini ia menjadi kupu-kupu. Bayangkan..!, seekor ulat yang menjijikkan telah berubah menjadi seekor kupu-kupu yang indah. Suatu transformasi besar-besaran telah dilakukannya. Kupu-kupu itu terbang melesat dari kepompong. Sayap kecilnya yang berwarna-warni menghiasi alam yang indah. Ia menikmati tubuh barunya. Semua terasa baru baginya. Langit, alam dan hidup sungguh terasa baru dan indah. Ia kepakkan terus sayapnya. Melayang penuh kebebasan. Ia merasakan cinta. Dunia mencintainya dan ia pun belajar mencintai dunia. Kalau tahu hidup begini indah, dari dulu saja ia menjadi kupu-kupu. Sedikit penyesalan. Hanya sedikit. Itupun lumer oleh terik matahari.
Lama juga ia melayang-layang. Timbul kesadaran baru. Aku tetap butuh tempat berpijak. Tak bisa selamanya terus di udara. Dimana aku harus berpijak?, Kupu-kupu itu hinggap di atas batu. Dalam sedetik ia merasa bahwa batu bukan tempat yang nyaman untuk dipijaki. Batu sangat keras dan kasar. Sungguh tak nikmat berpijak di tempat yang tak mengenal keramahan seperti batu ini. Aah, buat apa aku berlama-lama di atas batu. Ia kembali terbang.
Matanya menatap sepucuk pohon yang lumayan rindang. Kupu-kupu itu berpijak di salah satu dahannya. Teksturnya tak sekeras dan sekasar batu. Lagi pula daun-daun mampu melindunginya dari mentari yang kian memanas. Dahan ini lebih ramah dari pada batu tadi. Cukup lama juga ia berdiam di pohon itu.
Sampai tiba-tiba serombongan semut (bilis mardeh) merasa terancam akan kehadiran kupu-kupu. Mereka mengganggu ketenangan kupu-kupu dengan sengatan dan gigitannya yang pedih-pedas. Semakin lama semakin banyak semut yang bergabung. Bisa jadi seluruh koloni semut yang berada di pohon itu menyerang kupu-kupu dari segala arah.
Gundah-gulanalah kupu-kupu atas perlakuan semu-semut itu, dengan terpaksa ia pun melayang lagi mencari titik pijak yang lain. Perhatiannya tiba-tiba tertumbuk pada setangkai mawar merah di taman pesisir timur sana (Sumenep). Warnanya yang hangat seakan meneriakkan salam baginya. Kupu-kupu itu jatuh cinta pada mawar merah itu. Cinta pada pandangan pertama. Dari mata turun ke hati. Ini benar-benar cinta. Tuluskah? Entahlah, itu urusan waktu yang mengujinya. Yang jelas, antara kupu-kupu dan mawar merah ada sesuatu yang dahsyat. Cinta.
Kupu-kupu itu hinggap di pucuk bunga mawar. Mawar itu menyambut dengan liukannya. Respon yang terjadi diantara mereka benar-benar hangat. Mereka seperti dua sahabat lama yang baru berjumpa. Penuh kerinduan.
"Inilah titik pijakku selamanya", kupu-kupu berikrar.
"Inilah sang pelindungku", mawar merah membatin.
Mereka terlihat sebagai dua sejoli yang sedang dimabuk asmara. Dua sejoli yang sedang bercinta. Aaahh…indahnya.
Sayangnya, alam tak setuju. Badai besar datang tak diundang. Riuhnya merobek telinga. Dayanya meluluh-lantakkan segalanya. Dunia harus bergerak. Dan itu bisa berarti segalanya berantakan. Pohon-pohon besar tumbang, batu-batu bergulingan, tanah-tanah retak, rumah-rumah hancur, mobil-mobil berserakan dan jiwa-jiwa tewas.
Kupu-kupu dan mawar merah juga tak berdaya. Mereka terpisahkan. Kupu-kupu terbawa angin lebih jauh ke arah timur, lepas pantai. Mawar merah tercerabut dan tertiup hingga ke tepi barat. Badai besar terus menderu-deru, menjadi penghalang yang tak bisa dihindari.
Keduanya terbawa ke arah berlawanan dalam keadaan tak sadarkan diri. Semakin lama kian jauh jarak yang terentang diantara mereka. Mungkin ratusan mil, atau bahkan ribuan mil. Entahlah, tak ada yang mengukurnya secara pasti. Ketika siuman, kupu-kupu itu sadar bahwa mawar merahnya sudah semakin menjauh. Ia kehilangan. Sangat kehilangan. Hatinya luka, jauh lebih sakit rasanya ketimbang perasaan saat menjadi ulat dahulu. Ia kesepian di tengah angin yang masih menderu. Tetapi ia putuskan untuk tak larut dalam permasalahan, harus dicari penyelesaian sesegera mungkin.
Dalam sekejap ia memilih untuk terbang melawan angin, menuju arah mawar merah yang tertiup kea rah barat. Sebuah keputusan yang berani dan sedikit nekad. Berkali-kali tubuh ringkihnya tersapu angin, namun tak sudi ia mengenal kata menyerah. Ia terus melawan angin. Ke pesisir barat ia menuju, dengan sejuta asa ingin menemukan mawar merahnya yang entah dimana kini berada. Kupu-kupu itu jelas kehilangan jejak. Tak tahu harus kemana.
Tiba-tiba ia bertemu ular. Hewan melata itu pun melihat kupu-kupu yang kebingungan. Terlihat keramahan dari rupa ular, kupu-kupu memutuskan untuk bertanya padanya.
"Hai, ular. Aku ingin minta tolong padamu", Tanya kupu-kupu pada si ular.
"Katakan saja, mungkin aku bisa membantumu", dengan intonasi serius ular itu menjawab.
"Aku mencari mawar merahku, apa kau melihatnya?", lanjut sang kupu-kupu.
"Mawar merah?, Ya, aku melihatnya! Mari mendekat biar kubisikkan padamu" jawab ular seraya mengingsut ekornya melingkar. Bukan main gembiranya kupu-kupu itu mendengar penuturan ular, ia pun terbang mendekat ke arah ular. Sekitar tiga senti lagi ia berada di depan mulut ular, tiba-tiba keramahan ular berubah drastis menjadi kelaparan. Matanya menatap tajam kupu-kupu. Ia buka mulutnya lebar-lebar. Kupu-kupu secara spontan kaget dan melayang kembali ke udara. Ular itu berusaha mendapatkannya dan kupu-kupu itu semakin tinggi terbangnya. Ia selamat dari bahaya. Tak disangka-sangka ular itu ternyata hendak menipunya. Hanya saja alam berpihak kepadanya dan amanlah ia dari mangsa si ular.
Ia kembali melanjutkan penerbangannya, terus ke barat. Matahari hampir merebah di kaki langit. Hari menjelang gelap. Angin sudah berhenti. Energinya sudah melemah. Kupu-kupu itu terus mengepakkan sayapnya. Terus dan terus ke barat.
Di tengah perjalanan, dalam gelap malam, ia bertemu dengan burung hantu di dahan sebuah pohon. Sayangnya burung hantu tak mengenal mawar tetapi makar. Giliran kupu-kupu tak mengenal makar. Keduanya tak berada dalam titik temu. Kupu-kupu makin gelisah. Burung hantu meminta maaf karena tak bisa membantu. Tapi, setidaknya ia tulus dan itu sudah cukup, dari pada seperti ular tadi, ada maunya.
Setelah berterima kasih dan berpamitan, ia tinggalkan burung hantu dan menyusuri malam sejauh mungkin. Tak ada petunjuk arah mana, ia terus terbang dan terbang lagi. Tubuhnya melemah, tenaganya mengendur namun tak sampai habis karena kenangan indah bersama mawar merah memacu dirinya.
Memori itulah yang menemani kesepiannya. Hingga tak terasa, matahari terbit di belakangnya. Energinya sudah sampai di titik nadir dan ia memutuskan untuk beristirahat. Tepat di taman kumuh depan kamar pondokku. Hinggap di bunga tanaman Jihong milikku, tanaman hias sebangsa dengan tanaman Mawar. Di benaknya hendak bertanya tentang Mawar Merahnya pada Jihong tersebut. Mungkin kawan barunya itu tahu di mana mawar merahnya kini berada.
Tetapi skenario takdir kupu-kupu itu dipercepat oleh Tuhan. Jihong tersebut mengantarkan Kupu-kupu posang itu padaku. Perjalanan yang luar biasa. Aku terharu mendengar penuturan kupu-kupu itu dalam upayanya menemukan mawar merah. Cinta yang membuatnya hidup kembali dan cinta pula yang membuatnya melewati petualangan berbahaya. Aah, aku harus belajar dari kupu-kupu ini dalam memaknai cinta. Sungguh, aku benar-benar tersentuh. Lalu aku teringat, rasanya baru kemaren ada setangkai mawar merah di taman kecil milik tetangga pondokku, seperti baru ditanam oleh si empunya taman karena mawar tersebut masih sayu dengan mahkota bunganya yang hampir mengatup dengan kelopaknya.
Tanpa pikir panjang aku segera bergegas membawa kupu-kupu yang masih terdiam di jariku itu ke sana. Mungkin saja itu mawar merahnya. Karena temanku, si empunya taman pernah bilang kemaren, kalau ia menemukan bunga mawar merah itu di tepi jalan, hampir layu. Dan ia segera menanamnya di tamannya.
Sepuluh langkah menjelang taman, kupu-kupu itu bergerak-gerak. Sepertinya ia sudah mencium aroma khas mawar merah itu. Dan benar saja, belum lagi sampai kaki ini melangkah, kupu-kupu itu terbang melesat dari jariku, menuju mawar merah di taman itu. Ia hinggap di pucuknya. Mawar merah menyambut dengan liukannya. Respon yang terjalin di antara mereka benar-benar hangat. Mereka seperti dua sahabat lama yang baru berjumpa. Penuh kerinduan.
Dua sejoli yang sedang dimabuk asmara. Dua sejoli yang sedang bercinta. Aku terpana. Waw, indah ya.
(Akulah kupu-kupu itu, dan kaulah bunga mawar nan indahnya…).
 
 
* Cerpen ini adalah hasil aransemen antara dunia fakta dan dunia imajinasi penulis asli dan penulis lugu. Tidak diperuntukkan kepada Media, hanya untuk kalangan sendiri.

read more “CHANGE ONE'S OWEN”