Pendopo

Terhampar seluruh getar hati dalam setiap kata dan maknanya. Terdendang sebuah kisah yang sempat tertoreh di seperempat waktu. Kebahagiaan terasa hanya beberapa kejap dari usia yang tak lagi dihitung oleh hitungan tahun tetapi oleh kedalaman rasa. Maka, di atas sajadah kata ini, ku berusaha memetik dawai hati, nyanyikan kidung sunyi yang rindukan buaian mimpi. Tak usah membuka telinga, belalakkan mata, apalagi memaksa batu bicara pada takdir. Bukan pula penulis, tetapi tetap mencoba menulis.

DESAKRALISASI TEKS AL-QUR’AN


Judul Buku : Metodologi Studi Al-Qur’an
Penulis : Abd. Moqsith Ghazali, dkk.
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : I; November 2009
Tebal : xxvi + 176 halaman
Peresensi : Anwar Nuris *

Sejak Edward Said melakukan serangan terhadap orientalisme, studi kritis tentang sejarah pembentukan Islam menjadi sebuah anatema (sesuatu yang kurang disukai). Sarjana Muslim yang hendak melakukan studi kritis terhadap Al-Qur’an, Hadis maupun sejarah Nabi Muhammad, akan ragu, karena mereka khawatir disamakan dengan para orientalis yang memang memiliki citra sangat buruk di dunia Islam.
Dengan beban psikologis seperti itu, studi kritis terhadap sumber-sumber Islam klasik tak bisa lagi dilakukan secara bebas. Para sarjana Islam yang mencoba melakukan kritik terhadap tradisi Islam klasik merasa perlu terlebih dahulu melakukan disclaimer bahwa mereka bukanlah orientalis, dan apa yang mereka lakukan sesungguhnya demi kebaikan peradaban Islam, dan bukan karena membela kepentingan Barat atau orientalisme.
Beban psikologis itu tentu amat mengganggu, menguras energi dan waktu. Alih-alih memfokuskan diri kepada pokok pembahasan, para sarjana Muslim sibuk berdebat tentang hal-hal yang sama sekali tidak pokok. Padahal, kalau mereka langsung masuk ke pangkal permasalahan tanpa terlalu mempersoalkan dari mana sebuah metode ilmu didapat, maka akan banyak hal yang bisa dihasilkan dengan segera.
Begitu juga yang terjadi pada proses pemahaman terhadap Al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi yang berisi nilai-nilai universal. Sebagaimana dimafhum bersama, nilai-nilai dasar Al-Qur’an mencakup berbagai aspek kehidupan manusia secara utuh dan komprehensif (Q.S. al-An῾am: 37). Tema-tema pokoknya mencakup aspek ketuhanan, manusia sebagai individu dan anggota masyarakat, alam semesta, kenabian, wahyu, eskatologi, serta makhluk spiritual. Eksistensi, orisinalitas, dan kebenaran ajarannya dapat dibuktikan oleh sains modern (Q.S. al-Hujurat: 9), sedang tuntunan-tuntunannya adalah rahmat bagi semesta alam (Q.S. al-Furqan: 1).
Namun demikian, Islam sendiri bukanlah suatu creatio ex nihilo, ciptaan yang meloncat begitu saja dari ruang kosong. Begitu juga Al-Qur’an yang tidak lepas dari historisitas-sosiologisnya. Al-Qur’an tidak boleh ditonjolkan sebagai kitab (teks) antik yang harus dimitoskan maupun dikultuskan, karena hal tersebut bisa menciptakan jarak antara Al-Qur’an dengan realitas sosial. Al-Qur’an di satu pihak diidealisasi sebagai sistem nilai sakral dan transendental, sementara di pihak lain realitas sosial yang harus dibimbingnya begitu pragmatis, rasional, dan materialistis.
Nashr Hamid Abu Zayd dalam salah satu karyanya; Mafhum al-Nash; Dirasat fi Ulum al-Qur’an menegaskan bahwa peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks. Artinya perlu adanya penakwilan dan reinterpretasi teks-teks keagamaan untuk menyemangati nilai-nilai kemanusiaan. Karena yang berkembang selama ini hanya penafsiran yang mengunggulkan aspek transendensi dan sakralitas, tapi mengenyampingkan aspek historisitas-sosiologis yang menyapa realitas kemanusian dengan santun dan elegan. Seperti yang dilakukan oleh kaum fundamentalis dengan pemahaman agama yang bersifat literalis-skripturalistik dan bibliolatrik menyebabkan supremasi teks yang berlebihan, dimensi manusia (ghayah al-insan) hilang dari modus keberagamaan, serta pengasingan manusia dari pengalaman spiritualnya sendiri.
Fenomena ambiguitas seputar teks di atas membuat para pemikir muda merasa galau dan risau. Adalah Abd. Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, dan Ulil Abshar Abdalla yang mencoba menarik napas kegalauan dan memuntahkannya dalam sebuah karya brilian, Studi Metodologi al-Qur’an. Mereka yang dilahirkan dari rahim kaum tradisional-liberal (baca: Nahdlatul Ulama/NU), mampu melakukan terobosan pemikiran yang melampaui khazanah tradisionalismenya. Buku ini menjadi bukti otoritas keilmuannya dalam membedah diskursus metodologi yang tertancap dalam kitab suci Al-Quran.
Mereka melakukan penjelajahan khazanah keilmuan Al-Quran, sehingga menghasilkan sintesis pemikiran yang memukau: alternatif metodologi atau wajah baru pemahaman Al-Quran sebagai kitab yang tidak lepas dari kerangka historisitasnya. Penjelajahannya dalam samudera keilmuan metodologi studi Al-Quran bisa terlihat dari pembacaan kritisnya atas al-Itqan fi Ulum al-Quran karya Jalal al-Din al-Suyuthi dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi.
Buku Metodologi studi Al-Qur’an yang di tulis oleh tiga intelektual muslim generasi baru yang paham khazahah klasik dan khazanah modern ini pasti akan mendorong diskusi sehat dan dewasa di kalangan umat Islam di Indonesia yang semakin cerdas. Penulis menyorot proses penulisan wahyu yang notabene sebagai domain iman yang berada di seberang ranah ilmu pengetahuan. Begitu juga bagaimana misalnya kompleksitas penulisan dan kodifikasi Al-Qur’an berlangsung hingga bagaimana cara memaknai dan menafsirkan Al-Qur’an dalam konteks sekarang.
Buku setebal 176 halaman ini bermaksud memberikan pemaknaan terhadap Al-Qur’an dari sudut normatif sekaligus historisnya. Di samping memiliki nilai partikular yang historis-tarikhi, tak bisa disembunyikan bahwa dalam Al-Qur’an juga terkandung nilai universal yang meta-historis-all tarikhi. Posisi Al-Qur’an yang selalu berada di antara dua ketegangan (kesementaraan dan keabadian, partikularitas dan universalitas, ushuliyyat dan furu’iyyat) menyebabkan Al-Qur’an sebagai kitab suci selalu menarik untuk dikaji dan ditelaah.
Tidak seperti umumnya buku-buku tentang Al-Qur’an yang suka menenggelamkan kritik historisnya, buku ini sengaja menyingkap tirai (kasyf al-mahjub) kesejarahan Al-Qur’an secara dingin dan objektif. Oleh karena itu, lebih bijaksana jika tidak di hadapi dengan anarkisme intelektual bagi mereka yang tidak setuju dengan pemikiran para penulis buku ini.


* Anwar Nuris, Mahasiswa semester bonus Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, sekarang nyantri di Pondok Budaya IKON Surabaya. Tulisan ini sudah di muat di Harian Duta Masyarakat, Ahad, 27 Desember 2009.
read more “DESAKRALISASI TEKS AL-QUR’AN”

GERAKAN PENA KAUM SARUNGAN


Judul Buku : Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Penulis : Rizal Mumazziq Zionis, dkk.
Editor : Tsanin A. Zuhairi, S,Hi, M.Si.
Prolog : Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si
Penerbit : Muara Progresif, Surabaya
Cetakan : I; 2009
Tebal : vii + 224 halaman
Peresensi : Anwar Nuris *

Verba volant, scripta manent
(kata-kata akan sirna, tulisan akan membuatnya abadi)

Di tengah maraknya santri pesantren saat ini yang syndrom jejaring sosial semacam Facebook sebagai media sharing dan menulis, terdapat anekdot menarik yang berkembang dikalangan mereka. Seorang santri yang tidak mau dan mampu menulis, ibarat burung bersayap satu. Burung itu hanya mampu meloncat dari satu dahan ke dahan yang lain, atau terbang pendek dari satu pohon ke pohon lain yang jaraknya sangat dekat. Santri yang tidak mau menulis hanya mampu mengaji dan mengkaji dari satu halaqah ke halaqah yang lain. Santri yang mau menulis akan mampu mengembangkan pemikiran dan ilmu mereka lebih luas, tanpa dibatasi oleh sekat apapun, terlebih di era digital seperti sekarang ini.
Mereka (santri) sepertinya tersihir oleh lembar sejarah kepenulisan para pendahulunya. Aviecena (Ibnu Sina) yang dikenal karena kepakarannya di bidang kedokteran. Buah karyanya berjudul al-Qanuun fi al-Thibb menjadi rujukan beberapa fakultas kedokteran di Barat. Bahkan dengan karyanya itu, ia dinobatkan sebagai bapak kedokteran dunia. Selain itu ada Imam al-Ghazali dengan magnum opus-nya Ihya’ Ulumiddin yang konon menjadi rujukan negeri Barat dan Eropa selama lebih kurang 7 abad lamanya. Al-Khawarizmi, Omar Khayyam, Nashir Al-Din Thusi sang profesor Matematika, Ibnu Al-Haytam yang ahli Eksprimentalis, Al-Biruni sang pegiat Fisika, Ar-Razi yang menggeluti ilmu Kimia, dan masih banyak yang lainnya.
Buah pemikiran cendikiawan yang dituangkan dalam bentuk tulisan tersebut telah merubah peradaban dunia hingga seperti sekarang. Berkat buku yang di dalamnya terdapat banyak ilmu pengetahuan telah menjadikan dunia lebih berwarna. Alam tidak lagi gelap karena Thomas Alfa Edison yang telah menemukan listrik. Manusia bisa bepergian cepat sampai tujuan dengan sarana kereta api berkat mesin uap yang ditemukan James Watt. Karya-karya mereka lah yang membuat mereka dikenal. Karya yang tidak lapuk oleh waktu, karena ditulis dalam sebuah media bernama buku atau kitab, sehingga bisa dinikmati oleh generasi yang jauh di bawahnya.
Dalam konteks Indonesia, Tradisi kepenulisan juga amat kuat. Banyak cendekiawan Islam di negeri ini yang menulis buku, kitab, atau pun karya tulis yang lain. Mayoritas dari mereka dididik dan dibesarkan oleh lingkungan pesantren.
Sebagaimana kita ketahui, pesantren memiliki tradisi unik dan unggul yang jarang didapat pada lembaga lain. Dan salah satu keunikan tersebut adalah tradisinya dalam mengembangkan warisan keilmuan ulama salaf (al-salaf al-shaleh). Pola gerakan yang dilakukan ulama salaf untuk memperoleh dan mentransformasikan keilmuannya tidak hanya membaca dan mengkaji, tetapi berkontemplasi dan kemudian menerjemahkan pemikirannya dalam bentuk tulisan.
Mereka (ulama salaf) mampu melahirkan dan mewariskan karya-karya tulis yang ternyata masih dipelajari oleh berbagai pondok pesantren atau sekolah sampai sekarang. Tidak sedikit pula dari karya ulama atau kiai Indonesia yang dikenal luas di berbagai belahan bumi. Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Al-Tirmasi, atau Syekh Yasin Al-Fadani Al-Makky adalah di antara para punggawa pesantren di Indonesia yang karyanya telah melabuhi pemikiran intelektual Islam di berbagai Negara.
Selain mereka, “santri Indonesia” yang lain juga banyak menelorkan karya-karya yang bagus dan monumental. Beberapa nama yang dapat disebut di antaranya adalah KH. Ma’shum Ali dengan al-Amtsilatut Tashrifiyah, KH. Hasyim Asy’ari dengan Adab al-Alim wa al-Muta’allim, KH Bisri Mustofa dengan Tafsir al-Ibriz dan KH. Sahal Mahfudz dengan Thariqah al-Ushul ala al-Ghayah al-Ushul. Rata-rata tulisan mereka tetap di baca saat ini bahkan menjadi referensi utama dalam setiap kajian maupun pengajian dilingkungan pesantren.
Dus, santri sebagai salah satu elemen pesantren tidak hanya ta’dzim terhadap pemikiran gurunya, tetapi juga patuh dan meniru dalam usaha mendapatkan pemikiran kreatif. Kreatifitas menulis yang dikembangkan kaum santri akan menjadi media dakwah sejati bagi umat Islam dan untuk generasi mendatang nanti. Pesantren tidak akan disebut lembaga eksklusif bila mampu melahirkan pemikiran kreatif serta ide-ide cerdas demi pengembangan dan dakwah Islam sesuai dengan visi dan misi pesantren.
Oleh karena itu, persepsi yang berkembang bahwa tradisi menulis di kalangan santri kini lengang dan seakan mati suri itu tidak benar adanya. Buku Jalan Terjal Santri menjadi Penulis ini hadir sebagai bukti bahwa kaum santri intelektual (pesantren) telah "berusaha" mengikuti gerakan pena para pendahulunya meskipun hanya sebatas tulisan pendek (opini, artikel, antologi sastra, kolom, dan lain-lain) yang tersebar di media massa maupun elektronik.
Buku ini juga sebagai antitesa terhadap anggapan mayoritas masyarakat bahwa menulis itu adalah bakat. Faktanya, menulis dapat dipelajari asal ada kemauan, keberanian, dan ketekunan berlatih. Dengan kemauan kuat, setiap orang akan mahir menulis. Membaca teori saja tidak pernah cukup. Ibarat orang belajar berenang, kalau hanya membaca teori tanpa pernah mempraktikkan, tentu dia tidak akan bisa berenang. (hal. 20-21).
Buku setebal 224 halaman ini merupakan kumpulan tulisan (curhat) tentang lika-liku penulis pemula maupun yang sudah agak tua dalam upaya menyuratkan ide yang tersirat. Mereka yang mayoritas santri asli Jawa Timur ini sebagian besar telah menempuh Perguruan Tinggi. Mereka aktif diberbagai kajian dan aktivitas yang tak jauh dari minat mereka. Adalah Rijal Mumazziq Zionis, Noviana Herliyanti, Nur Faishal, Mohammad Suhaidi RB, Ach. Syaiful A’la, Azizah Hefni, Ahmad Muchlish Amrin, Salman Rusydi Anwar, Muhammadun AS, Ana FM, Ahmad Khotib, Fathorrahman JM, dan Hana Al-Ithriyah.
Dengan menulis mereka dapat mengatasi rasa amarah, iri, kelemahan diri, dan kebencian yang ada di hati. Menulis jelas sangat membantu mereka untuk mengatasi rasa sok tahu. Menulis dapat membuat diri lebih berhati-hati dalam memutuskan sesuatu.
Dari tulisan-tulisan mereka dalam buku ini dapat diketahui bahwa jalan terjal yang dimaksud yaitu; memelihara keinginan dan semangat yang kuat, manajemen waktu yang mapan, banyak membaca dan berfikir, optimistis, komitmen dan idealisme yang tinggi, membebaskan diri dari keterikatan rasa salah, serta mencari dan menemukan tanpa menunggu berpangku tangan.
Sebuah buku yang melelahkan namun mata tak mau terpejam.

* Anwar Nuris, Alumnus Pondok Pesantren Nasy-atul Muta’allimin Gapura Sumenep Madura, sekarang nyantri di Pondok Budaya IKON Surabaya. Tulisan ini sudah di muat di Media Elektronik NU Online, PBNU.


read more “GERAKAN PENA KAUM SARUNGAN”