Pendopo

Terhampar seluruh getar hati dalam setiap kata dan maknanya. Terdendang sebuah kisah yang sempat tertoreh di seperempat waktu. Kebahagiaan terasa hanya beberapa kejap dari usia yang tak lagi dihitung oleh hitungan tahun tetapi oleh kedalaman rasa. Maka, di atas sajadah kata ini, ku berusaha memetik dawai hati, nyanyikan kidung sunyi yang rindukan buaian mimpi. Tak usah membuka telinga, belalakkan mata, apalagi memaksa batu bicara pada takdir. Bukan pula penulis, tetapi tetap mencoba menulis.

KASIH SAYANG PASCA VALENTINE’S DAY

Oleh:
Anwar Nuris *
Tanggal 14 Februari 2008 sebagai perayaan hari Valentine telah berlalu, kemarin pada hari Kamis (14/2/2008) pemerintah Singapura tidak mau ketinggalan dalam momen hari kasih sayang ini, yaitu dengan menggalang perkawinan, terlebih lagi agar dari perkawinan tesebut menghasilkan keturunan. Dapat dimaklumi karena dalam beberapa tahun terakhir ini, angka kelahiran per perempuan disana hanya 1,24 persen pertahun, jauh dari angka 2,1 persen yang diperlukan untuk mempertahankan populasi Negara pulau itu.
Oleh karena itu, kemarin pemerintah menggelar “Romancing Singapore” guna mendorong pria dan perempuan bujang bertemu dan diharapkan menikah terus punya anak. Meskipun terkesan cinta yang dipaksakan, hal ini membuktikan bahwa Valentine’s Day masih mempunyai nuansa nilai tersendiri untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan cinta.
Secara geneologis-historis, Valentine merupakan produk budaya Nasrani, karena terambil dari nama pendeta Romawi Santo Valentine. Hari Valentine dirayakan untuk mengenang kematian sang pengasih Santo Valentine, yang mati karena telah melanggar aturan kaisar kejam saat itu yang bernama Claudius II. Kaisar membuat aturan bahwa semua pertunangan dan perkawinan di Romawi harus dibatalkan. Hal ini dilakukan kaisar karena ada kepentingan politik di sana, yaitu untuk menambah kekuatan militer. Tetapi, Santo Valentine bersama Santo Marius dan para martir Kristiani lainnya justru menikahkan pasangan Romawi secara sembunyi-sembunyi. Tindakan menentang itupun diketahui oleh Kaisar. Akibatnya, Santo Valentine di siksa dengan kejam hingga mati dan kepalanya dipenggal. Hukuman ini terjadi pada tanggal 14 Februari 270 M. Untuk mengenang jasa Santo Valentine itulah akhirnya para pastur di Romawi menetapkan tanggal 14 Februari sebagai Hari Santo Valentine.
Terlepas dari kebenaran sejarah tersebut, sejarah juga yang kemudian berubah. 14 Februari bukan hanya untuk mengenang jasa Santo Valentine, bukan lagi hari besar orang Romawi, dan tidak hanya milik umat Kristiani. Kini ia telah melintasi batas. Valentine’s Day telah dirayakan manusia sejagad, lintas Negara, suku, bangsa, ras, dan bahkan agama. Di Italia yang notabene mayoritas katholik, jelas jutaan pasangan pada tanggal 14 Februari merayakannya. Di Malaysia yang agamis, jutaan tangkai bunga berserakan, pernak-pernik warna pink serta ornamen menghiasi hari kasih saying tersebut. Dan di Negara kita, Indonesia, fenomena 14 Februari mempunyai eksistensialitas tersendiri dalam memaknai cinta, khususnya pada kaum mudanya, tak ayal malah menjadi polemik yang berkepanjangan terutama kalau dilihat dari perspektif agama.

Valentine dan Interaksi dalam kehidupan
Makna valentine secara prinsipil adalah sangat luhur, pesan moral yang ada di dalamnya adalah cinta yang dalam konteks ini adalah cinta yang bersumber dari hati nurani bukan dari hawa nafsu. Artinya bahwa, pesan cinta yang ada dalam valentine adalah cinta dalam arti kasih sayang, yang mungkin apabila lebih diorientasikan kepada nilai-nilai sosial dan kemanusiaan akan lebih bermakna. Dengan kata lain, bervalentine pada dasarnya adalah berusaha untuk mengaktualisasikan komitmen, setia dan konsisten dalam memperjuangkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial dan kemanusiaan yang berdasarkan kasih sayang.
Oleh karena itu, valentine secara esensialitas tidak harus tergantung dengan ruang dan waktu, tidak harus melihat momen 14 Februari, kapan, dimana, dan untuk siapa. Budaya Valentine dalam konteks ini tentu sangat urgen untuk dibudayakan. Karena seperti sekarang ini, bangsa Indonesia khususnya, telah dilanda krisis multidimensional. Perang saudara, sentimen keagamaan akibat banyak bermunculan aliran sempalan, tindak kekerasan mengalami eskalasi dan konflik terus melanda kehidupan kita. Kehidupan katakanlah nyaris tidak pernah damai.
Dalam kehidupan perekonomian, hanya gara-gara alasan untuk penertiban, PKL (pedagang kaki lima) di beberapa jalan di Surabaya misalnya, harus rela angkat kaki karena akan segera dilakukan pembongkaran, hal ini sudah menggambarkan bahwa setiap keputusan yang akan diambil oleh pemerintah terkadang tanpa melihat akibat yang akan ditimbulkan. Pengangguran yang berujung pada tindak kekerasan dan kriminalitas secara tak langsung telah menodai arti penting kasih sayang antar sesama.
Sistem perekonomian pasar terutama perdagangan harus lebih didasarkan pada rasa kasih sayang, artinya prinsip ekonomi yang menyebutkan bahwa bagaimana memperoleh penghasilan besar dengan pengeluaran yang kecil tidak lantas diterpakan secara membabi-buta. Dengan kondisi saat ini, bencana, kelaparan, banjir, longsor dan sebagainya harus mampu ditanggapi dengan rasa kasih sayang, rendah hati, peduli terhadap sesama dan lebih ditekankan pada memberi dari pada menerima.
Melalui perayaan Valentin kemarin, seyogianya bangsa ini lebih arif menghadapi dan mengimplementasikan dalam kehidupan rasa kasih sayang dan cinta tersebut. Sebagaimana di lansir, bahwa Valentine merupakan pemaknaan kasih sayang melalui pendekatan Kultural, artinya perayaan Valentine ini sudah saatnya diorientasikan untuk menjalin kasih sayang dan persaudaraan antar sesama umat manusia. Sehingga budaya cinta dan kasih sayang nantinya benar-benar menjadi karakter diri kita, bangsa dan Negara serta menjadi bagian yang integral kehidupan kita. Sehingga semisal budaya kekerasan dan konflik yang telah berakar kuat dalam kehidupan nantinya bisa dibasmi, paling tidak bisa diminimalisir. Penyelesaian konflik dengan metode ini tentu lebih efektif dan bertahan lama, karena penyelesaian konflik ini tidak didasarkan atas pemaksaan keamanan, melainkan atas cinta dan kesadaran.
Yang perlu kita kritisi juga disini, bahwa dalam perayaan valentine ini terkadang diwarnai oleh bentuk-bentuk penyimpangan yang telah dilakukan oleh sebagian pihak yang merayakan Valentine, dalam hal ini adalah kaum muda-mudinya. Yang mana hal ini jelas sangat bertolak belakang dengan pesan moral dan sosial hari Valentine. Bentuk-bentuk penyimpangan yang dimaksud diantaranya adalah sek bebas, pesta narkoba, minum-minuman keras dan hura-hura lainya yang masuk dalam kategori patologi sosial.
Setiap kali hari valentin tiba maka kebanyakan anak-anak muda merayakaanya dengan aktifitas-aktifitas tersebut. Dengan alasan hari kasih sayang mereka telah memaknai Valentine dengan perayaan seks bebas (free sex) dan sejenisnya. Hal-hal negatif inilah sebenarnya yang telah menjadikan makna dan fungsi esensial Valentine menjadi ternodai dan terdistorsi.
Cinta dan kasih sayang yang ada dalam semangat perayaan Valentine kemarin lebih lanjut harus dan terus menerus di implementasikan dan di manifestasikan dalam kehidupan sehari-hari tanpa melihat dan menunggu momen 14 Februari, harus kita maknai sebagai bentuk komitmen konkrit kita terhadap nilai-nilai sosial, budaya, politik, dan ekonomi, dan bahkan agama, secara komprehensip dan berkelanjutan, bukan sebagai hura-hura pelampiasan nafsu. Ia berpotensi menjadi sarana untuk membasmi budaya kekerasan, menegakkan perdamaian dan kerukunan antar sesama manusia. Maka kalau semangat valentine tidak mengarah kepada konteks ini, dan masih cenderung hedonis dan materialis, maka valentin selamanya tidak akan berguna. Maka tidaklah pantas, ketika momen Valentine 14 Februari telah berlalu, kita bergumam; Arrivederci Valentine’s Day!, selamat tinggal hari kasih sayang!.


* Anwar Nuris, Sekjend HMJ Kependidikan Islam Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Pengelola Komunitas Sastrawan-Intelektualis SENJANUARI Surabaya. Salah satu kontributor fungsionaris Ikatan Mahasiswa Sumenep (IKMAS) di Surabaya. Tulisan ini sudah dimuat di Koran SURABAYA PAGI, 16 Februari 2008.
read more “KASIH SAYANG PASCA VALENTINE’S DAY”

99 SAJAK, BERCERMIN KEPADA AIR

Judul Buku : Notasi Pendosa, sembilan puluh sembilan sajak
Penulis : Acep Iwan Saidi
Penerbit : Pustaka Sastra LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Juni 2007
Tebal : xx + 148 halaman
Peresensi : Anwar Nuris *

Menulis puisi bukanlah pekerjaan yang iseng atau sambil lalu sehingga untuk disebut sebagai penyair yang sesungguhnya tidaklah mudah. Karena dalam puisi, potensi bahasa di eksplorasi secara tuntas, mulai dari pemilihan kata-kata, unsur rima hingga irama menjadi bahan pertimbangan dan perhatian khusus.
Puisi bukan hanya bahasa seorang pecinta, perayu, atau bahkan orang yang lagi putus cinta, tetapi dapat memiliki peran universal menurut tema yang dituangkan penyair dalam puisinya, seperti tema kemanusiaan, cinta kasih, dan sebagainya. Maka pembaca puisi yang baik tidak hanya sekedar memahami bahasa yang dikomunikasikan oleh penyair, tetapi seyogianya juga menghayati dan memahami lambang ungkapan serta perbandingan yang terdapat dalam puisi tersebut.
Jika pembaca puisi sudah dapat mencapai tahap memaknai unsur-unsur tersebut, maka sampailah ia pada apa yang dikehendaki oleh penyair. Karena, puisi sendiri menyimpan idealisme yang mencerminkan sikap dan pandangan penyair terhadap tema yang disampaikannya.
Buku yang berjudul Notasi Pendosa ini, merupakan antologi puisi milik Acep Iwan Saidi yang menunjukkan dan mewakili pengalaman hidup yang pernah digelutinya, dengan sosoknya yang kita kenal telah lama berkiprah di dunia sastra lebih dari satu dekade. Kali ini yang menjadi bidikan dalam puisi-puisinya adalah tentang kedekatan dirinya dengan air, terutama laut, yang memang banyak menyimpan keindahan dan merupakan sumber inspirasi yang tak pernah mati. Perjumpaan dan pergaulannya dengan laut menghasilkan puisi-puisi yang penuh kecerdasan imaji serta mampu menggambarkan hal ihwal bencana, nasib sajak, kota yang penuh prahara, asmara, dan akhirnya perkara dosa -merupakan tema besar buku ini- yang bermain di antara nota dan notasi.
Selain itu Acep -begitu sapaan dalam buku ini- juga mengangkat tema religius yang berkarakter kuat yang tampak menyiratkan kesan ketulusan dan kejujuran sehingga menghasilkan efek mengharukan dan menyentuh. Dan, beberapa tema yang lain yang tidak luput dari perhatiannya, seperti tema sosial, cinta dan kesedihan, luka dan kesunyian digarap begitu hangat dalam kumpulan puisinya ini.
Salah satu terobosan baru serta menarik dalam puisi Acep kali ini terletak pada imajinasi utama yang dimainkannya yaitu berkisar sekitar air, terutama laut dan sungai. Laut adalah cermin yang senantiasa memantulkan gejolak ruh sang penyair. Ada keintiman yang mengesankan dalam persenggamaan penulis dengan laut sebagai medium katarsis tempat segala pengalaman batin, terutama tentang luka dan barangkali juga dosa yang dicuci, ditransformasi, kemudian dibenahi.
Arofah (1), baik dari segi bahasa, rima dan iramanya. (hal. 121). Selain itu, pada sajak-sajak religiusnya kerap terasa perpaduan mengharukan antara ketulusan, depresi, kegilaan yang lucu dan kecerdasan imaji, seperti sajaknya yang bertajuk Doa sebelum makan : ”Tuhan, aku ingin kau masuk/ke dalam mulutku/dan aku tak kan pernah bersiwak!”. (hal. 134). Sedangkan puisinya yang bertajuk Variasi pada keheningan misalnya, serta puisi-puisinya yang lain dalam buku ini yang bertemakan luka, terutama dosa telah mampu memberikan nilai masokistis serta menggumpal dengan kedalaman yang cantik pada sajak-sajak religiusnya. (hal. 20).
Disamping kemampuan penulis menafsirkan kejadian secara menakjubkan serta mewujudkannya dalam metafor-metafor yang pas dengan rangkaian kata yang bermakna magis, juga terasa di beberapa bagian lain semacam ada kecanggungan terutama ketika penulis larut dalam sentimentalisme atas kepapaan dan isu sosial seperti carut marutnya kehidupan kota, kemerdekaan atau bencana Aceh. Ada kecanggungan antara menjelaskan dan melukiskan, antara bercerita balada dan bersajak memadatkan rasa. Mungkin ini salah satu kelemahan puisi dalam bukunya kali ini dan dapat kita amati misalnya pada sajaknya yang bertajuk Gadis kecil dalam tenda, Di gerbang Mall, Di dekat bengkel, Doa menjelang lebaran, dan lain sebagainya.
Namun terlepas dari beberapa kecanggungan di atas, buku ini sangat cocok dibaca dan dihayati oleh para penggila sastra terutama puisi, serta patut di acungi jempol karena antologi puisi milik Acep Iwan Saidi ini mempunyai daya kekuatan yang mampu mengajak pembaca bertualang dalam dunia imajinasi serta makna tematik, simbolik dan estetiknya.
Nilai plus buku ini adalah kegeniusan penyair dalam kepenulisan puisi yang melahirkan efek maksimal dari rajutan kata yang minimal, seperti dalam beberapa puisi serta catatan-catatan pendosa macam Acep ini yang hadir sebagai ketulusan religius yang nakal namun diperlukan, bahkan menurut I. Bambang Sugiharto, pengantar buku ini, mengatakan bahwa agar religiusitas tidak menjadi formalitas menyesatkan, maka selain hafal 99 nama Tuhan (asma’ al-husna), ada baiknya pembaca menghayati 99 catatan pendosa milik Acep ini.
Refleksi akhir bahwa, Acep dengan Notasi pendosa-nya maka dia ada, sejajar dengan ungkapan Zainal Arifin Toha, Aku menulis maka aku ada, atau bahkan Rene Descartes dengan sabdanya aku berfikir maka aku ada. Selamat Membaca!.

* Peresensi adalah Mahasiswa Jurusan KI Konsentrasi MP Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Salah satu kontributor fungsionaris Ikatan Mahasiswa Sumenep (IKMAS) di Surabaya. Tulisan ini sudah dimuat di Koran OPSI NASIONAL, 15 Januari 2008.
read more “99 SAJAK, BERCERMIN KEPADA AIR”

TESAURUS-NYA WARGA NU

Judul Buku : Antologi NU; Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah
Penulis : H. Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, S.Sos
Pengantar : K.H. Abdul Muchith Muzadi
Editor : A. Ma'ruf Asrori
Penerbit : Khalista, Surabaya
Cetakan : I, Juni 2007
Tebal : xvii + 322 halaman
Peresensi : Anwar Nuris *
Kalau bahasa Indonesia mempunyai kamus "Tesaurus" sebagai buku referensi ontemporer yang isinya kompleks, terdiri dari sinonim-sinonim kata atau kelompok kata yang tersusun secara sistematis maka mungkin tidak berlebihan jika buku yang berjudul Antologi NU, sejarah, istilah, amaliyah uswah ini disejajarkan dengan kamus Tesaurus tersebut, sebab dari beberapa ulasan dan pembahasannya yanag kompleks tidak hanya memberikan sumbangsih besar bagi kaum Nahdliyin sendiri tetapi juga oleh banyak pihak luar NU yang ingin tahu dan mendalami tentang NU.Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa berdirinya organisasi NU tidak terlepas dari pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam. Setelah Raja Ibnu Saud dikabarkan akan mengadakan muktamar yang mengundang perwakilan organisasi Islam sedunia yang didalamnya akan dibahas tentang penerapan asas tunggal yakni madzhab Wahabi dengan melarang semua bentuk amaliah kegamaan ala ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, maka keinginan tersebut mendapat respon miring dari umat Islam sedunia, termasuk di Indonesia yang diwakili oleh kaum modernis (Muhammadiyah) serta kaum tradisionalis (Pesantren). Namun dari kedua kubu ini sendiri malah terjadi perselisihan dan perbedaan dari segi keorganisasian formal. Dari perbedaan tersebut, akibatnya kalangan pesantren tidak dilibatkan sebagai delegasi ke Muktamar yang akan berlangsung nanti.
Didorong oleh semangat yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hijaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah. (hal. 69-70).
Alhasil, perjuangan Komite Hijaz di muktamar tersebut yang didukung oleh organisasi Islam yang lain dari segala penjuru di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya dan hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing.
Dari perjuangan komite Hijaz tersebut berdirilah organisasi yang di beri nama Nahdlatul Ulama pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H di Surabaya. Sebagai jam’iyah diniyah ijtima’iyah (organisasi keagamaan dan sosial) yang menganut faham Ahlussunah wal Jama'ah (Aswaja). Secara sederhana Aswaja-nya NU ini dalam bidang teologi mengikuti pemikiran Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Dalam bidang fiqh mengikuti salah satu dari empat Madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi'i, atau Hambali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi. Sedangkan pendekatan kemasyarakatan NU dapat dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu tawassuth dan I’tidal (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang).
Sejauh menapaki sejarah, NU telah memberikan kontribusi besar bagi bangsa, negara dan agama, baik sekop nasional maupun internasional, baik ketika masih berbentuk jam’iyah ijtima’iyah diniyah Mahdlah (organisasi sosial keagamaan murni) atau setelah menjadi partai politik.
Dengan terbentuknya komite Hijaz di atas yang hasilnya benar-benar mewarnai dunia Islam. NU mendeklarasikan Resolusi Jihad, untuk membakar semangat Arek-arek Suroboyo sebelum peristiwa perang 10 Nopember di Surabaya. Pasca peristiwa G 30 S/PKI 1965, NU adalah organisasi pertama kali menuntut pembubaran PKI. Setelah itu, disaat pemerintah dinilai lamban dan tidak serius menanganinya, fraksi NU mengeluarkan Resolusi Nuddin Lubis (1966). Pada tahun 1967, disaat ketua MPRS dijabat oleh jenderal AH Nasution, NU kembali menggulirkan gebrakan besar. Di tengah Sidang Umum MPRS, muncullah Resolusi Djamaluddin Malik.
Tidak saja dalam perjuangan fisik dan politik NU berperan, namun juga dalam penegakan agama Islam yang Rahmatan lil ‘alamin, yaitu dengan cara mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Aswaja, sehingga di bidang budaya dan amaliyah NU tetap toleran, bahkan melestarikan sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1985, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU. Peran penting diatas tidak lepas dari kreativitas para tokohnya sebagai pengendali NU sekaligus sebagi uswah (teladan) bagi umatnya.
Dalam buku ini, terangkum dalam empat bab. Pertama membahas Nahdlatul Ulama itu sendiri, baik sejarah, unsur eksternal dan internal organisasi. Kedua, istilah-istilah organisasi. Ketiga, budaya serta amaliyah warga NU. Keempat, pemaparan singkat biografi 49 tokoh NU, mulai dari pemberi restu, pendiri, pejuang, penegak, pembaharu, hingga pelestari.
Gaya penulisan buku yang tersusun sistematis layaknya sebuah kamus begitu pula pemberian judul yang sebelumnya ditawarkan oleh responden utama –K.H. Abdul Muchith Muzadi- dengan judul Primbon NU di rubah menjadi Antologi NU oleh editor –A. Ma’ruf Asrori- menjadikan buku ini lebih “menggigit” serta membuat penasaran bagi orang yang melihatnya.
Setelah saya baca keseluruhan buku ini terasa agak “janggal” sebab ternyata rujukan buku ini tidak mengambil langsung dari beberapa buku atau kitab yang sifatnya referensial, melainkan hanya merujuk pada beberapa literatur yang sudah di-Indonesia-kan, misalnya saja al-Qanun al-Asasi li jam’iyah Nahdlatil Ulama karangannya K.H. Hasyim Asy’ari selaku pendiri NU tidak dicantumkan dalam daftar rujukan.
Namun terlepas dari “kejanggalan” tersebut, terobosan yang dilakukan oleh penulis, editor serta para responden ini secara tidak langsung telah membuka lembaran baru khazanah keilmuan di NU dan patut kita acungkan jempol. Bisa jadi kehadiran buku ini memberikan nuansa baru bagi mereka yang masih berkutat di NU maupun di luar NU.
Mungkin sebagai nilai plus buku ini, disana terpampang foto-foto bersejarah sehingga membuat para pengkaji seolah-olah bersentuhan langsung dengan sejarah. Buku semacam ini sangat dibutuhkan, bukan saja oleh kaum Nahdliyin sendiri, tetapi oleh banyak pihak luar NU yang ingin tahu tentang NU. NU tidak hanya dipahami sekilas saja, tapi bagaimana warga NU benar-benar tahu terhadap seluk beluknya NU. Wa Allah A’lamu.

* Anwar Nuris, Mantan Pengurus IPNU ANCAB Gapura Sumenep, Alumnus PP. Nasy'atul Muta'allimin Gapura Sumenep Madura. Dan sekarang tercatat sebagai Mahasiswa Jurusan Kependidikan Islam KI/MP Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya dan sekaligus salah satu Kontributor Ikatan Mahasiswa Sumenep (IKMAS) di Surabaya. Tulisan ini sudah di muat di Majalah AULA, Juli 2007.
read more “TESAURUS-NYA WARGA NU”

EKSPRESI CINTA YANG BERADAB

Judul Buku : Takut Pacaran Berani Menikah
Penulis : Badai Fisilmikaffah
Penerbit : Lafal Indonesia, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : 168 halaman
Peresensi : Anwar Nuris *

Buku ini berangkat dari keprihatinan dan kegelisahan penulis atas fenomena pacaran yang marak dewasa ini. Banyak yang salah kaprah dalam pemaknaan cinta di kalangan remaja. Hamil di luar nikah, aborsi, dan sebagainya, selalu saja mengatas namakan cinta. Padahal jika cinta dipahami secara menyeluruh, maka cinta akan menjadi mahkota yang akan membawa sang pecinta naik pada hakekat cinta itu sendiri, dengan cinta akan tercipta kedamaian, keharmonisan dan kesantunan seperti yang pernah dicelotehkan Kahlil Gibran.
Sebagaimana kita ketahui bahwa istilah remaja, cinta, dan pacaran merupakan tiga komponen yang saling berkaitan. Ketika anak manusia sudah menginjak masa pubertas dan sudah di landa cinta terhadap lawan jenisnya, dia akan berusaha menjalani sebuah ritual khusus ala remaja, yaitu pendekatan dengan mencari perhatian dari lawan jenisnya. Setelah ada rambu-rambu bahwa perasaan cintanya akan diterima maka sang remajapun akan pasang kuda-kuda untuk melancarkan jurus yang selanjutnya, menembak, dan mengungkapkan perasaan cinta. Setelah cintanya mendapat lampu hijau, maka istilah pacar menjadi status dan legalisasi bagi keduanya serta halal untuk melakukan apa saja sebagai wujud cinta yang mereka rasakan. Inilah yang dilarang dalam Islam.
Dengan judul yang cukup menggelitik, Takut pacaran berani menikah, mencintai adalah sebuah dosa, buku ini menjelaskan bahwa dalam Islam tidak ada yang namanya pacaran dan legalisasi halal melakukan apa saja terhadap pacarnya, di mana perilaku yang mengatasnamakan cinta suci itu sebenarnya adalah perilaku zina. Dan ini sesuai dengan realitas aktifitas pacaran yang cenderung melampaui batas norma agama mulai dari khalwat (berduaan), zina mata, zina lisan, zina hati, zina tangan, zina kaki, bahkan zina kemaluan.
Namun perlu digaris bawahi antara pacaran dan cinta, karena tak ada yang salah dengan cinta, sebab cinta adalah fitrah, anugerah terindah pemberian Allah. Tapi dengan pacaran sebagaimana gambaran di atas, perjalanan cinta telah menyesatkan banyak manusia. Esensi cinta yang sejatinya fitri menjadi kabur dan bahkan bergelimang dosa dikarenakan jalan cinta yang mereka tempuh salah. Cinta akan menjadi penyakit hati jika hati kosong dari kecintaan kepada Allah.
Mengutip perkataan Ibnu Qayyim al-Jauziyah bahwa gejolak cinta yang menerpa seseorang merupakan jenis penyakit hati yang perlu penanganan khusus karena berdasarkan kriterianya, cinta dibagi menjadi dua. Pertama, cinta syahwati, yaitu perasaan cinta seseorang yang di dalamnya terdapat keinginan untuk memiliki orang yang dicintai disertai nafsu syahwat uang penuh bujuk rayu setan. Kedua, cinta imani, yaitu perasaan cinta yang memotifasinya untuk meningkatkan kepada Allah SWT, seiring keadaan fitah manusia sebagai hamba Allah.
Penulis juga menjelaskan, meskipun Islam tidak mengenal istilah pacaran sebagai ekspresi cinta mayoritas kaum remaja, namun Islam memberi jalur lain yang lebih aman dan insya Allah penuh keberkahan bagi mereka yang ingin membangun rumah tangga. Yaitu dengan memperbolehkan terjadinya proses perkenalan (ta'aruf) sebelum menikah dengan rambu-rambu khusus yang harus dipatuhi.
Perbedaan hakiki antara pacaran dan ta'aruf adalah dari tujuan dan manfaatnya. Tujuan pacaran lebih pada kenikmatan sesaat, zina dan maksiat. Sedangkan ta'aruf untuk mengetahui kriteria calon pasangan sebagai pintu gerbang menuju pernikahan. Karena pernikahan merupakan ekspresi cinta yang beradab dan menikah adalah sebuah Mitsaqan Ghalizhan, perjanjian yang sangat berat maka banyak konsekuensi yang harus dijalani suami istri dalam berumah tangga.
Jadi, jangan pernah mengambil keputusan untuk menikah hanya karena ‘ingin’, sementara banyak faktor yang belum kita persiapkan, baik faktor materi maupun naon-materi. Jika memang masih belum siap menikah maka alangkah lebih baiknya kaum remaja untuk berpuasa karena puasa merupakan salah satu yang dianjurkan Nabi demi menjaga dan mengendalikan diri dari perbuatan maksiat yang dilarang oleh agama.
Dengan bahasa yang cukup sederhana, lugas, dan cocok bagi kaum remaja yang sedang dilanda kasmaran, buku setebal 168 halaman ini telah memberikan terobosan baru tentang media ekspresi cinta yang baik selain pacaran. Di dalamnya penulis mengupas tuntas mulai dari permasalahan cinta, fenomena pacaran di kalangan remaja, hingga ta’aruf sebagai media alternatif yang baik yang mampu menjaga kesucian cinta.
Nilai plus buku ini, penulis memaparkan kisah-kisah para pelaku ta'aruf yang menawan dan menggetarkan hati, ta'aruf sebagai media syar'i bagi mereka yang takut pacaran tapi berani menikah. Selain itu, di bagian akhir buku ini terdapat risalah berani menikah, didalamnya terdapat konsep, persiapan, dan tujuan menikah. Sungguh sangat menggugah hati kaum remaja yang sedang dilanda kasmaran.

* Peresensi adalah Pimred Bulletin OBHUR Ikatan Mahasiswa Sumenep (IKMAS) di Surabaya. Tulisan ini sayang sekali selalu di tolak oleh media massa.

read more “EKSPRESI CINTA YANG BERADAB”