Pendopo

Terhampar seluruh getar hati dalam setiap kata dan maknanya. Terdendang sebuah kisah yang sempat tertoreh di seperempat waktu. Kebahagiaan terasa hanya beberapa kejap dari usia yang tak lagi dihitung oleh hitungan tahun tetapi oleh kedalaman rasa. Maka, di atas sajadah kata ini, ku berusaha memetik dawai hati, nyanyikan kidung sunyi yang rindukan buaian mimpi. Tak usah membuka telinga, belalakkan mata, apalagi memaksa batu bicara pada takdir. Bukan pula penulis, tetapi tetap mencoba menulis.

EKSPRESI CINTA YANG BERADAB

Judul Buku : Takut Pacaran Berani Menikah
Penulis : Badai Fisilmikaffah
Penerbit : Lafal Indonesia, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : 168 halaman
Peresensi : Anwar Nuris *

Buku ini berangkat dari keprihatinan dan kegelisahan penulis atas fenomena pacaran yang marak dewasa ini. Banyak yang salah kaprah dalam pemaknaan cinta di kalangan remaja. Hamil di luar nikah, aborsi, dan sebagainya, selalu saja mengatas namakan cinta. Padahal jika cinta dipahami secara menyeluruh, maka cinta akan menjadi mahkota yang akan membawa sang pecinta naik pada hakekat cinta itu sendiri, dengan cinta akan tercipta kedamaian, keharmonisan dan kesantunan seperti yang pernah dicelotehkan Kahlil Gibran.
Sebagaimana kita ketahui bahwa istilah remaja, cinta, dan pacaran merupakan tiga komponen yang saling berkaitan. Ketika anak manusia sudah menginjak masa pubertas dan sudah di landa cinta terhadap lawan jenisnya, dia akan berusaha menjalani sebuah ritual khusus ala remaja, yaitu pendekatan dengan mencari perhatian dari lawan jenisnya. Setelah ada rambu-rambu bahwa perasaan cintanya akan diterima maka sang remajapun akan pasang kuda-kuda untuk melancarkan jurus yang selanjutnya, menembak, dan mengungkapkan perasaan cinta. Setelah cintanya mendapat lampu hijau, maka istilah pacar menjadi status dan legalisasi bagi keduanya serta halal untuk melakukan apa saja sebagai wujud cinta yang mereka rasakan. Inilah yang dilarang dalam Islam.
Dengan judul yang cukup menggelitik, Takut pacaran berani menikah, mencintai adalah sebuah dosa, buku ini menjelaskan bahwa dalam Islam tidak ada yang namanya pacaran dan legalisasi halal melakukan apa saja terhadap pacarnya, di mana perilaku yang mengatasnamakan cinta suci itu sebenarnya adalah perilaku zina. Dan ini sesuai dengan realitas aktifitas pacaran yang cenderung melampaui batas norma agama mulai dari khalwat (berduaan), zina mata, zina lisan, zina hati, zina tangan, zina kaki, bahkan zina kemaluan.
Namun perlu digaris bawahi antara pacaran dan cinta, karena tak ada yang salah dengan cinta, sebab cinta adalah fitrah, anugerah terindah pemberian Allah. Tapi dengan pacaran sebagaimana gambaran di atas, perjalanan cinta telah menyesatkan banyak manusia. Esensi cinta yang sejatinya fitri menjadi kabur dan bahkan bergelimang dosa dikarenakan jalan cinta yang mereka tempuh salah. Cinta akan menjadi penyakit hati jika hati kosong dari kecintaan kepada Allah.
Mengutip perkataan Ibnu Qayyim al-Jauziyah bahwa gejolak cinta yang menerpa seseorang merupakan jenis penyakit hati yang perlu penanganan khusus karena berdasarkan kriterianya, cinta dibagi menjadi dua. Pertama, cinta syahwati, yaitu perasaan cinta seseorang yang di dalamnya terdapat keinginan untuk memiliki orang yang dicintai disertai nafsu syahwat uang penuh bujuk rayu setan. Kedua, cinta imani, yaitu perasaan cinta yang memotifasinya untuk meningkatkan kepada Allah SWT, seiring keadaan fitah manusia sebagai hamba Allah.
Penulis juga menjelaskan, meskipun Islam tidak mengenal istilah pacaran sebagai ekspresi cinta mayoritas kaum remaja, namun Islam memberi jalur lain yang lebih aman dan insya Allah penuh keberkahan bagi mereka yang ingin membangun rumah tangga. Yaitu dengan memperbolehkan terjadinya proses perkenalan (ta'aruf) sebelum menikah dengan rambu-rambu khusus yang harus dipatuhi.
Perbedaan hakiki antara pacaran dan ta'aruf adalah dari tujuan dan manfaatnya. Tujuan pacaran lebih pada kenikmatan sesaat, zina dan maksiat. Sedangkan ta'aruf untuk mengetahui kriteria calon pasangan sebagai pintu gerbang menuju pernikahan. Karena pernikahan merupakan ekspresi cinta yang beradab dan menikah adalah sebuah Mitsaqan Ghalizhan, perjanjian yang sangat berat maka banyak konsekuensi yang harus dijalani suami istri dalam berumah tangga.
Jadi, jangan pernah mengambil keputusan untuk menikah hanya karena ‘ingin’, sementara banyak faktor yang belum kita persiapkan, baik faktor materi maupun naon-materi. Jika memang masih belum siap menikah maka alangkah lebih baiknya kaum remaja untuk berpuasa karena puasa merupakan salah satu yang dianjurkan Nabi demi menjaga dan mengendalikan diri dari perbuatan maksiat yang dilarang oleh agama.
Dengan bahasa yang cukup sederhana, lugas, dan cocok bagi kaum remaja yang sedang dilanda kasmaran, buku setebal 168 halaman ini telah memberikan terobosan baru tentang media ekspresi cinta yang baik selain pacaran. Di dalamnya penulis mengupas tuntas mulai dari permasalahan cinta, fenomena pacaran di kalangan remaja, hingga ta’aruf sebagai media alternatif yang baik yang mampu menjaga kesucian cinta.
Nilai plus buku ini, penulis memaparkan kisah-kisah para pelaku ta'aruf yang menawan dan menggetarkan hati, ta'aruf sebagai media syar'i bagi mereka yang takut pacaran tapi berani menikah. Selain itu, di bagian akhir buku ini terdapat risalah berani menikah, didalamnya terdapat konsep, persiapan, dan tujuan menikah. Sungguh sangat menggugah hati kaum remaja yang sedang dilanda kasmaran.

* Peresensi adalah Pimred Bulletin OBHUR Ikatan Mahasiswa Sumenep (IKMAS) di Surabaya. Tulisan ini sayang sekali selalu di tolak oleh media massa.