Pendopo

Terhampar seluruh getar hati dalam setiap kata dan maknanya. Terdendang sebuah kisah yang sempat tertoreh di seperempat waktu. Kebahagiaan terasa hanya beberapa kejap dari usia yang tak lagi dihitung oleh hitungan tahun tetapi oleh kedalaman rasa. Maka, di atas sajadah kata ini, ku berusaha memetik dawai hati, nyanyikan kidung sunyi yang rindukan buaian mimpi. Tak usah membuka telinga, belalakkan mata, apalagi memaksa batu bicara pada takdir. Bukan pula penulis, tetapi tetap mencoba menulis.

EVOLUSI IDEOLOGI


Anwar Nuris *
 
“Tanpa definisi, kita tidak akan pernah bisa sampai pada konsep” (Ibnu Sina)
 
Ideologi perspektif etimologi berasal dari kata idea = pikiran, dan logos = ilmu. Jadi secara terminologi, ideologi berarti studi tentang gagasan, pengetahuan kolektif, pemahaman-pemahaman, pendapat-pendapat, nilai-nilai, prakonsepsi-prakonsepsi, pengalaman-pengalaman, dan atau ingatan tentang informasi sebuah kebudayaan dan juga rakyat individual. Filsuf Perancis, Antoine Destutt de Tracy (1754-1836), yang pertama kali menciptakan istilah Ideologi pada 1796, mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang pikiran manusia (sama seperti biologi dan zoologi yang merupakan ilmu tentang spesies) yang mampu menunjukkan jalan yang benar menuju masa depan.
D.D. Raphael mengatakan, ideologi biasanya dimaknai sebagai sebuah doktrin yang bersifat preskriptif yang tidak didukung oleh argumentasi rasional. Ilmu mengenai ide yang semula merupakan filsafat akal yang memperoleh ide atau gagasan dari akal (sebagai lawan dari metafisika), dari bahasa francis ideologie, studi atau ilmu mengenai ide-ide. 
Beberapa kalangan lain mendefinisikan istilah ideologi sebagai sebuah doktrin yang ingin mengubah dunia. Ada juga yang mengualifikasikan ideologi sebagai sesuatu yang visioner tapi, lebih banyak lagi mengualifikasikannya sebagai sesuatu yang bersifat hipotetis, tak terkatakan, dan tidak realistis, bahkan lebih dari itu, adalah sebuah penipuan kolektif oleh seseorang atau yang lain, yang mengarah pada pembenaran atau melegitimasi subordinasi satu kelompok oleh kelompok lain, dengan jalan manipulasi sehingga menyebabkan ketidaknyamanan yang berhubungan dengan kekerasan sistematik dan teror yang kemudian berujung pada imperialisme, perang, dan pembersihan etnis.
Dalam literature Arab, istilah ideologi adalah Mabda’ yang secara etimologis berasal dari mashdar mimi dari kata bada’a-yabda u-bad’an wa mabda’an yang berarti permulaan. Secara terminologis berarti pemikiran mendasar yang dibangun diatas pemikiran-pemikiran (cabang )
Dalam Al-Mausu’ah al-Falsafiyah, di sana disebutkan Al-Mabda’ (ideologi) adalah pemikiran mendasar (fikrah raisiyah) dan patokan asasi (al-qaidah al-asasiyah) tingkah laku. Dari segi logika, al-mabda’ adalah pemahaman mendasar dan asas setiap peraturan.
Selain definisi di atas, berikut ada beberapa definisi lain tentang ideologi:
 Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan atau aqidah 'aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan.
 Ideologi adalah studi terhadap ide – ide/pemikiran tertentu (Destutt de Tracy).
 Ideologi adalah inti dari semua pemikiran manusia (Rene Descartes).
 Ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa (Machiavelli).
 Ideologi adalah suatu cara untuk melindungi kekuasaan pemerintah agar dapat bertahan dan mengatur rakyatnya (Thomas H).
 Ideologi adalah sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup (Francis Bacon).
 Ideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat (Karl Marx).
 Ideologi keseluruhan pemikiran politik dari rival–rivalnya (Napoleon Bonaparte).
 Ideologi (Mabda’) adalah Al-Fikru al-asasi al-ladzi hubna Qablahu Fikrun Akhar, pemikiran mendasar yang sama sekali tidak dibangun (disandarkan) di atas pemikiran pemikiran yang lain. Pemikiran mendasar ini merupakan akumulasi jawaban atas pertanyaan dari mana, untuk apa dan mau kemana alam, manusia dan kehidupan ini yang dihubungkan dengan asal muasal penciptaannya dan kehidupan setelahnya (Muhammad Muhammad Ismail).
 Ideologi adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi rasional (aqidah aqliyah), yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi metode untuk mengaktualisasikan ide dan solusi tersebut, metode mempertahankannya, serta metode menyebarkannya ke seluruh dunia (Dr. Hafidh Shaleh).
 Mabda’ adalah suatu aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Yang dimaksud aqidah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan Zat yang ada sebelum dan sesudah alam kehidupan di dunia ini. Atau Mabda’ adalah suatu ide dasar yang menyeluruh mengenai alam semesta, manusia, dan hidup. Mencakup dua bagian yaitu, fikrah dan thariqah (Taqiyuddin An-Nabhani).
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa Ideologi (mabda’) adalah pemikiran yang mencakup konsepsi mendasar tentang kehidupan dan memiliki metode untuk merasionalisasikan pemikiran tersebut berupa fakta, metode menjaga pemikiran tersebut agar tidak menjadi absurd dari pemikiran-pemikiran yang lain dan metode untuk menyebarkannya.
Pada prinsipnya terdapat tiga arti utama dari kata ideologi, yaitu pertama, ideologi sebagai kesadaran palsu. Biasanya dipergunakan oleh kalangan filosof dan ilmuwan sosial. Ideologi adalah teori-teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya. Ideologi juga dilihat sebagai sarana kelas atau kelompok sosial tertentu yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. 
Kedua, ideologi dalam arti netral. Dalam hal ini ideologi adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini terutama ditemukan dalam negara-negara yang menganggap penting adanya suatu “ideologi negara”. Disebut dalam arti netral karena baik buruknya tergantung kepada isi ideologi tersebut.
Dan ketiga, ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah. Biasanya digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Segala pemikiran yang tidak dapat dibuktikan secara logis-matematis atau empiris adalah suatu ideologi. Segala masalah etis dan moral, asumsi-asumsi normatif, dan pemikiran-pemikiran metafisis termasuk dalam wilayah ideologi.
Kembali pada evolusi definitive ideology, di tangan de Tracy, pengertian ideologi bersifat netral, jauh dari makna yang dilontarkan oleh para definitor yang lain. Tetapi, kenyataannya istilah ideologi tak sesederhana yang dirumuskan de Tracy. Bahkan, seperti dikatakan Ania Loomba, istilah ideologi merupakan salah satu istilah yang paling kompleks dan paling sulit dipahami dalam pemikiran sosial, dan merupakan bahan perdebatan berkelanjutan.
Rolf Schwarz, dalam artikelnya What is Ideology, misalnya, mendefinisikan ideologi sebagai, kepercayaan atau sekumpulan kepercayaan, khususnya kepercayaan politik yang mana rakyat, partai, atau negara mendasarkan tindakannya.
Paling tidak, meminjam rumusan Eatwell dan Wright, ideologi dapat dibagi ke dalam beberapa hal: pertama, ideologi sebagai pemikiran politik; kedua, ideologi sebagai norma dan keyakinan; ketiga, ideologi sebagai bahasa, simbol, dan mitos; keempat, ideologi sebagai kekuasaan elit.
Karena sarat kontroversi, tak heran jika makna ideologi berubah menjadi jelek (peyoratif). Lantas, dari mana datangnya perubahan makna ideologi yang bersifat peyoratif itu?. Masih menurut Eatwell dan Wright, itu semua bermula dari Napoleon Bonaparte (1796-1821). Ketika berhadapan dengan kekuasaan tradisional yang legitimasinya semakin memudar, Bonaparte adalah orang yang tertarik pada karya de Tracy karena mendukung ambisi politiknya. Tapi, begitu kursi kekaisaran telah didudukinya, Bonaperte berpaling memusuhi kelompok de Tracy. Kali ini, demi memperoleh dukungan dari kelompok-kelompok tradisional, khususnya gereja Katolik, Bonaparte menuduh kelompok de Tracy sebagai "ideologis."
Kata Eatwell dan Wright, Napoleon kemudian memulai sebuah kritik yang panjang dimana ia menghubungkan ideologi dengan sifat-sifat seperti keinginan a priori untuk menjatuhkan kehidupan lama atau tradisional dan "memajukan" kehidupan manusia, dan atau untuk mendukung keyakinan yang cocok dengan kepentingan mereka yang memproklamirkan ideologi tersebut. (de Tracy adalah seorang republikan liberal yang membayangkan suatu dunia baru di mana kaum intelektual seperti dirinya akan memainkan suatu peranan yang signifikan).
Sejak saat itu, demikian Schwarz, ideologi diasosiasikan dengan orang yang visioner dan teoritikus yang tidak bersentuhan dengan kenyataan, tapi pada saat yang sama tetap berpegang pada pandangannya sendiri, keras kepala, dan dogmatik.
Kita lihat, perlahan-lahan mulai terjadi evolusi pengertian ideologi, dari yang semula bersifat netral menjadi sebuah penghakiman terhadap perbedaan atas dasar kepentingan politik. Dari sebuah ilmu yang mempelajari tentang gagasan menjadi sebuah pengertian yang sinis, jelek, dan tidak ilmiah. Di sini istilah ideologi kedudukannya lebih rendah dari ilmu pengetahuan atau teori. Mungkin itu sebabnya kaum intelektual lebih enjoy disebut akademis, filsuf, atau teoritikus, dari pada disebut sebagai ideolog.
***
Di bawah ini terdapat bermacam bentuk ideology dan tokohnya, tergantung teritorial diskursus dan objek formal kajiannya. Dalam dunia politik terdapat paham Batllisme (José Batlle y Ordóñez), Blairite atau Blairisme (Tony Blair). Castroisme (Fidel Castro). Chavisme (Hugo Chávez). Clintonisme (Bill Clinton). Francoisme (Francisco Franco). Gandhisme (Mahatma Gandhi). Gaullisme (Charles de Gaulle). Jacobitisme (James II dari Inggris). Josephinisme (Joseph II, Kaisar Romawi Suci). Kaczisme (Jarosław Kaczyński). Kemalisme (Mustafa Kemal Atatürk). Kimilsungisme (Kim Il-Sung). Leninisme (Vladimir Lenin). Machiavellianisme (Niccolò Machiavelli). Maoisme (Mao Zedong). Marxisme (Karl Marx). McCarthyisme (Joseph McCarthy). Nasserisme (Gamal Abdel Nasser). Pabloisme (Michel Pablo). Peronisme (Juan Perón). Reaganisme (Ronald Reagan). Sandinisme (Augusto César Sandino). Shachtmanisme (Max Shachtman). Soekarnoisme (Soekarno). Sparticisme (Spartacus). Stalinisme (Joseph Stalin). Strasserisme (Gregor dan Otto Strasser). Thatcherisme (Margaret Thatcher). Titoisme (Josip Broz Tito). Trotskyisme (Leon Trotsky). Uribisme (Álvaro Uribe). Whitlamisme (Gough Whitlam). Yeltsinisme (Boris Yeltsin). Zapatisme (Emiliano Zapata), dan lain-lain.
Sedangkan dalam Agama dan falsafah, terdapat paham Ahmadiyyah (Mirza Ghulam Ahmad). Alevi (Ali). Althusserianisme (Louis Althusser). Amish (Jacob Amman). Arianisme (teolog Arius). Aristotelianisme (Aristotle). Arminianisme (Jacobus Arminius). Augustinisme (Agustinus dari Hippo). Averroisme (Averroes). Bábisme (the Báb). Badawiyyah (Ahmad al-Badawi). Bahá'í Faith (Bahá'u'lláh). Basilideans (Basilides). Bektashi (Hajji Bektash Wali). Benthamisme (Jeremy Bentham). Buchmanisme (Frank N. D. Buchman). Buddhisme (Buddha). Darbyisme (John Nelson Darby). Darqawa (Muhammad al-Arabi al-Darqawi). Dominikan (Dominikus dari osma). Epicureanisme (Epicurus). Erastianisme (Thomas Erastus). Febronianisme (Justinus Febronius). Feeneyisme (Leonard Feeney). Fransiskan (Fransiskus dari Assisi). Georgisme (Henry George). Hanafi (Abu Hanifa an-Nu‘man). Hegelianisme (Georg Wilhelm Friedrich Hegel). Hobbesianisme (Thomas Hobbes). Hutterit (Jakob Hutter). Ismailiyah (Ismail bin Jafar). Jansenisme (Cornelius Jansen). Jerrahi (Pir Nureddin al-Jerrahi). Kalvinisme (Yohanes Kalvin). Kantianisme (Immanuel Kant). Kekristenan (Yesus Kristus). Khalwati (Umar Khalwati). Konfusianisme (Konfusius). Kubrawiyyah (Najmeddin Kubra). Laestadianisme (Lars Levi Laestadius). Lutheranisme dan Neolutheranisme (Martin Luther). Maniisme (Mani/nabi). Martinisme (Louis-Claude de Saint-Martin). Mennonite (Menno Simons). Millerite (William Miller). Mohisme (Mozi). Montanisme (Montanus). Naqshbandi (Baha-ud-Din Naqshband Bukhari). Nestorianisme (Nestorius). Nimatullahi (Shah Nimatullah). Pelagianisme (Pelagius). Platonisme dan Neoplatonisme (Plato). Puseyisme (Edward Bouverie Pusey). Pyrrhonisme (Pyrrho). Qadiriyyah (Abdul Qadir Jaylani). Randianisme (Ayn Rand). Rastafarianisme (Ras Tafari). Raëlisme (Raël). Rifaiyyah (Ahmed ar-Rifa'i). Sabellianisme (Sabellius). Safaviyeh (Safi Al-Din). Senussi (Muhammad ibn Ali as-Senussi). Shadhili (Abu-l-Hassan ash-Shadhili). Socinianisme (Laelius Socinus). Spinozisme (Baruch Spinoza). Suhrawardiyyah (Abu al-Najib al-Suhrawardi). Thomisme (Thomas Aquinas). Tijaniyyah (Sidi Ahmed al-Tidjani). Wahhabisme (Muhammad ibn Abd-al-Wahhab). Yazidisme (Yazid I). Wycliffite (John Wycliffe). Zahediyyah (Zahed Gilani). Zoroastrianisme (Zoroaster). Zwingliisme (Huldrych Zwingli), dan sebagainya.
Demikian juga dalam aspek Ekonomi, terdapat paham Friedmanisme (Milton Friedman). Keynesianisme (John Maynard Keynes). Malthusianisme (Thomas Malthus). Dan lain sebagainya. Sedangkan pada wilayah Ilmiah, diantaranya paham Cartesian (René Descartes). Comtisme (Auguste Comte). Darwinisme (Charles Darwin). Lamarckisme (Jean-Baptiste de Lamarck). Dan masih banyak yang lainnya sesuai dengan spesifikasi pencetusnya, misalnya terdapat paham Fordisme (Henry Ford). Freudianisme dan post-Freudianisme (Sigmund Freud). Masochisme (Leopold von Sacher-Masoch). Sadisme (Donatien-Alphonse-François de Sade). Taylorisme (Frederick Winslow Taylor). Victorianisme (Ratu Victoria).
 
* Selaku editor data mentah bersama team kreatif Ideologi yang disampaikan pada “Wong Tuwo” Dewan Kemitraan Agung (DEKAN) Ikatan Mahasiswa Sumenep (IKMAS) di Surabaya.
read more “EVOLUSI IDEOLOGI”

SURAT UNTUKKU


Anwar Nuris *

Hari ini adalah hari pertamaku masuk kuliah semester III. Semester I dan II telah aku lewati dengan berbagai sejarah kelam. IPK anjlok 1.57, terkena skors 3 minggu karena menghilangkan buku perpustakaan 3 ekslamper sekaligus, surat peringatan dari rektorat karena lambat membayar Herregistrasi. Lebih-lebih surat dari jurusan karena jarang kuliah hingga satu semester, tanpa ada keterangn cuti atau alasan lain. Yang lebih menyedihkan, di putus oleh sang pacar karena terindikasi perselingkuhan. Pada hal, saat malam minggu kemarin, yang aku ajak nonton bioskop hanya sebatas teman dekat.
Jam di dinding sudah meniti angka 6.30 WIB, angka yang begitu dingin, sedingin pagi ini. Sebenarnya jam segini adalah rutinitas yang tidak boleh aku tinggalkan sejak semester kemarin, memeluk bantal, berselimut, tidur di kost sendirian. Tapi untuk semester ini ada kebijakan baru dari fakultas. Jam intensif Bahasa Inggris untuk setiap jurusan pada jam 07.00 WIB hingga jam 08.00 WIB.
Dengan langkah lemas, kuraih handuk kumuh di gantungan baju. Meskipun udara masih dingin, aku coba membulatkan hati untuk tetap ke kampus. Bukan karena jam tambahan intensif bahasa, tetapi karena ada inisiatif baru di kepalaku untuk sekedar melihat-lihat pemandangan alam, makhluk tuhan yang begitu elok nan ayu. Mungkin ada mahasiswi yang cocok, berkenan mengganti kekosongan pasca di putus pacarku yang dulu. Semangat untuk mencari gebetan baru.
Tidak sampai 7 menit, prosesi mandi sudah selesai. Berdandan ala kadarnya, karena memang sejak dulu, aku bukanlah tipe orang yang rajin berhias diri, bagiku yang penting suci.
Sudah siap berangkat dengan tas mungilku sejak semester dua, tas yang hanya berisi ballpoint dan buku catatan. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara ketukan di daun pintu. Tidak biasanya sepagi ini aku dengar ketukan pintu. Tidak mungkin sepagi ini teman-temanku bertamu, ataupun pak kost untuk menagih uang kost, uang listrik atau PDAM. Mungkin orang lain.
“Selamat pagi, Mas..!, apa benar ini Mas Roni?”, dengan sopan pak pos yang kelihatannya masih muda itu menyalamiku sebelum mengutarakan apa maksudnya ke kostku.
“Selamat pagi juga. Ya, benar sekali, ada sesuatu untuk saya?”, balasku seraya sedikit merendahkan bahu tanda menghormatinya.
“Iya, ini”. Sambil merogoh tas orange yang digendongnya, dikeluarkannya satu amplop kecil dan disodorkannya padaku. Aku terima amplop itu dengan wajah penasaran apa gerangan isinya. Setelah kutanda tangani surat tanda terimanya, Pak pos tadi pamit mohon diri.
Aku membolak-balik amplop itu untuk menemukan siapa pengirimnya. Aku temukan; Pengirim: Dede A. Ziyad, Jl. Anggrek 09. Gapura, Sumenep - Madura. Aneh, tidak biasanya kakakku mengirim surat. Kalau ada sesuatu yang penting, atau paling tidak mengetahui kabarku di perantauan, dia hanya memberitahuku dan bertanya via SMS.
Setelah kututup pintu kost, aku duduk di kursi reot yang terdapat di pojok kost. Aku sobek memanjang ujungnya dan ku keluarkan isinya. Ternyata hanya surat biasa, dua lembar kertas ukuran kwarto dengan tulisan tangan. Tanpa pikir panjang kubaca surat itu.

Buat Yth; Adikku
di Perantauan.
Mungkin adik bertanya-tanya, di zaman yang serba maju ini, era globalisasi dan tehnologi, kakak masih sempat menulis surat. Kakak mengakui, zaman sekarang ini semuanya serba cepat, ruang dan waktu bisa diperpendek dan dipersingkat. Kalau hanya sebatas ingin mengetahui kabar adik di perantauan, sebenarnya kakak cukup dengan bertanya lewat SMS atau menelepon adik. Tapi ini kakak lakukan, biar adik selalu dan selalu membaca isi surat ini. Bisa memahami getaran hati kakak selama ini.
Getaran hati kakak saat ini tidak berbeda jauh dengan apa yang pernah adik katakan sebelum berangkat ke Jogjakarta dulu. “Kak.. doakan ya.. semoga adik bisa menjadi penulis di kota para penulis, di Jogjakarta nanti”. Sebait ungkapan adik sendiri yang perlu direfleksikan lagi oleh adik, dan kakak sendiri.
Kakak tahu, dan adik pun pasti lebih memahami, jarak antara Jogjakarta dan Madura bukan jarak yang dekat. Sebuah perantauan panjang bagi adik untuk mengejar impian di seberang. Apa saja aktifitas adik di Jokjakarta, kakak tidak tahu seluruhnya. Adik nakal, rajin, bolos kuliah dan sebagainya, kakak tidak tahu.
Tidak ada misi apa-apa kakak mengirim surat ini. Tulisan di dalam surat ini hanya sebatas getaran hati kakak untuk adiknya. Adik yang sangat kakak cintai dan sayangi. Okelah..!, kakak akan mulai, sehingga kemudian adik mampu menangkap apa dan bagaimana sebenarnya getaran hati yang kakak maksud. 
Pernahkah adik menemukan sebaris celoteh;
Ada daun jatuh, tulis..
Ada batu jatuh, tulis..
Tulis dan tulis..
Di tulis sampai kapan.
Kalau tidak salah, itulah sebagian yang pernah di ungkapkan oleh Raut Sitompul yang kakak temukan dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri; Filsafat Ilmu, sebuah pengantar populer. Ungkapannya sederhana namun mampu menumbuhkan nilai esensi dari kata tulis. Tidak ada sesuatu yang tidak bisa di tulis, dalam artian bahwa tradisi menulis harus di mulai dari sesuatu yang sederhana. Menulis sebenarnya mudah meskipun membutuhkan proses panjang dan sulit. Penulis sekaliber Karen Amstrong misalnya, dia dalam menulis Sejarah Tuhan tidak langsung menjadi sebuah buku. Tetapi melalui proses lama, mulai dari proses keyakinan dan pencariannya terhadap definisi tuhan beberapa agama hingga konklusi akhir terhadap tuhan yang ada di masing-masing agama.
Adik tentu tahu penulis kitab Ihya’ Ulumiddin?, Al-ghazali kan?. Siapa yang menyangka beliau masih “hidup” sampai sekarang, tulisannya menjadi rujukan banyak ulama, cendekiawan, terutama cendekiawan muslim. Beliau dikenang meskipun sudah mendahului kita.
Yang tergolong baru adalah Zainal Arifin Thaha, Jogjakarta. Kota tempat adik kini menimba ilmu. Kota yang di sebut-sebut sebagai kota pendidikan. Banyak yang mengakui, Gus Zainal (sapaan akrab Zainal Arifin Thaha) adalah salah satu inspirator mahasiswa UIN Jogjakarta dalam tradisi tulis-menulis. Bahkan dalam salah satu bukunya, “Aku Menulis Maka Aku Ada” beliau telah mampu memformulasikan nilai filosofis Co geto er Go sum-nya Rene Descartes ke dalam dunia tulis-menulis. Meskipun beliau (Gus Zainal) sudah tiada, tulisan-tulisannya selalu dibaca orang, namanya sering disebut-sebut. Beliau masih hidup.
Ada lagi; sekaliber Al-Farabi misalnya, tokoh filosuf dan pemikir Islam yang kita kenal dengan sebutan “al-mu’allim al-tsani”, guru terbesar kedua setelah Aristoteles, tidak lain adalah seorang penulis.
Coba adik Bayangkan, karya-karya beliau, sejauh yang dapat ditemukan dari beberapa sumber, berjumlah sekitar 117 buku. 43 buku membahas tentang logika, 11 buku membahas metafisika, 7 buku tentang etika, 7 buku tentang ilmu politik, 17 buku membahas tentang musik, ilmu kesehatan, pengobatan, dan sosiologi. Serta 11 buku lainnya merupakan buku-buku komentar atas buku-buku sebelumnya yang di tulis oleh banyak pemikir dan filosuf.
Sebagai contoh; salah satu Kitab atau buku al-Musiqa al-Kabir-nya Al-Farabi, yang menjelaskan tentang teori musik, menjadi salah satu karya monumental di dunia seni musik terutama barat. Karena buku ini menjadi buku wajib bagi mereka yang mendalami musik klasik disana, bahkan buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa mereka. Lagi-lagi ini membuktikan bahwa Al-Farabi masih “hidup”. Karya-karya monumental beliau menjadi rujukan berbagai kalangan intelektual.
Kemudian Ibnu Sina atau Avicenna (Abu Ali al-Husain ibn Abdullah ibn Sina). Adik tentu juga sudah pernah membaca sejarahnya. Beliau semasa hidupnya telah menghasilkan berbagai buku. Dari beberapa sumber, kakak memperoleh data bahwa karya Ibnu Sina mencapai 99 buku; 16 buku di bidang pengobatan, 68 buku di bidang teologi, 11 buku di bidang ilmu falak dan metafisika, dan tidak di sangka ternyata 4 buku beliau merupakan kumpulan puisinya. Karena semangat dan profesionalitas beliau, kerap di ingatkan oleh koleganya agar tidak terlalu memforsir diri dalam bekerja dan belajar. Namun beliau malah berkata; I prefer a short life with width to a narrow one with length. Apa makna ungkapan ini, adik tentu paling tahu.
Selain sejarah di atas, masih banyak tokoh-tokoh yang kakak, adik, dan kita bersama ketahui sejarah dan karya-karyanya. Semisal; Imam al-Syafi’i, al-Ghazali, dan sebagainya. Kemudian Fariduddin Attar, Jalaluddin rumi, Muhammad Iqbal, Ibnu Arabi, Nasrudin Hoja, Kahlil Gibran, Robindranat Tagore, Mahatma Gandhi, Betrand Russel, Jean Paul Sarte, Voltaire, Nietszche, dan sebagainya. Mereka adalah para penulis yang dengan tulisannya mampu merubah dunia.
Lalu para pemikir kontemporer, seperti Sayyid Qutub, Ismai’il Raji al-Faruqi, Sayyid Husein Nashr, Ali Syari’ati, Hasan al-Banna, Muhammad Arkoun, dan sebagainya. Di negeri kita sendiri, banyak sosok yang antusias dalam kepenulisan patut kita refleksikan bersama. Keranjingan mereka terhadap karya sastra sangatlah luar biasa. Orang seperti Gus Dur, Gus Mus, Goenawan Muhammad, Umar Kayam, Kuntowijoyo, Emha Ainun Najib, D. Zawawi Imron, WS. Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Sultan Takdir Ali Syahbana, Akhdiyat Karta Miharja, Sapardi Djoko, Damono, Nur Kholis Majid, dan banyak lagi sastrawan lainnya.
Yang terakhir.. Ada ungkapan Al-Ghazali; kalau engkau bukan anak raja dan engkau bukan pula anak ulama besar, maka jadilah penulis. Aku dan adik anak siapa ya..!?
Itulah getaran hati seorang kakak yang dari getarannya kamu sebagai adikku akan merasakan getarannya juga. Getaran yang tidak semua orang merasakannya. Terlepas dari wacana di atas, getaran hati kakak tidaklah menjamin hati adik bergetar jua. Jadi, kemauan dan cita-cita kakak bukan berarti harus adik penuhi. Cita-cita kakak, adalah bagaimana adik sukses dan dapat dibanggakan oleh keluarga. Ingat dik..!, bapak dan ibu di rumah selalu semangat dalam bekerja keras untuk biaya adik kuliah. Apa yang mereka lakukan adalah demi kesuksesan kita mencapai cita-cita.
Entahlah Dik..!, tiba-tiba kakak berinisiatif menulis surat ini. Sudah satu tahun lebih adik menimba ilmu di perantauan. Dan selama itu pula kakak belum pernah melihat nama adik terpampang di media massa. Kakak tidak memaksa adik untuk menjadi seorang penulis. Kakak hanya bertanya-tanya, di saat nama teman-teman seangkatan adik di sana sering muncul di media massa, menulis puisi, artikel ilmiyah, opini, kolom, cerpen dan lain sebagainya. Nama adik kok tidak pernah kakak lihat.
Kakak sadar, kakak yang sudah lulus kuliah ini bukanlah penulis. Kakak yang pernah kuliah di surabaya ini tulisannya tidak pernah di muat di media massa. Kakak hanya lulusan tarbiyah yang tak pernah aktif di penerbitan. Antara adik dengan kakak harus tidak harus sama kan?.
Adik tentu lebih mengerti perbandingan Jokjakarta sebagai kota pendidikan dan tempat para penulis produktif. Tidakkah ada keinginan adik seperti mereka, atau bahkan lebih dari mereka?.
Mohon maaf sebelumnya, mungkin surat kakak ini membuat risau hati adik. Atau bahkan menyalahkan kakak yang hanya bisa “memarahi”. Tapi kakak hanya ingin mengingatkan kembali bagaimana keinginan adik dulu, ingin menjadi penulis di kota para penulis. Itu saja.
Oke!, mungkin bagi adik semua orang tidak harus sama, adik bisa menentukan jalannya sendiri, tapi bukankah menulis itu adalah salah satu tradisi intelektual. Dan adik adalah mahasiswa, seorang intelektual, kenapa tidak menulis sebagaimana para intelektual yang lain?.
Selamat beraktifitas, rajin-rajinlah kuliah, jaga diri baik-baik. Kami sekeluarga selalu mendoakan adik. Semoga sukses, meskipun prosesnya tidak sama. Amin..

Terhenyak juga membaca surat kakakku. Aku mendongakkan kepala kelangit-langit kostku, menarik nafas panjang mencoba menangkap kembali apa yang sebenarnya terjadi pada diriku ini. Di katakan kuliah, kebanyakan bolosnya. Di katakan intelektual, malah tidak mungkin. Jarang membaca, diskusi, apalagi menulis.
Kulipat lembar surat itu dan kumasukkan ke dalam amplopnya lagi. Kulihat jam di Hp-ku sudah menunjukkan waktu 07.47 WIB. Sepertinya aku lambat lagi hari ini untuk mengikuti intensif bahasa. Dengan hati risau, aku putuskan tidak ke kampus hari ini. Kubaringkan badanku dengan tas mungil yang masih di pinggangku.
Kak.. terima kasih, kakak telah mengetuk hatiku yang beku. Sebelum berangkat dari rumah untuk kuliah Jogjakarta ini, keinginan terbesarku adalah menjadi penulis. Tetapi ternyata aku tidak menjalani proses untuk menjadi seorang penulis. Maafkan aku kak..!, Mak, Pak..!.



* Anwar Nuris, Penulis adalah Kontributor Teater ANCAKA Gapura - Sumenep, sekarang nyanggong di IKMAS (Ikatan Mahasiswa Sumenep) di Surabaya. Tulisan ini sudah dipublikasikan LPMI (Lingkar Pena Mahasiswa Independen) PMII Komisariat Tarbiyah Cabang Surabaya Selatan di Bulletin TransForma.
read more “SURAT UNTUKKU”

CHANGE ONE'S OWEN


(untuk sang pemilik 15 maret dan 2 april) *
IKMAS, 1 Maret 2009
 
Alarm HP 2600 Classicku berdering dengan lagu sangar Linkin Park. Song title What I'Ve Why Done-nya mampu memecah keheningan fajar buta. Suaranya keras sekali di telinga, melepaskan tubuhku dari perangkap mimpi. Ini berarti hari sudah pagi, lebih tepatnya lagi jam 4 lewat 10 menit.
Aku memang sedang membiasakan diriku bangun setiap jam tersebut. Ini kulakukan agar ritme hidupku lebih teratur dan tentu saja lebih mengenal arti disiplin, lebih-lebih disiplin dalam melaksanakan shalat Shubuh yang selama ini sering mengelupas panas oleh semburatnya mentari, alias bolong di patuk paruh kokok ayam. Sebuah antitesa dari masa laluku yang penuh ketidak-teraturan. Bukan untuk maksud yang khusus, namun alangkah segarnya menikmati matahari 5 derajat dari horizon dan mendengar kicauan burung-burung dekat jendela kamarku. Sungguh, hidup ini terasa indah.
Aku segera menuju kamar mandi untuk mencuci muka, berwudlu, lalu minum segelas air putih dari Galon "Aqua" di sudut kamar, shalat Shubuh berjamaah di Mushalla, mengeja firman Tuhan di tengah lelapnya kawan, yang masih terbuai mimpi oleh selimut hangat setan sehingga mereka enggan mengangkat kepalanya dari bantal. Lega rasanya, berusaha beda dengan teman yang lain.
Sesudah itu aku menggerakkan tubuhku dengan sedikit jogging di bawah rerindangnya pohon depan pondokku, hingga terasa sekali aliran darah melesat lancar dari ubun-ubun sampai mata kaki. Segala mimpi lenyap kini dan sekarang waktunya menghadapi realitas hidup.
Sungguh, hari ini terasa indah. Burung-burung masih bernyanyi. Aneh juga terasa, di tengah kota metropolitan sekaliber Surabaya, masih ada satu-dua burung yang terbang bebas berkicau, berseliweran di dahan nan hijau. Mungkin inilah salah satu anugerah untuk pondokku, mungkin pula Tuhan telah mengirim mereka untuk membangunkanku.
Matahari sedikit naik ketika aku menuju taman kumuh depan pondokku untuk menyirami tanaman yang telah menyumbangkan udara segar bagi nafasku. Mataku langsung terpaku pada seekor kupu-kupu yang hinggap di tanaman Jihong yang baru mekar. Meski Jihong tak seindah dan seharum bunga melati ataupun mawar, kupu-kupu itu tetap bertengger di tangkai bunga itu. Warna sayapnya penuh keceriaan, penuh keragaman.
Tetapi ada sesuatu yang lain tampaknya. Ya! Terlihat dari kelepak lemah sayapnya. Aku mendekat untuk melihat lebih jelas lagi. Kupu-kupu ini sepertinya benar-benar kelelahan. Mungkin semalaman mengembara. Ia diam saja ketika kudekati. Malah waktu kusentuh ia tetap diam. Kupu-kupu yang sangat letih. Aku bisa merasakannya. Keadaannya kontras dengan warna sayapnya yang indah.
Konon, bila ada kupu-kupu hinggap di kediamanmu, itu artinya akan ada tamu yang datang. Aku mencoba menghindari spekulasi itu dengan menganggap kupu-kupu itulah tamuku di pagi hari ini. Bila nanti ada orang lain bertamu untuk bertemu aku, anggap saja itu kebetulan semata. Walau bisa saja itu bukan suatu kebetulan. Namun bukankah hidup juga dipenuhi dengan banyak kebetulan? Atau segalanya sudah direncanakan yang Maha Kuasa? Apapun aku menganggapnya, tetap saja itu dinamika hidup yang juga terasa indah.
Kupu-kupu itu kini berada di jariku. Ia tetap diam. Dari diamnya aku merasa ada gejolak dalam dirinya. Penat yang menyelubungi sayap-sayap kecilnya seakan merekam jejak-jejak perjalanannya. Mungkin ia habis mengarungi suatu petualangan yang luar biasa. Aku semakin di dera penasaran. Aku percaya semua mahluk hidup bisa saling berkomunikasi. Tentu saja hal yang absurd bila perbincangan dengan kupu-kupu ini melalui bahasa verbal. Namun ini lebih kepada mengasah kepekaan intuisi kita dalam memahami mahluk hidup selain manusia.
Sekarang, aku duduk tepat di depan daun pintu kamar pondokku yang terbuka dengan kupu-kupu tetap berada di jariku. Aku telah menyiapkan diri seutuhnya untuk mendengar kisah perjalanannya. Ku tatap ia dengan kekuatan intuisiku, mencoba menyelam pada bening dua belah matanya yang sayu. Kubalik adegium dari mata turun ke hati, menjadi dari hati naik ke mata. Aku berbicara padanya dengan bahasa hati melaui perantaraan indra mata. Aku akan bercerita tentangnya..
Awalnya adalah seekor ulat. Hewan kecil melata yang sekujur tubuhnya dipenuhi bulu-bulu. Bagi sebagian orang, ulat adalah binatang paling menjijikkan. Setipe dengan kecoa, kelabang, atau cacing tanah(tentu pean lebih jijik, geli, dan takut dengan cacing tanah, ketimbang hewan melata lainnya).
Pada suatu ketika, mulanya keadaan tersebut tidak merisaukannya sebagai eksistensi dari makhluk yang bernama ulat. Di sebuah taman ia asyik saja melahap daun-daun muda yang merupakan makanan kegemarannya. Namun lama-kelamaan habislah seluruh tanaman karena daun-daun tempat proses pembakaran tanaman telah termakan seluruhnya oleh ulat. Hal ini menggusarkan manusia yang menanamnya. Mereka memburu ulat itu. Hanya saja ulat itupun sudah merasa bahwa ia akan diburu manusia dan ia melarikan diri sejauh mungkin. Yang penting lolos dari perburuan manusia.
Dalam persembunyiannya, ia mendengar sumpah serapah manusia terhadap dirinya. Mulanya ia acuh saja. Tetapi sumpah serapah itu berkembang menjadi sugesti negatif baginya. Hancurlah keyakinan ulat itu. Tiba-tiba ia merasa kalau ia adalah benar-benar binatang yang paling menjijikkan bahkan bila dibandingkan dengan kecoa, kelabang atau cacing tanah.
Ulat itu sedih. Tubuhnya seakan mengecil menjadi seukuran renik atau mikroba. Ia malu bahkan terhadap dirinya sendiri. Ulat itu merasa tak berharga sama sekali. Tuhan menciptakanku tanpa kegunaan selain menjadi bahan umpatan manusia, batinnya mulai memprovokasi.
Ulat itu menjadi amat murung. Tak selera lagi ia melihat daun-daun muda. Hidup terasa menyebalkan. Saat itu ia mengharap ada predator yang melumat habis dirinya. Tapi tak satupun predator ia temui. Kemana larinya mereka? Entahlah, seolah-olah dunia menjadi begitu kosong. Tak ada yang lain selain dirinya dan kepedihannya.
Ia memutuskan untuk tak berhubungan dengan dunia. Tekadnya sudah bulat untuk menyembunyikan diri dalam sebuah kepompong. Namun di dalam kepompong ia kembali berbenturan dengan masalahnya. Tak ada tempat untuk melarikan diri di dunia ini. Mau tak mau ia harus menghadapi problemanya, di dalam kepompong. Bersemedi dan bertapa dalam kesedihan.
Berhari-hari ia menutup diri. Hingga sampailah pada sebuah titik balik. Ia merefleksikan hidup yang telah dijalaninya. Dan setelah melakukan evaluasi secara total, ia menemukan solusi. Yaitu transformasi. Ya, hidup takkan berubah bila kita tak merubah diri sendiri. Kesadaran baru yang timbul dalam diri ulat ini sungguh terasa menakjuban. Ia telah menemukan jalan terbaik baginya. Merubah diri sendiri. Change one's owen.
Kepompong pun pecah. Ulat telah berubah. Kini ia menjadi kupu-kupu. Bayangkan..!, seekor ulat yang menjijikkan telah berubah menjadi seekor kupu-kupu yang indah. Suatu transformasi besar-besaran telah dilakukannya. Kupu-kupu itu terbang melesat dari kepompong. Sayap kecilnya yang berwarna-warni menghiasi alam yang indah. Ia menikmati tubuh barunya. Semua terasa baru baginya. Langit, alam dan hidup sungguh terasa baru dan indah. Ia kepakkan terus sayapnya. Melayang penuh kebebasan. Ia merasakan cinta. Dunia mencintainya dan ia pun belajar mencintai dunia. Kalau tahu hidup begini indah, dari dulu saja ia menjadi kupu-kupu. Sedikit penyesalan. Hanya sedikit. Itupun lumer oleh terik matahari.
Lama juga ia melayang-layang. Timbul kesadaran baru. Aku tetap butuh tempat berpijak. Tak bisa selamanya terus di udara. Dimana aku harus berpijak?, Kupu-kupu itu hinggap di atas batu. Dalam sedetik ia merasa bahwa batu bukan tempat yang nyaman untuk dipijaki. Batu sangat keras dan kasar. Sungguh tak nikmat berpijak di tempat yang tak mengenal keramahan seperti batu ini. Aah, buat apa aku berlama-lama di atas batu. Ia kembali terbang.
Matanya menatap sepucuk pohon yang lumayan rindang. Kupu-kupu itu berpijak di salah satu dahannya. Teksturnya tak sekeras dan sekasar batu. Lagi pula daun-daun mampu melindunginya dari mentari yang kian memanas. Dahan ini lebih ramah dari pada batu tadi. Cukup lama juga ia berdiam di pohon itu.
Sampai tiba-tiba serombongan semut (bilis mardeh) merasa terancam akan kehadiran kupu-kupu. Mereka mengganggu ketenangan kupu-kupu dengan sengatan dan gigitannya yang pedih-pedas. Semakin lama semakin banyak semut yang bergabung. Bisa jadi seluruh koloni semut yang berada di pohon itu menyerang kupu-kupu dari segala arah.
Gundah-gulanalah kupu-kupu atas perlakuan semu-semut itu, dengan terpaksa ia pun melayang lagi mencari titik pijak yang lain. Perhatiannya tiba-tiba tertumbuk pada setangkai mawar merah di taman pesisir timur sana (Sumenep). Warnanya yang hangat seakan meneriakkan salam baginya. Kupu-kupu itu jatuh cinta pada mawar merah itu. Cinta pada pandangan pertama. Dari mata turun ke hati. Ini benar-benar cinta. Tuluskah? Entahlah, itu urusan waktu yang mengujinya. Yang jelas, antara kupu-kupu dan mawar merah ada sesuatu yang dahsyat. Cinta.
Kupu-kupu itu hinggap di pucuk bunga mawar. Mawar itu menyambut dengan liukannya. Respon yang terjadi diantara mereka benar-benar hangat. Mereka seperti dua sahabat lama yang baru berjumpa. Penuh kerinduan.
"Inilah titik pijakku selamanya", kupu-kupu berikrar.
"Inilah sang pelindungku", mawar merah membatin.
Mereka terlihat sebagai dua sejoli yang sedang dimabuk asmara. Dua sejoli yang sedang bercinta. Aaahh…indahnya.
Sayangnya, alam tak setuju. Badai besar datang tak diundang. Riuhnya merobek telinga. Dayanya meluluh-lantakkan segalanya. Dunia harus bergerak. Dan itu bisa berarti segalanya berantakan. Pohon-pohon besar tumbang, batu-batu bergulingan, tanah-tanah retak, rumah-rumah hancur, mobil-mobil berserakan dan jiwa-jiwa tewas.
Kupu-kupu dan mawar merah juga tak berdaya. Mereka terpisahkan. Kupu-kupu terbawa angin lebih jauh ke arah timur, lepas pantai. Mawar merah tercerabut dan tertiup hingga ke tepi barat. Badai besar terus menderu-deru, menjadi penghalang yang tak bisa dihindari.
Keduanya terbawa ke arah berlawanan dalam keadaan tak sadarkan diri. Semakin lama kian jauh jarak yang terentang diantara mereka. Mungkin ratusan mil, atau bahkan ribuan mil. Entahlah, tak ada yang mengukurnya secara pasti. Ketika siuman, kupu-kupu itu sadar bahwa mawar merahnya sudah semakin menjauh. Ia kehilangan. Sangat kehilangan. Hatinya luka, jauh lebih sakit rasanya ketimbang perasaan saat menjadi ulat dahulu. Ia kesepian di tengah angin yang masih menderu. Tetapi ia putuskan untuk tak larut dalam permasalahan, harus dicari penyelesaian sesegera mungkin.
Dalam sekejap ia memilih untuk terbang melawan angin, menuju arah mawar merah yang tertiup kea rah barat. Sebuah keputusan yang berani dan sedikit nekad. Berkali-kali tubuh ringkihnya tersapu angin, namun tak sudi ia mengenal kata menyerah. Ia terus melawan angin. Ke pesisir barat ia menuju, dengan sejuta asa ingin menemukan mawar merahnya yang entah dimana kini berada. Kupu-kupu itu jelas kehilangan jejak. Tak tahu harus kemana.
Tiba-tiba ia bertemu ular. Hewan melata itu pun melihat kupu-kupu yang kebingungan. Terlihat keramahan dari rupa ular, kupu-kupu memutuskan untuk bertanya padanya.
"Hai, ular. Aku ingin minta tolong padamu", Tanya kupu-kupu pada si ular.
"Katakan saja, mungkin aku bisa membantumu", dengan intonasi serius ular itu menjawab.
"Aku mencari mawar merahku, apa kau melihatnya?", lanjut sang kupu-kupu.
"Mawar merah?, Ya, aku melihatnya! Mari mendekat biar kubisikkan padamu" jawab ular seraya mengingsut ekornya melingkar. Bukan main gembiranya kupu-kupu itu mendengar penuturan ular, ia pun terbang mendekat ke arah ular. Sekitar tiga senti lagi ia berada di depan mulut ular, tiba-tiba keramahan ular berubah drastis menjadi kelaparan. Matanya menatap tajam kupu-kupu. Ia buka mulutnya lebar-lebar. Kupu-kupu secara spontan kaget dan melayang kembali ke udara. Ular itu berusaha mendapatkannya dan kupu-kupu itu semakin tinggi terbangnya. Ia selamat dari bahaya. Tak disangka-sangka ular itu ternyata hendak menipunya. Hanya saja alam berpihak kepadanya dan amanlah ia dari mangsa si ular.
Ia kembali melanjutkan penerbangannya, terus ke barat. Matahari hampir merebah di kaki langit. Hari menjelang gelap. Angin sudah berhenti. Energinya sudah melemah. Kupu-kupu itu terus mengepakkan sayapnya. Terus dan terus ke barat.
Di tengah perjalanan, dalam gelap malam, ia bertemu dengan burung hantu di dahan sebuah pohon. Sayangnya burung hantu tak mengenal mawar tetapi makar. Giliran kupu-kupu tak mengenal makar. Keduanya tak berada dalam titik temu. Kupu-kupu makin gelisah. Burung hantu meminta maaf karena tak bisa membantu. Tapi, setidaknya ia tulus dan itu sudah cukup, dari pada seperti ular tadi, ada maunya.
Setelah berterima kasih dan berpamitan, ia tinggalkan burung hantu dan menyusuri malam sejauh mungkin. Tak ada petunjuk arah mana, ia terus terbang dan terbang lagi. Tubuhnya melemah, tenaganya mengendur namun tak sampai habis karena kenangan indah bersama mawar merah memacu dirinya.
Memori itulah yang menemani kesepiannya. Hingga tak terasa, matahari terbit di belakangnya. Energinya sudah sampai di titik nadir dan ia memutuskan untuk beristirahat. Tepat di taman kumuh depan kamar pondokku. Hinggap di bunga tanaman Jihong milikku, tanaman hias sebangsa dengan tanaman Mawar. Di benaknya hendak bertanya tentang Mawar Merahnya pada Jihong tersebut. Mungkin kawan barunya itu tahu di mana mawar merahnya kini berada.
Tetapi skenario takdir kupu-kupu itu dipercepat oleh Tuhan. Jihong tersebut mengantarkan Kupu-kupu posang itu padaku. Perjalanan yang luar biasa. Aku terharu mendengar penuturan kupu-kupu itu dalam upayanya menemukan mawar merah. Cinta yang membuatnya hidup kembali dan cinta pula yang membuatnya melewati petualangan berbahaya. Aah, aku harus belajar dari kupu-kupu ini dalam memaknai cinta. Sungguh, aku benar-benar tersentuh. Lalu aku teringat, rasanya baru kemaren ada setangkai mawar merah di taman kecil milik tetangga pondokku, seperti baru ditanam oleh si empunya taman karena mawar tersebut masih sayu dengan mahkota bunganya yang hampir mengatup dengan kelopaknya.
Tanpa pikir panjang aku segera bergegas membawa kupu-kupu yang masih terdiam di jariku itu ke sana. Mungkin saja itu mawar merahnya. Karena temanku, si empunya taman pernah bilang kemaren, kalau ia menemukan bunga mawar merah itu di tepi jalan, hampir layu. Dan ia segera menanamnya di tamannya.
Sepuluh langkah menjelang taman, kupu-kupu itu bergerak-gerak. Sepertinya ia sudah mencium aroma khas mawar merah itu. Dan benar saja, belum lagi sampai kaki ini melangkah, kupu-kupu itu terbang melesat dari jariku, menuju mawar merah di taman itu. Ia hinggap di pucuknya. Mawar merah menyambut dengan liukannya. Respon yang terjalin di antara mereka benar-benar hangat. Mereka seperti dua sahabat lama yang baru berjumpa. Penuh kerinduan.
Dua sejoli yang sedang dimabuk asmara. Dua sejoli yang sedang bercinta. Aku terpana. Waw, indah ya.
(Akulah kupu-kupu itu, dan kaulah bunga mawar nan indahnya…).
 
 
* Cerpen ini adalah hasil aransemen antara dunia fakta dan dunia imajinasi penulis asli dan penulis lugu. Tidak diperuntukkan kepada Media, hanya untuk kalangan sendiri.

read more “CHANGE ONE'S OWEN”

SYAIKH NAWAWI BANTEN: THE GREAT SCHOLAR ULAMA-ULAMA INDONESIA


Dia sangat patut diberi prediket pujangga dunia Islam
(Idham Chalid)
Judul : Sayyid Ulama Hijaz; Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani
Penulis : Samsul Munir Amin
Penerbit : Pustaka Pesantren, LKiS Yogyakarta
Halaman : xiv + 128 halaman
Cetakan : I, Februari 2009
Peresensi : Anwar Nuris


Ada beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh kitab kuning Indonesia. Sebut misalnya; Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Abdul Shamad al-Palimbani, Syaikh Yusuf al-Makassari, Syaikh Syamsudin al-Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Syaikh Ihsan al-Jampesi, dan Syaikh Muhammad Mahfudz al-Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga di beberapa universitas di luar negeri.
Bahkan, konon banyak ulama dan pakar bahasa Arab, termasuk ulama Al-Azhar, yang tidak segera percaya saat mereka tahu bahwa pengarang kitab Amtsilah al-Tashrifiyyah adalah Kiai Makshum Ali dari Jombang, Indonesia, yang dimaklumi tidak menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa ibu. Kitab Ilmu Tashrif (konjugasi) ini terkenal karena dapat menjelaskan proses bentukan kata dan tata matra (wazan) secara ringkas.
Selain Kiai Makshum Ali, juga ada Kiai Ihsan bin Dahlan Jampes dari Kediri. Dengan karya monumentalnya yang berjudul Siraj al-Thalibin sebagai kitab syarah (penjelas) dari Minhaj Al-’Abidin-nya Al-Ghazali, mampu membuat penasaran para penggemar “etika al-Ghazali” di Eropa, karena mereka mengakui doktrin-doktrin Imam al-Ghazali yang begitu rumit namun dengan gamblang diuraikan oleh Kiai Ihsan. Bahkan ketika kitab Siraj terbit dan beredar di dalam maupun di luar negeri, datanglah utusan raja Faruq dari Mesir yang meminta Kiai Ihsan untuk mengajar di Universitas al-Azhar. Akan tetapi, beliau menolak tawaran tersebut dan lebih memilih untuk tetap tinggal di Indonesia.
Begitu pula yang terjadi dengan Syaikh Imam Nawawi al-Bantani. Beliau adalah satu dari tiga ulama asal Indonesia yang diizinkan mengajar di Masjidil Haram di Makkah, dan di antara ketiganya, beliaulah yang di anugerahi gelar Sayyid Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Dan juga satu-satunya ulama Indonesia yang namanya tercantum dalam literatur-literatur Arab yang sangat masyhur, antara lain dalam kamus al-Munjid karya Louis Ma’luf yang terkenal itu.
Nama Syaikh Nawawi sangat lekat dikalangan kiai dan santri di Indonesia, karena hampir semua kiai di Jawa dan Indonesia secara umum memiliki geneologi intelektual yang sama-sama bermula darinya. Diantara muridnya yaitu; KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, Kiai Mahfudz Tremas, Kiai Asnawi Kudus, Kiai Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan Kiai Kholil Bangkalan, dan masih banyak yang lainnya.
Yang perlu digarisbawahi disini adalah, bahwa dikalangan ulama dan pengarang Islam dikenal dua nama Nawawi. Keduanya sama-sama ulama dan pengarang besar. Pertama adalah Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Birri bin Hasan bin Husaini Mukhyiddin an-Nawawi as-Syafi’i. Dia adalah seorang Ulama Syafi’iyyah yang lahir dan wafat di Nawa, Damsyiq. Dia dikenal sebagai Imam Nawawi dan hidup sekitar abad ke-13 Masehi. (hlm. 9).
Yang kedua adalah Abu Abd al-Mu’thi Muhammad ibn Umar ibn Arabi ibn Nawawi al-Jawi al-Bantani al-Tanari. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1230 H/1815 M. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M beliau wafat dalam usia 84 tahun dan dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin, istri Nabi Muhammad SAW. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa, Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawal selalu diadakan acara Haul beliau.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far al-Shodiq, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Mengenai kiprahnya di kalangan komunitas pesantren, Syaikh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati. Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asy’ari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syaikh Nawawi adalah guru utamanya.
Maka dengan mengangkat kembali wacana produktifitas ulama Indonesia, buku ini menyajikan biografi singkat Syaikh Nawawi. Setidaknya ada beberapa manfaat yang diharapkan sebagaimana yang diinginkan buku ini. Pertama, untuk memberikan informasi yang lebih luas mengenai Syaikh Nawawi; sejarah hidup, jasa-jasanya dalam penyebaran agama Islam, dan karya-karyanya yang fenomenal yang sampai sekarang dijadikan rujukan beberapa pesantren di Indonesia. Kedua, untuk mengungkap secara lebih mendalam pemikiran-pemikiran dakwahnya, terutama dalam kitab Tafsir al-Munir-nya. (Hlm. 82-93)
Memperhatikan karya-karya Syaikh Nawawi, dia dikenal memegang teguh dan mempertahankan traidisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi terhadap para tokoh ulama di Indonesia, Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari akar tradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu buku yang di tulis Samsul Munir Amin ini sepatutnyalah mendapatkan perhatian dan apresiasi serius oleh kader-kader NU sekarang yang rata-rata ansich bergelut dalam dunia politik praktis dan melupakan tradisi keagamaan pendahulunya.
Buku setebal 128 halaman ini di-frame, dikemas dengan konsep ilmiah populer karena memang sebelumnya buku ini adalah hasil skripsi penulis. Meskipun demikian, bahasa yang digunakan buku ini tetap mudah dipahami oleh kaum awam sekalipun. Sebuah buku yang membahas biografi mahaguru sejati (the great scholar) ulama-ulama Indonesia.

* Anwar Nuris, Ketua Umum IKMAS (Ikatan Mahasiswa Sumenep) di Surabaya, alumnus Pondok Pesantren Nasy-atul Muta’allimin Gapura – Sumenep. Tulisan ini sudah dimuat di situs NU Online, Edisi 11 Mei 2009.
read more “SYAIKH NAWAWI BANTEN: THE GREAT SCHOLAR ULAMA-ULAMA INDONESIA”

REFLEKSI SEWAKTU BISU


Siangku malamku,
Malamku siangku,
Siang malamku
Hatiku kelu,
Malam siangku
Mulutku bisu,


Ini bukanlah kisah akhir seluruh kehidupanku, aku masih menysakan seperempat nafasku untuk sesuatu yang belum sempat kujamah. Aku tidak tau lagi ujung perjalanan yang sebelumnya tidak pernah kurasakan memulainya. Betapa tidak, saat terlakhir di dunia ini, katanya ku hanya membawa tangis yang di iringi oleh senyum bahagia sekelilingku.
Sempat terlintas dalam pikiranku, aku adalah tuhan yang mampu merasakan dan melampaui segala apa yang ada di dalam dan di luar diriku. Namun, perasaan itu tumbang seketika saat aku mencoba menggapai apa yang sebenarnya dalam diriku.
Ah itu hanya kerangka waktu yang sistematis, skenario tuhan untuk makhluknya yang bernama manusia. Makhluk yang satu ini pasti mengalami masa transisi yang mampu membawanya ke arah kedewasaan. Semuanya berawal dari rasa tidak tahu, sedikit tahu, banyak tahu, dan bahkan terkadang sok tahu.
Hidup, singkat sarat akan makna. Banyak orang yang berani mempertaruhkan apapun demi kelangsungan gelar ini agar tetap disandang di pundaknya. Akupun saat ini sulit membedakan apakah aku masih hidup, hidup tapi sebenarnya mati, mati bersama hidup, atau bahkan aku tidak pernah mengenal hidup sekaligus mati. Antara hidup dan mati sama saja.
Begitupun juga dengan mati. Kata yang mampu membangunkan buluk kuduk, merinding, ih menyeramkan, sebagian orang tidak ingin menjumpai peristiwa ini. Atau bahkan tidak sedikit pula orang selalu merindukan yang namanya mati. Konotasi makna yang begitu mendalam, sampai-sampai semua orang mempunyai ke khawatiran untuk menyelaminya.
”Entahlah.. ” celetuk kakek tua yang sudah berkepala lima. ”hal itu tidak perlu jauh dipikirkan, kita hanya dituntut mampu mencari jawaban, apakah sudah siap untuk menghadapi mati?”, selorohnya dengan nada begitu datar, mencerminkan ketidaksiapan, keragu-raguan akan kesiapan dirinya menghadapi mati.
”Alah..hari gini ngomongin mati, rata-rata umur tu kepala lima ke atas lah?”, ledek adik yang masih kelas 1 SMP. aneh!, antara hidup dan mati masing-masing mempunyai interpretasi unik bagi masing-masing orang.
Begitupun dengan bumbu hidup, salah satunya cinta. Siapa yang tidak kenal dengan kata ini. Terkadang membuat geleng-geleng kepala, bukannya tidak mengerti, tetapi pusing. Interpretasi yang berbeda-beda. Cinta itu buta, cinta itu indah, lantas apa hubungannya antara buta dengan indah?.
Aku hanya ingin hidup dengan cinta yang membutakan.
***
Sebentar lagi aku KKN, karena kemaren PPL sudah aku ikuti sepertiga perjalanan. Sebentar lagi aku akan menghadapi dunia real sereal-realnya. Sebentar lagi aku akan memahami betapa hidup itu sebenarnya sangat pendek. Baru kemaren rasanya semester satu, tiba-tiba sekarang sudah ditengah semester enam.
Sebentar lagi aku skripsi, dengan idealisme yang begitu melangit hingga tidak mampu dibumikan. Sebentar lagi aku akan wisuda yang katanya menyenangkan sebab jadi pengacara muda (pengangguran banyak acara). 
Sebentar lagi aku akan menepati janji untuk menikahinya secara halal, sebentar lagi aku akan disibukkan dengan berbagai macam persiapan pernikahan, mulai dari maskawin, walimah dan lain sebagainya. 
Sebentar lagi aku akan jadi Ayah karena berselang 1 tahun aku mengawininya, dia sudah mengandung. Sebentar lagi aku akan menggendong bayi mungil nan lucu. Sebentar lagi aku akan melihat bayi yang baru terlakhir dari rahim istriku itu masuk sekolah TK, dipelajari ngaji alif ba’ ta’ tsa’ dan seterusnya. Dipelajari a b c d dan seterusnya, hingga dia bisa baca, berbicara, dan menulis.
Sebentar lagi aku jadi tulang punggung keluarga, menjadi orang yang di hormati dan disegani di keluarga besarku. Sebentar lagi aku sakit, meregang nyawa. Sebentar lagi aku akan mati, menghadap-Mu, tapi sampai sekarang aku ingin hidup seribu tahun lagi.
Aku malu untuk berjumpa dengan-MU, Tuhan...
Sebentar lagi akan menutup tulisan ini, dan akan dilanjutkan lain waktu...
 
TRANSISI
Pagi...
Jam Delapan
seperti tenggelam dalam kegelapan,
Jam Sembilan
semakin terpenjara bersama kemiskinan,
Jam Sepuluh
selalu melenguh hingga berpeluh,

Malam..
Jam Tujuhbelas
beduk Senja nian memelas,
Jam Sembilanbelas
menghela panjang napas,

Jam Duapuluhtiga
Limapuluhsembilan menit
Limapuluhsembilan detik
menghadapi kehidupan pelik,

Indonesia..
Jam Duapuluhempat
sabar hingga kiamat
Surabaya, 2009

KEMBALI UNTUKMU

Sayup suara gerimis memanggil luruh 
lorong waktu mengukir jutaan rindu
via berhala kecil manisku

"Aku masih rindu
cubitan nakal tangan kirimu,
dulu"

"Aku masih ingin
kau hadir melampaui waktu,
kemarin"

dengan aroma wangi nafsu birahi
ingin sua dalam keterjagaan semesta ini
Bangkalan, 2009
BUDDHA TAUBAT
Singkirkan…
Kammakilesa, karena papakamma
Sang Vijaya datang untuk nasevati
chanda gati,
dosa gati,
moha gati,
bhaya gati
Pergi…
Dari hidung, mata, lidah, telinga, kulit, 
Membuka simpul di hati!
Yogyakarta, 2008

ELIAT
Tertidur dalam bangunku
seperempat waktu telah merenggut
perlahan, pelan tanpa sadar
diam, hening, sunyi
rasa itu hadir kembali
kapan…

Kau telah tidurkan aku dalam bangunmu
atau,
Akulah yang tidak mau bangun
dalam tidurmu
bangunkan aku dari tidur-bangunmu

Dasar!
saat Aku terbangun
kau meniduriku
Sumenep, 2009
JEJAK SAJAK SEJAK

sejak sajak-sajak tinggal jejak
yang tenggelam dalam kelam

sejak sajak-sajak mulai merangkak
teringat kepedihan masa silam

sejak sajak-sajak terukir
enggan berfikir

sejak sajak-sajak mulai berair mata
kutimbang-timbang tak mampu meredakan luka

sudi terkapar, terlempar terbenam ke dasar
dengan separuh jejak
siapa hendak ku ajak?
Jakarta, 2008
 
TASBIHKUPUTUS
Keluh hadir
dari sisi gelap sudut mungil
alpha di buku absensi-Mu
izin di harian-Mu
sakit di haribaan-Mu

tasbih kuputus?
taubat, ingin ku teguk air mata haru-Mu
tasbihku putus?
tengadah, resah membuncah harap ma'unah-Mu
Surabaya, 2009
DAPUR PENULIS
Betapa tidak!
tergerus pena bercahaya
menggiring ke utara bertanya pada sebongkah asa
meramu sinonim makna kisah garam kemarau
melukis air asin, tawar, kecut, asam, anyir..
menjadi harum berpelukan di belangga

Betapa iya!
semut tertawa menggelikan
terjerembab ditumpukan kertas si Dewa Tinta
gajah berkoar-koar mencibir
"ah.. tulisanmu masih jelek"
Surabaya, 2009



Anwar Nuris, Kelahiran Sumenep – Madura, 15 Maret 1987. Alumni Ponpes Nasy-atul Muta’allimin Gapura Timur. Sekaranag tinggal di Surabaya mengelola Pondok Budaya IKON Surabaya, Direktur komunitas sastrawan-paedagogis SENJANUARI, serta kontributor Bulletin Obhur IKMAS (Ikatan Mahasiswa Sumenep) di Surabaya.


read more “REFLEKSI SEWAKTU BISU”