Pendopo

Terhampar seluruh getar hati dalam setiap kata dan maknanya. Terdendang sebuah kisah yang sempat tertoreh di seperempat waktu. Kebahagiaan terasa hanya beberapa kejap dari usia yang tak lagi dihitung oleh hitungan tahun tetapi oleh kedalaman rasa. Maka, di atas sajadah kata ini, ku berusaha memetik dawai hati, nyanyikan kidung sunyi yang rindukan buaian mimpi. Tak usah membuka telinga, belalakkan mata, apalagi memaksa batu bicara pada takdir. Bukan pula penulis, tetapi tetap mencoba menulis.

CHANGE ONE'S OWEN


(untuk sang pemilik 15 maret dan 2 april) *
IKMAS, 1 Maret 2009
 
Alarm HP 2600 Classicku berdering dengan lagu sangar Linkin Park. Song title What I'Ve Why Done-nya mampu memecah keheningan fajar buta. Suaranya keras sekali di telinga, melepaskan tubuhku dari perangkap mimpi. Ini berarti hari sudah pagi, lebih tepatnya lagi jam 4 lewat 10 menit.
Aku memang sedang membiasakan diriku bangun setiap jam tersebut. Ini kulakukan agar ritme hidupku lebih teratur dan tentu saja lebih mengenal arti disiplin, lebih-lebih disiplin dalam melaksanakan shalat Shubuh yang selama ini sering mengelupas panas oleh semburatnya mentari, alias bolong di patuk paruh kokok ayam. Sebuah antitesa dari masa laluku yang penuh ketidak-teraturan. Bukan untuk maksud yang khusus, namun alangkah segarnya menikmati matahari 5 derajat dari horizon dan mendengar kicauan burung-burung dekat jendela kamarku. Sungguh, hidup ini terasa indah.
Aku segera menuju kamar mandi untuk mencuci muka, berwudlu, lalu minum segelas air putih dari Galon "Aqua" di sudut kamar, shalat Shubuh berjamaah di Mushalla, mengeja firman Tuhan di tengah lelapnya kawan, yang masih terbuai mimpi oleh selimut hangat setan sehingga mereka enggan mengangkat kepalanya dari bantal. Lega rasanya, berusaha beda dengan teman yang lain.
Sesudah itu aku menggerakkan tubuhku dengan sedikit jogging di bawah rerindangnya pohon depan pondokku, hingga terasa sekali aliran darah melesat lancar dari ubun-ubun sampai mata kaki. Segala mimpi lenyap kini dan sekarang waktunya menghadapi realitas hidup.
Sungguh, hari ini terasa indah. Burung-burung masih bernyanyi. Aneh juga terasa, di tengah kota metropolitan sekaliber Surabaya, masih ada satu-dua burung yang terbang bebas berkicau, berseliweran di dahan nan hijau. Mungkin inilah salah satu anugerah untuk pondokku, mungkin pula Tuhan telah mengirim mereka untuk membangunkanku.
Matahari sedikit naik ketika aku menuju taman kumuh depan pondokku untuk menyirami tanaman yang telah menyumbangkan udara segar bagi nafasku. Mataku langsung terpaku pada seekor kupu-kupu yang hinggap di tanaman Jihong yang baru mekar. Meski Jihong tak seindah dan seharum bunga melati ataupun mawar, kupu-kupu itu tetap bertengger di tangkai bunga itu. Warna sayapnya penuh keceriaan, penuh keragaman.
Tetapi ada sesuatu yang lain tampaknya. Ya! Terlihat dari kelepak lemah sayapnya. Aku mendekat untuk melihat lebih jelas lagi. Kupu-kupu ini sepertinya benar-benar kelelahan. Mungkin semalaman mengembara. Ia diam saja ketika kudekati. Malah waktu kusentuh ia tetap diam. Kupu-kupu yang sangat letih. Aku bisa merasakannya. Keadaannya kontras dengan warna sayapnya yang indah.
Konon, bila ada kupu-kupu hinggap di kediamanmu, itu artinya akan ada tamu yang datang. Aku mencoba menghindari spekulasi itu dengan menganggap kupu-kupu itulah tamuku di pagi hari ini. Bila nanti ada orang lain bertamu untuk bertemu aku, anggap saja itu kebetulan semata. Walau bisa saja itu bukan suatu kebetulan. Namun bukankah hidup juga dipenuhi dengan banyak kebetulan? Atau segalanya sudah direncanakan yang Maha Kuasa? Apapun aku menganggapnya, tetap saja itu dinamika hidup yang juga terasa indah.
Kupu-kupu itu kini berada di jariku. Ia tetap diam. Dari diamnya aku merasa ada gejolak dalam dirinya. Penat yang menyelubungi sayap-sayap kecilnya seakan merekam jejak-jejak perjalanannya. Mungkin ia habis mengarungi suatu petualangan yang luar biasa. Aku semakin di dera penasaran. Aku percaya semua mahluk hidup bisa saling berkomunikasi. Tentu saja hal yang absurd bila perbincangan dengan kupu-kupu ini melalui bahasa verbal. Namun ini lebih kepada mengasah kepekaan intuisi kita dalam memahami mahluk hidup selain manusia.
Sekarang, aku duduk tepat di depan daun pintu kamar pondokku yang terbuka dengan kupu-kupu tetap berada di jariku. Aku telah menyiapkan diri seutuhnya untuk mendengar kisah perjalanannya. Ku tatap ia dengan kekuatan intuisiku, mencoba menyelam pada bening dua belah matanya yang sayu. Kubalik adegium dari mata turun ke hati, menjadi dari hati naik ke mata. Aku berbicara padanya dengan bahasa hati melaui perantaraan indra mata. Aku akan bercerita tentangnya..
Awalnya adalah seekor ulat. Hewan kecil melata yang sekujur tubuhnya dipenuhi bulu-bulu. Bagi sebagian orang, ulat adalah binatang paling menjijikkan. Setipe dengan kecoa, kelabang, atau cacing tanah(tentu pean lebih jijik, geli, dan takut dengan cacing tanah, ketimbang hewan melata lainnya).
Pada suatu ketika, mulanya keadaan tersebut tidak merisaukannya sebagai eksistensi dari makhluk yang bernama ulat. Di sebuah taman ia asyik saja melahap daun-daun muda yang merupakan makanan kegemarannya. Namun lama-kelamaan habislah seluruh tanaman karena daun-daun tempat proses pembakaran tanaman telah termakan seluruhnya oleh ulat. Hal ini menggusarkan manusia yang menanamnya. Mereka memburu ulat itu. Hanya saja ulat itupun sudah merasa bahwa ia akan diburu manusia dan ia melarikan diri sejauh mungkin. Yang penting lolos dari perburuan manusia.
Dalam persembunyiannya, ia mendengar sumpah serapah manusia terhadap dirinya. Mulanya ia acuh saja. Tetapi sumpah serapah itu berkembang menjadi sugesti negatif baginya. Hancurlah keyakinan ulat itu. Tiba-tiba ia merasa kalau ia adalah benar-benar binatang yang paling menjijikkan bahkan bila dibandingkan dengan kecoa, kelabang atau cacing tanah.
Ulat itu sedih. Tubuhnya seakan mengecil menjadi seukuran renik atau mikroba. Ia malu bahkan terhadap dirinya sendiri. Ulat itu merasa tak berharga sama sekali. Tuhan menciptakanku tanpa kegunaan selain menjadi bahan umpatan manusia, batinnya mulai memprovokasi.
Ulat itu menjadi amat murung. Tak selera lagi ia melihat daun-daun muda. Hidup terasa menyebalkan. Saat itu ia mengharap ada predator yang melumat habis dirinya. Tapi tak satupun predator ia temui. Kemana larinya mereka? Entahlah, seolah-olah dunia menjadi begitu kosong. Tak ada yang lain selain dirinya dan kepedihannya.
Ia memutuskan untuk tak berhubungan dengan dunia. Tekadnya sudah bulat untuk menyembunyikan diri dalam sebuah kepompong. Namun di dalam kepompong ia kembali berbenturan dengan masalahnya. Tak ada tempat untuk melarikan diri di dunia ini. Mau tak mau ia harus menghadapi problemanya, di dalam kepompong. Bersemedi dan bertapa dalam kesedihan.
Berhari-hari ia menutup diri. Hingga sampailah pada sebuah titik balik. Ia merefleksikan hidup yang telah dijalaninya. Dan setelah melakukan evaluasi secara total, ia menemukan solusi. Yaitu transformasi. Ya, hidup takkan berubah bila kita tak merubah diri sendiri. Kesadaran baru yang timbul dalam diri ulat ini sungguh terasa menakjuban. Ia telah menemukan jalan terbaik baginya. Merubah diri sendiri. Change one's owen.
Kepompong pun pecah. Ulat telah berubah. Kini ia menjadi kupu-kupu. Bayangkan..!, seekor ulat yang menjijikkan telah berubah menjadi seekor kupu-kupu yang indah. Suatu transformasi besar-besaran telah dilakukannya. Kupu-kupu itu terbang melesat dari kepompong. Sayap kecilnya yang berwarna-warni menghiasi alam yang indah. Ia menikmati tubuh barunya. Semua terasa baru baginya. Langit, alam dan hidup sungguh terasa baru dan indah. Ia kepakkan terus sayapnya. Melayang penuh kebebasan. Ia merasakan cinta. Dunia mencintainya dan ia pun belajar mencintai dunia. Kalau tahu hidup begini indah, dari dulu saja ia menjadi kupu-kupu. Sedikit penyesalan. Hanya sedikit. Itupun lumer oleh terik matahari.
Lama juga ia melayang-layang. Timbul kesadaran baru. Aku tetap butuh tempat berpijak. Tak bisa selamanya terus di udara. Dimana aku harus berpijak?, Kupu-kupu itu hinggap di atas batu. Dalam sedetik ia merasa bahwa batu bukan tempat yang nyaman untuk dipijaki. Batu sangat keras dan kasar. Sungguh tak nikmat berpijak di tempat yang tak mengenal keramahan seperti batu ini. Aah, buat apa aku berlama-lama di atas batu. Ia kembali terbang.
Matanya menatap sepucuk pohon yang lumayan rindang. Kupu-kupu itu berpijak di salah satu dahannya. Teksturnya tak sekeras dan sekasar batu. Lagi pula daun-daun mampu melindunginya dari mentari yang kian memanas. Dahan ini lebih ramah dari pada batu tadi. Cukup lama juga ia berdiam di pohon itu.
Sampai tiba-tiba serombongan semut (bilis mardeh) merasa terancam akan kehadiran kupu-kupu. Mereka mengganggu ketenangan kupu-kupu dengan sengatan dan gigitannya yang pedih-pedas. Semakin lama semakin banyak semut yang bergabung. Bisa jadi seluruh koloni semut yang berada di pohon itu menyerang kupu-kupu dari segala arah.
Gundah-gulanalah kupu-kupu atas perlakuan semu-semut itu, dengan terpaksa ia pun melayang lagi mencari titik pijak yang lain. Perhatiannya tiba-tiba tertumbuk pada setangkai mawar merah di taman pesisir timur sana (Sumenep). Warnanya yang hangat seakan meneriakkan salam baginya. Kupu-kupu itu jatuh cinta pada mawar merah itu. Cinta pada pandangan pertama. Dari mata turun ke hati. Ini benar-benar cinta. Tuluskah? Entahlah, itu urusan waktu yang mengujinya. Yang jelas, antara kupu-kupu dan mawar merah ada sesuatu yang dahsyat. Cinta.
Kupu-kupu itu hinggap di pucuk bunga mawar. Mawar itu menyambut dengan liukannya. Respon yang terjadi diantara mereka benar-benar hangat. Mereka seperti dua sahabat lama yang baru berjumpa. Penuh kerinduan.
"Inilah titik pijakku selamanya", kupu-kupu berikrar.
"Inilah sang pelindungku", mawar merah membatin.
Mereka terlihat sebagai dua sejoli yang sedang dimabuk asmara. Dua sejoli yang sedang bercinta. Aaahh…indahnya.
Sayangnya, alam tak setuju. Badai besar datang tak diundang. Riuhnya merobek telinga. Dayanya meluluh-lantakkan segalanya. Dunia harus bergerak. Dan itu bisa berarti segalanya berantakan. Pohon-pohon besar tumbang, batu-batu bergulingan, tanah-tanah retak, rumah-rumah hancur, mobil-mobil berserakan dan jiwa-jiwa tewas.
Kupu-kupu dan mawar merah juga tak berdaya. Mereka terpisahkan. Kupu-kupu terbawa angin lebih jauh ke arah timur, lepas pantai. Mawar merah tercerabut dan tertiup hingga ke tepi barat. Badai besar terus menderu-deru, menjadi penghalang yang tak bisa dihindari.
Keduanya terbawa ke arah berlawanan dalam keadaan tak sadarkan diri. Semakin lama kian jauh jarak yang terentang diantara mereka. Mungkin ratusan mil, atau bahkan ribuan mil. Entahlah, tak ada yang mengukurnya secara pasti. Ketika siuman, kupu-kupu itu sadar bahwa mawar merahnya sudah semakin menjauh. Ia kehilangan. Sangat kehilangan. Hatinya luka, jauh lebih sakit rasanya ketimbang perasaan saat menjadi ulat dahulu. Ia kesepian di tengah angin yang masih menderu. Tetapi ia putuskan untuk tak larut dalam permasalahan, harus dicari penyelesaian sesegera mungkin.
Dalam sekejap ia memilih untuk terbang melawan angin, menuju arah mawar merah yang tertiup kea rah barat. Sebuah keputusan yang berani dan sedikit nekad. Berkali-kali tubuh ringkihnya tersapu angin, namun tak sudi ia mengenal kata menyerah. Ia terus melawan angin. Ke pesisir barat ia menuju, dengan sejuta asa ingin menemukan mawar merahnya yang entah dimana kini berada. Kupu-kupu itu jelas kehilangan jejak. Tak tahu harus kemana.
Tiba-tiba ia bertemu ular. Hewan melata itu pun melihat kupu-kupu yang kebingungan. Terlihat keramahan dari rupa ular, kupu-kupu memutuskan untuk bertanya padanya.
"Hai, ular. Aku ingin minta tolong padamu", Tanya kupu-kupu pada si ular.
"Katakan saja, mungkin aku bisa membantumu", dengan intonasi serius ular itu menjawab.
"Aku mencari mawar merahku, apa kau melihatnya?", lanjut sang kupu-kupu.
"Mawar merah?, Ya, aku melihatnya! Mari mendekat biar kubisikkan padamu" jawab ular seraya mengingsut ekornya melingkar. Bukan main gembiranya kupu-kupu itu mendengar penuturan ular, ia pun terbang mendekat ke arah ular. Sekitar tiga senti lagi ia berada di depan mulut ular, tiba-tiba keramahan ular berubah drastis menjadi kelaparan. Matanya menatap tajam kupu-kupu. Ia buka mulutnya lebar-lebar. Kupu-kupu secara spontan kaget dan melayang kembali ke udara. Ular itu berusaha mendapatkannya dan kupu-kupu itu semakin tinggi terbangnya. Ia selamat dari bahaya. Tak disangka-sangka ular itu ternyata hendak menipunya. Hanya saja alam berpihak kepadanya dan amanlah ia dari mangsa si ular.
Ia kembali melanjutkan penerbangannya, terus ke barat. Matahari hampir merebah di kaki langit. Hari menjelang gelap. Angin sudah berhenti. Energinya sudah melemah. Kupu-kupu itu terus mengepakkan sayapnya. Terus dan terus ke barat.
Di tengah perjalanan, dalam gelap malam, ia bertemu dengan burung hantu di dahan sebuah pohon. Sayangnya burung hantu tak mengenal mawar tetapi makar. Giliran kupu-kupu tak mengenal makar. Keduanya tak berada dalam titik temu. Kupu-kupu makin gelisah. Burung hantu meminta maaf karena tak bisa membantu. Tapi, setidaknya ia tulus dan itu sudah cukup, dari pada seperti ular tadi, ada maunya.
Setelah berterima kasih dan berpamitan, ia tinggalkan burung hantu dan menyusuri malam sejauh mungkin. Tak ada petunjuk arah mana, ia terus terbang dan terbang lagi. Tubuhnya melemah, tenaganya mengendur namun tak sampai habis karena kenangan indah bersama mawar merah memacu dirinya.
Memori itulah yang menemani kesepiannya. Hingga tak terasa, matahari terbit di belakangnya. Energinya sudah sampai di titik nadir dan ia memutuskan untuk beristirahat. Tepat di taman kumuh depan kamar pondokku. Hinggap di bunga tanaman Jihong milikku, tanaman hias sebangsa dengan tanaman Mawar. Di benaknya hendak bertanya tentang Mawar Merahnya pada Jihong tersebut. Mungkin kawan barunya itu tahu di mana mawar merahnya kini berada.
Tetapi skenario takdir kupu-kupu itu dipercepat oleh Tuhan. Jihong tersebut mengantarkan Kupu-kupu posang itu padaku. Perjalanan yang luar biasa. Aku terharu mendengar penuturan kupu-kupu itu dalam upayanya menemukan mawar merah. Cinta yang membuatnya hidup kembali dan cinta pula yang membuatnya melewati petualangan berbahaya. Aah, aku harus belajar dari kupu-kupu ini dalam memaknai cinta. Sungguh, aku benar-benar tersentuh. Lalu aku teringat, rasanya baru kemaren ada setangkai mawar merah di taman kecil milik tetangga pondokku, seperti baru ditanam oleh si empunya taman karena mawar tersebut masih sayu dengan mahkota bunganya yang hampir mengatup dengan kelopaknya.
Tanpa pikir panjang aku segera bergegas membawa kupu-kupu yang masih terdiam di jariku itu ke sana. Mungkin saja itu mawar merahnya. Karena temanku, si empunya taman pernah bilang kemaren, kalau ia menemukan bunga mawar merah itu di tepi jalan, hampir layu. Dan ia segera menanamnya di tamannya.
Sepuluh langkah menjelang taman, kupu-kupu itu bergerak-gerak. Sepertinya ia sudah mencium aroma khas mawar merah itu. Dan benar saja, belum lagi sampai kaki ini melangkah, kupu-kupu itu terbang melesat dari jariku, menuju mawar merah di taman itu. Ia hinggap di pucuknya. Mawar merah menyambut dengan liukannya. Respon yang terjalin di antara mereka benar-benar hangat. Mereka seperti dua sahabat lama yang baru berjumpa. Penuh kerinduan.
Dua sejoli yang sedang dimabuk asmara. Dua sejoli yang sedang bercinta. Aku terpana. Waw, indah ya.
(Akulah kupu-kupu itu, dan kaulah bunga mawar nan indahnya…).
 
 
* Cerpen ini adalah hasil aransemen antara dunia fakta dan dunia imajinasi penulis asli dan penulis lugu. Tidak diperuntukkan kepada Media, hanya untuk kalangan sendiri.