Pendopo

Terhampar seluruh getar hati dalam setiap kata dan maknanya. Terdendang sebuah kisah yang sempat tertoreh di seperempat waktu. Kebahagiaan terasa hanya beberapa kejap dari usia yang tak lagi dihitung oleh hitungan tahun tetapi oleh kedalaman rasa. Maka, di atas sajadah kata ini, ku berusaha memetik dawai hati, nyanyikan kidung sunyi yang rindukan buaian mimpi. Tak usah membuka telinga, belalakkan mata, apalagi memaksa batu bicara pada takdir. Bukan pula penulis, tetapi tetap mencoba menulis.

INTELEKTUALIS VERSUS POLITIKUS

Anwar Nuris *

“Misi suci kaum intelektual adalah membangun masyarakat bukan menjabat kepemimpinan politis”. (Ali Syari’ati).

Tak dapat di pungkiri, peran kaum muda Indonesia sangat signifikan dalam lembaran sejarah bangsa. Mulai dari peristiwa Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pergolakan politik 1966, peristiwa reformasi 1998, bahkan sekarang banyak kaum intelektual muda yang mulai nimbrung dalam perpolitikan praktis, baik dalam kancah perpolitikan lokal, regional, dan nasional. Sebagai kaum elit intelektual, kaum muda yang mayoritas berasal dari dunia kampus kerap mengusung ide pembaharuan yang berdiri di atas pijakan idealisme dan moralitas. Karena itu, kaum muda, terutama dalam hal ini adalah para intelektual kampus, kerap di beri cap agent of change (agen perubahan) karena punya kesadaran intelektual untuk melakukan perubahan.

Namun dalam konteks Indonesia kekinian, persoalan yang tengah menyerang kaum intelektual muda hari ini adalah justru kian menipisnya sense of intellectual. Sebuah instrument primer, tanpa hal itu menjadikan tumpul pisau pendobrak suatu perubahan. Karena itu, penguatan sense of intellectual menjadi sebuah keniscayaan dalam kiprah mahasiswa untuk merealisasikan peran sebagai agen of change. Sense of intellectual ini, perlu ditransformasikan kepada intellectual tradition (tradisi intelektual). Tak bisa dinafikan, bahwa aktivitas-aktifitas keilmuan merupakan salah satu gerbang menuju tradisi intelektual bagi mahasiswa.

Bahkan belakangan ini kita saksikan adanya trend pragmatisme yang merundung kaum muda intelektual. Orientasi gerakan lebih berfokus pada kepentingan pragmatisme belaka yang bersifat politis. Kita menyaksikan misalnya, sejumlah aktifis 98 yang dulunya vocal dan kritis terhadap pemerintah, kini harus menjadi bagian dari pemerintah. Atau setidaknya mereka termasuk bagian dari system politik yang saat ini amat korup dan rapuh.

Oleh karena itu, tradisi intelektual yang kemudian mengejawantahkan dalam trias tradition; discussion tradition, reading tradition, dan writing tradition menjadi point pokok untuk dikaji kembali jika kemudian dikorelasikan dengan intelektual ansich dan kaum intelektual yang nimbrung di panggung politik. Ini merupakan problematika yang belum banyak mendapat perhatian khusus, karena bagi kaum intelektual akan menganggap bahwa politik hanya akan memutuskan dan menghambat tradisi intelektualnya. Begitu pula bagi politikus, wilayah intelektual hanya berbicara konsep dan teori bukan pada tataran aplikasi dan implementasi langsung di dunia nyata. Jadi trias tradisi versi kaum intelektual tidak lagi dibutuhkan oleh intelektual politikus. Bisa saja, tradisi diskusi, membaca, dan menulis bukanlah hal signifikan bagi seorang politikus.

Dari wacana di atas, maka perlu adanya formulasi solutif yang memungkinkan tidak tumpang tindihnya peran identitas dan status. Karena problematika yang muncul adalah bagaimana jika kaum intelektual murni mulai merambah ke wilayah perpolitikan praktis. Apakah tradisi intelektual dan aktifitas keilmuan lainnya akan dia tinggalkan. Lantas siapa yang akan menjadi control terhadap mobilitas pemerintahan.

Tulisan ini tidak lantas “menghakimi” kaum intelektual yang mulai meniti karir di perpolitikan praktis. Karena mereka di satu sisi juga mempunyai hak berpolitik. Sebenarnya kasus-kasus seperti ini sama dengan wacana kaum ulama yang berlomba-lomba merebut kursi kepemimpinan. Tulisan ini hanya sebatas refleksi terhadap fenomena yang terjadi. Terlalu sering para politikus mengumbar janji namun tanpa pembuktian yang signifikan.

Ada dua opini yang perlu kita refleksi bersama, yaitu; pertama, meminjam adegium David Mendell bahwa berpolitik tanpa ide dan gagasan cerdas sama dengan memimpin tanpa tanggung jawab. Ini harus dipertimbangkan lagi oleh kaum intelektual muda yang hendak berpolitik praktis. Apakah konsep, ide, dan gagasan untuk membangun pemerintah benar-benar sudah terpikirkan untuk di tawarkan ke publik.

Sejarah membuktikan bahwa kaum tua telah di anggap gagal membawa dan memimpin negara. Ide dan gagasan brilian mereka sudah tidak layak pakai. Permasalahan ekonomi, sosial, budaya, bahkan agama tidak cepat terselesaikan. Ini adalah persepsi, jadi kemungkinan benar dan tidaknya bukan menjadi keputusan final.

Kedua, menurut Ali syari’ati bahawa misi suci kaum intelektual adalah membangun bangsa, masyarakat, dan negara dengan tidak menjabat langsung kepemimpinan praktis. Di satu sisi, antara peran “membangun” dan “mengembangkan” tidak terlepas dari “menguasai”. Di sisi lain, peran awal sebagai intelektual sedikit demi sedikit akan di tinggalkan. mereka dimungkinkan tidak akan lagi membicarakan aktifitas keilmuan, penelitian, dan lain sebagainya. Mereka kemudian akan disibukkan dengan berbagai aktivitas rapat komisi, sidang istimewa, kunker, dan lain sebagainya.

Dus, berbagai probelamatika diatas diharapkan menemukan titik temu dan solusi tepat untuk sama-sama menjalani peran masing-masing variable, kaum intektual dengan politikus. Sehingga tidak akan ada lagi istilah “kesunyian inteletual kampus” dalam skop kecil, ataupun “politikus busuk” yang sempat mengemuka dalam konteks luas.

Lebih dari itu, sebenarnya dunia masih merindukan kompleksitas peran kaum intelektual yang ikut serta meramaikan pesta demokrasi. Di satu sisi dia mampu berperan sebagai intelektual yang tetap mempunyai visi dan misi suci membangun dan memajukan negara. Dan di sisi lain dia mampu berperan sebagai politikus dengan gagasan-gagasan cerdas demi kepentingan dan kemajuan bangsa. Yang tentunya hal ini di topang dengan nilai moralitas demokrasi serta sesuai dengan apa yang pernah dikemukakan oleh William Sullivan; iktikad baik, kepercayaan, dan idealisme. Sebuah perbincangan yang cukup panjang dan memerlukan waktu lama untuk menuju sebuah absurditas intelektual politis.

* Anwar Nuris, penulis adalah Sekretaris Jenderal HMJ Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Tulisan ini sudah di muat di Koran Duta Masyarakat, 3 November 2008.

read more “INTELEKTUALIS VERSUS POLITIKUS”