Pendopo

Terhampar seluruh getar hati dalam setiap kata dan maknanya. Terdendang sebuah kisah yang sempat tertoreh di seperempat waktu. Kebahagiaan terasa hanya beberapa kejap dari usia yang tak lagi dihitung oleh hitungan tahun tetapi oleh kedalaman rasa. Maka, di atas sajadah kata ini, ku berusaha memetik dawai hati, nyanyikan kidung sunyi yang rindukan buaian mimpi. Tak usah membuka telinga, belalakkan mata, apalagi memaksa batu bicara pada takdir. Bukan pula penulis, tetapi tetap mencoba menulis.

MENGARUNGI DUNIA LAIN KAUM SARUNGAN

Anwar Nuris *

Judul : Karomah Para Kiai
Penulis : Samsul Munir Amin
Penerbit : Pustaka Pesantren, LKiS Yogyakarta
Halaman : xx + 348 halaman
Cetakan : I, November 2008



Di kalangan teman-teman pemeluk agama Katholik, Gus Dur disamakan dengan Santo, yakni orang suci yang di kalangan orang Islam disebut Wali.
(Irwan Havid Adinata)

Kiai adalah sosok yang unik. Ada semacam magnet yang menjadi axis bagi lainnya. Ada daya tarik luar biasa dari seorang kiai dalam segala aspek dan percaturan kehidupan, seperti ekonomi, kesehatan, politik, sosial, budaya dan bahkan “dunia lain” spiritualnya. Ketika institusi yang lain belum memerankan rolenya secara maksimal, maka kiailah yang menjadi tempat berlabuhnya berbagai kepentingan masyarakat. Orang mau punya hajat, mau bekerja, mau cari pendamping hidup, ingin sehat dan sebagainya akan datang kepada kiai.
Istilah kiai yang melekat dalam kehidupan masyarakat negeri ini bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa jawa. Menurut Zamakhsyari Dhofier, istilah kiai dalam bahasa jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang atau benda yang dianggap keramat (gelar “Kiai Garuda Kencana” untuk menyebut kereta emas yang ada di keraton Yogyakarta). Kedua, gelar kehormatan bagi orang-orang tua, usia lanjut, dan berjenis kelamin laki-laki pada umumnya. Sedangkan gelar Nyai disematkan untuk yang berjenis kelamin perempuan. Ketiga, gelar yang dianugerahkan oleh masyarakat kepada seorang yang ahli dalam agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren.
Pasca penelitian Clifford Geertz tentang Javanese Kiai di pertengahan tahun 1950-an, maka terjadi kesenjangan luar biasa tentang kajian kiai yang sering dilabeli sebagai pemimpin agama tradisional. Kalaupun ada penelitian tentang kiai, maka hanya ada beberapa saja dan hal ini jauh berbeda dibanding dengan penelitian tentang ulama modern yang menuai dan menjadi lahan utama tentang kajian Islam di Indonesia.
Ada beberapa kajian ulama-kiai yang menempati posisi sangat bagus dalam kajian ilmu sosial, seperti tulisannya Zamakhsyari Dhofier (Tradisi Pesantren; studi pandangan hidup Kyai), Hiroko Horikhosi (Kiai dan perubahan sosial), I’ik Arifin Mansornur (Islam in Indonesian World: Ulama of Madura), Imron Arifin (Kepemimpinan Kiai; kasus pesantren Tebuireng), Pradjarta Drjosanjoto (Kiai pesantren Kiai langgar di Jawa), Endang Turmudi (Perselingkuhan Kiai dan politik), Shanhaji Sholeh (Arah Baru NU), Lao Ode Ida (NU Muda, kaum progressif dan sekularisme baru), Ali Maschan Moesa (Kiai dan Nasionalisme), dan lain sebagainya.
Kajian-kajian di atas hanya terbatas pada diskursus tentang kiai dalam konteks interaksi sosialnya. Sedangkan buku Samsul Munir Amin (Karomah para Kiai) ini mencoba menyentuh ruang berbeda para kiai “asli” Indonesia ini, yaitu dari aspek karomahnya. Meskipun demikian, kisah-kisah karomah yang tertuang dalam buku ini merupakan kekayaan khazanah kiai pesantren yang mencitrakan ketinggian spiritual mereka. Jadi bukan nilai mistisnya semata yang ingin dituangkan oleh penulisnya, namun kearifan lokal (local genius) para kiai dalam menerapkan nilai-nilai ajaran Islam kepada masyarakat. Bahkan buku ini juga memeberikan informasi tentang moral massage para kiai yang hendaknya ditiru dalam rangka taqarrub billah.
Dunia lain (baca: mistis) disini memang cukup lekat dengan komunitas pesantren karena latar belakang sufisme yang menjadi trade mark kalangan pesantren sendiri memiliki pengaruh sangat kuat. Namun mistis disini adalah mistis dalam pengertian positif, bukan takhayul ataupun khurafat. Demikian juga, kelekatan pesantren dengan dunia mistis tidak berarti menafikan hal-hal yang rasional. Sebab antara keduanya tercipta sebuah perpaduan yang cukup unik. Dalam artian bahwa pemikiran rasional di kalangan pesantren tidak membuat nuansa-nuansa sufisme menjadi hilang begitu saja.
Dengan mengangkat kembali wacana karomah, buku ini menyajikan 77 kisah karomah para kiai lokal, setidaknya ada dua manfaat yang diharapkan sebagaimana yang diinginkan buku ini. Pertama, bagi para kiai kontemporer, kisah-kisah dalam buku ini mungkin dapat dijadikan cermin, sejauh mana mereka meneladani kiai-kiai sepuh. Seberapa banyak mereka berittiba’ kepada masyayikh dan para guru.
Kedua, kisah karomah kiai lokal dalam buku ini dapat menggugah kembali kesadaran masyarakat luas dari gebyar dunia materialistis; dari word view (pandangan dunia) yang semata-mata menilai semua hal dari sisi ragawi, bendawi, atau kulit luarnya; dan dari paham tekstualis dan legal formal, yang lebih sering menafikan subtansi dan isi.
Buku ini enak dibaca karena di-frame, dikemas dengan konsep bercerita serta menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh kaum awam sekalipun. Pemaparan singkat perjalanan nyeleneh tiap tokoh yang kemudian di ikuti dengan penjelasan apa makna setiap khawariq al-‘adah (peristiwa diluar kebiasaan) tokoh tersebut menjadikan buku ini lebih legit dan menggigit. Jadi buku ini bukanlah seperti kisah-kisah jenaka Abu Nawas atau yang lainnya yang hanya menitik beratkan pada unsur luar ceritanya saja sebagai hiburan yang tidak ada unsur sufistiknya.
Buku ini memaparkan beberapa tokoh NU papan atas, di bahas beserta kisah-kisah aneh dalam keseharian mereka. Misalnya Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, KH. Ridwan Abdullah, KH. Wahab Chasbullah, dan lain sebagainya. Kisah KH. Ridwan Abdullah pencipta pertama lambang NU. Petunjuk gaib bagaimana seharusnya lambang NU yang beliau terima setelah menunaikan shalat istikharah tidak lain merupakan sketsa lambang yang ditunjukkan oleh Allah SWT. (Hal. 150).
Selain itu, peristiwa khawariq al-‘adah yang diceritakan tanpa menyertakan bagaimana proses mendapatkannya menjadi salah satu kelemahan buku ini. Namun demikian, buku ini layak diapresiasi karena bukan berarti buku ini mengajak seseorang untuk menjadikan karomah sebagai tujuan. Sebab, karomah hanyalah salah satu efek dari keistiqamahan seseorang. Karomah tidak lain hanya semacam hadiah kecil dari Tuhan kepada orang yang bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada-Nya, sebagaimana di katakan oleh Ibnu ‘Atha’illah dalam kitabnya, al-Hikam; Tuhan memberi engkau anegerah (karomah) semata-mata agar engkau terus berusaha mendekatkan diri kepada-Nya.
Dus, sebagaimana juga dinyatakan al-Kurdi bahwa penampakan karomah secara sengaja justru menunjukkan kelemahan jiwa seorang salik, kecuali jika penampakan karomah tersebut demi eksistensi agama yang terancam atau demi mewujudkan kemaslahatan.
Buku ini menjadi lebih menarik, jika kemudian diminati dan dibaca oleh para kiai yang terjun di dunia politik.

* Anwar Nuris, Alumnus Pondok Pesantren Nasy-atul Muta’allimin Gapura – Sumenep, dan sekarang nyanggong di IKMAS (Ikatan Mahasiswa Sumenep) di Surabaya. Tulisan ini sudah di muat di Harian Duta Masyarakat, Edisi; Ahad 28 Desember 2008.
read more “MENGARUNGI DUNIA LAIN KAUM SARUNGAN”