Pendopo

Terhampar seluruh getar hati dalam setiap kata dan maknanya. Terdendang sebuah kisah yang sempat tertoreh di seperempat waktu. Kebahagiaan terasa hanya beberapa kejap dari usia yang tak lagi dihitung oleh hitungan tahun tetapi oleh kedalaman rasa. Maka, di atas sajadah kata ini, ku berusaha memetik dawai hati, nyanyikan kidung sunyi yang rindukan buaian mimpi. Tak usah membuka telinga, belalakkan mata, apalagi memaksa batu bicara pada takdir. Bukan pula penulis, tetapi tetap mencoba menulis.

MEMBONGKAR DISPARITAS PENELITIAN HUKUM

Judul Buku : Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris
Penulis : Dr. Mukti Fajar ND. dan Yulianto Ahmad, MH.
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Januari, 2010
Tebal : xiv + 320 halaman
Peresensi : Anwar Nuris *


Membaca buku ini pertama-tama akan menemukan sebuah ilustrasi yang unik dari solusi dualisme (untuk tidak mengatakan ambiguitas) sistematika penelitian hukum yang selama ini terjadi. Setelah itu pembaca akan dihadapkan pada sajian konkrit aplikatif penelitian hukum normatif dan empiris yang sampai saat ini masih dipertahankan kebenarannya oleh masing-masing penganutnya.

Implementasi metode penelitian hukum dalam dunia akademis maupun non-akademis ibarat ingin memasak nasi goreng dan sup ayam yang notabene masing-masing bahannya berbeda. Begitu pula alat yang digunakan serta tahap memasukkan bahan ke dalam ramuan masakan juga berbeda.

Jika prosedur yang berbeda ini dilanggar maka akan tersaji masakan yang tidak jelas rasanya dan pasti tidak enak. Tidak bisa dibayangkan nasi goreng yang dimasak dalam panci dengan menggunakan air yang banyak, dan sup ayam yang diramu menggunakan wajan dengan bumbu cabe dan minyak sawit. Bisa saja orang tetap ngotot bahwa itu bisa dilakukan, namun prosedur yang dipaksakan tersebut jelas akan menyajikan masakan yang tidak jelas nama dan rasanya.

Begitu pula dengan penelitian hukum yang mendasarkan pada paham normatif akan berbeda dengan yang empiris. Bahan, teori, alat dan proses analisisnya masing-masing mempunyai ketentuan menu sendiri-sendiri. Tetapi orang harus yakin bahwa jika prosedur dan tata caranya diikuti secara konsisten maka akan tersaji hasil penelitian yang enak dan lezat untuk dinikmati. Akhirnya, secara dikotomi tidak bisa mengatakan bahwa nasi goreng itu lebih enak dari sup ayam atau normatif itu lebih baik dari empiris, masing-masing mempunyai cita rasa dan memberikan kelezatan yang tidak bisa dibandingkan satu dengan lainnya.

Faktanya, perbedaan pemahaman mengenai eksistensi ilmu hukum menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan. Perdebatan tersebut didasari oleh perbedaan mengenai batasan definisi hukum itu sendiri, madzhab yang dianut, sejarah perkembangannya, hingga pengkategorian ilmu hukum termasuk dalam ilmu sosial atau berdiri sendiri sebagai ilmu hukum.

Bagi penganut paham positivisme selalu mengatakan bahwa ilmu hukum adalah ilmu yang mendasarkan pada sistem norma yang ekslusif (paham nomatif). Hukum sebagai sistem norma berlaku universal dan tidak terkait dengan kondisi sosial di sekitarnya. Hukum diperuntukkan hanya untuk memberikan justifikasi tentang benar atau salah atas suatu duduk perkara atau kasus hukum yang terjadi. Hukum hanya berfungsi teknis untuk menyelesaikan perkara-perkara hukum oleh para juris atau lawyer di dalam pergaulan masyarakat. Proses berpikir mereka yaitu selalu menggunakan logika deduktif; berangkat pada norma hukum sebagai premis mayor dan melihat duduk perkara sebagai premis minor.

Sementara para ahli yuridis sosiologis beranggapan bahwa hukum tidak bisa lepas dari keberadaannya di masyarakat (paham empiris). Hukum mengalami proses interaksi dengan masyarakat secara empiris materialis (nyata) pada proses penciptaan maupun ketika diterapkan dalam masyarakat. Selain itu, hukum bisa pula dimaknai sebagai gejala sosial dalam bentuk perilaku masyarakat yang ajek dan berulang-ulang.

Diskursus dua kutub di atas timbul karena sisi pandang yang berbeda tetapi keduanya adalah sama-sama benarnya. Hal ini bisa terlihat dari manfaat masing-masing cara pandang para ahli yang mampu memberikan kontribusi tersendiri bagi pengembangan dan perkembangan ilmu hukum.

Meskipun demikian, mencari jalan tengah bukan persoalan mudah, bahkan kadang harus terlibat dengan kekerasan dan pemaksaan pikiran. Tidak hanya mengalami perdebatan panjang yang bukan sekedar arogansi namun lebih pada persoalan persepsi. Sehingga upaya yang lebih mudah adalah menjelaskan perbedaan yang ada dalam garis demarkasi tersebut untuk menempatkan eksistensi masing-masing secara proporsional.

Salah satunya adalah mengkritisi suatu disiplin ilmu pada metode penelitian yang digunakan, karena sampai detik ini penelitian dalam dunia akademis menempati posisi yang sangat urgen, terlepas dari disiplin ilmu yang ditekuninya. Kedudukannya adalah bagian dari proses pengembangan ilmu pengetahuan. Tanpa penelitian ilmiah, ilmu pengetahuan tidak mungkin berkembang. Oleh karena itu, aktifitas penelitian ilmiah menjadi salah satu tugas tri dharma perguruan tinggi dari para intelektual selain dari pendidikan pengajaran dan pengabdian masyarakat.

Akibat yang nyata ketika berbicara tentang metode penelitian sebagai basis pengembangan ilmu hukum adalah menuntut konsistensi dan sistematika yang berbeda agar dapat dirumuskan suatu struktur ilmiah yang dapat diuji dan dikritisi.

Buku ini hadir pada saat yang tepat, di mana upaya penegakan hukum di Indonesia malah menyuburkan ketidakadilan di tengah menjamurnya pengadilan. Buku ini merupakan hasil dari proses panjang penjajakan penelitian hukum. Dua praktisi hukum; Mukti Fajar bersama Yulianto Achmad mencoba memuntahkan kegalauan intelektualnya melihat dualisme penelitian hukum dalam sebuah karya yang brilian; Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.

Buku setebal 320 halaman ini mengulas secara komprehensif, gamblang dan sistematis tentang hukum perspektif teori, definisi, aliran (madzhab), dan metode yang dipakai. Selain itu, juga dipaparkan bagaimana praktek penelitian hukum di lapangan hingga tehnik penulisan hasil penelitian. (Hal. 195)

Terlepas dari wacana yang hendak diusung oleh buku ini, dengan meminjam bahasa Thomas Kuhn bahwa ilmu dari waktu ke waktu mengalami revolusi dimulai dengan perubahan dalam paradigma yang digunakan, maka agar tidak terjadi pengkultusan terhadap buku ini, perlu kiranya berkaca terhadap relatifitas kebenaran sebuah disiplin ilmu yang senantiasa berubah (the changing of science). Ilmu tidak dapat berpretensi (telah) menemukan kebenaran absolut. Kebenaran ilmiah tidaklah bersifat mutlak, tetapi berubah-ubah dan tidak abadi. Ia bersifat nisbi, sementara dan kira-kira.


* Anwar Nuris, Mahasiswa Angkatan 2005 IAIN Sunan Ampel Surabaya. Tulisan ini sudah di muat di Harian Seputar Indonesia, Minggu 28 Februari 2010.
read more “MEMBONGKAR DISPARITAS PENELITIAN HUKUM”