Pendopo

Terhampar seluruh getar hati dalam setiap kata dan maknanya. Terdendang sebuah kisah yang sempat tertoreh di seperempat waktu. Kebahagiaan terasa hanya beberapa kejap dari usia yang tak lagi dihitung oleh hitungan tahun tetapi oleh kedalaman rasa. Maka, di atas sajadah kata ini, ku berusaha memetik dawai hati, nyanyikan kidung sunyi yang rindukan buaian mimpi. Tak usah membuka telinga, belalakkan mata, apalagi memaksa batu bicara pada takdir. Bukan pula penulis, tetapi tetap mencoba menulis.

NYANYIAN SYEH KHALIL

Judul : Surat Cinta Dari Aceh
Penulis : Syeh Khalil
Pengantar : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Pustaka Sastra, LKiS Yogyakarta
Cetakan : I, September 2007
Tebal : xx + 94 halaman
Peresensi : Anwar Nuris *


Membaca buku ini jangan mengandai-andai akan menemukan surat cinta Syeh Khalil kepada seorang gadis cantik (sebagaimana tertulis pada judul buku ini). Karena kata-kata nan indah yang penulis rangkai dalam antologi puisinya kali ini laksana oase di tengah hiruk-pikuk bencana dan berbagai masalah sosial yang dihadapi bangsa ini, terutama Aceh.
Bagi para penyair pada umumnya mempunyai karakteristik tersendiri. Misalnya kalau kita mengamati sajak-sajak ataupun puisi-puisi yang pernah diliris Sapardi, merupakan standar klasik keberhasilan yang bermain dengan suasana tanpa kehilangan ide. Sebaliknya, sajak-sajak Goenawan Moehammad atau Subagio Sastrowardoyo, adalah standar kepiawaian memainkan ide tanpa kehilangan suasana. Sementara untuk Chairil Anwar merupakan kiblat abadi kegeniusan dalam melahirkan efek maksimal dari rajutan kata yang minimal.
Sedangkan untuk puisi-puisi Syeh Khalil ini, meskipun dia lahir di bumi serambi mekkah yang pernah mengharu biru dengan konflik bersenjata, puisinya tidak terjebak dalam demonstrasi politis yang sarat kepentingan. Sajak yang dilahirkannya mencoba menceritakan Aceh dengan kesederhanaan bertutur dan keinginan berbagi tentang Aceh tanpa menghadapi siapapun. Bahkan, ada beberapa sajak sengaja ditujukan untuk membangkitkan Aceh dari keterpurukan yang mendera pasca perang dan tsunami.
Disamping menulis puisi, Syeh Khalil yang notabene termasuk output pondok pesantren, setiap harinya selalu bersinggungan dengan lingkungan agamis, ia juga penggiat sastra Aceh yang telah menulis sejumlah hikayat Aceh dan karya-karyanya diabadikan di museum Aceh sebagai penghargaan bagi penulis.
Buku yang berjudul Surat Cinta Dari Aceh ini merupakan antologi puisi yang kedua setelah pada tahun 2003 diterbitkan antologi puisi pertamanya dengan judul Sajak-Sajak Burung Dara. Salah satu nilai instrinsik yang perlu kita tekankan di sini serta dapat kita rasakan yaitu bahwa dia hanya ingin berbagi kisah tentang Aceh yang dicintainya dengan penggunaan bahasa yang cukup bersahaja dan menyentuh.
Hal ini bisa kita hayati pada puisinya yang berjudul Surat Cinta Dari Aceh yang sekaligus menjadi title buku ini. (hal. 1). Pada puisi Atjehku Berdenyut, Syeh Khalil berusaha mengungkapkan bahwa Aceh menyimpan berbagai keunikan, baik dari aspek alamnya yang indah meskipun tidak seperti Pulau Dewata Bali, serta kehidupan masyarakat disana yang ramah. (hal. 12). Sedangkan puisinya yang berjudul Tsunami lebih menggambarkan secara kronologis peristiwa naiknya air laut ke daratan akibat gempa Tsunami dan. (hal. 76). Ada juga diantara puisi-puisi yang lain dalam buku ini mengandung nuansa religius yang begitu kental, ini tidak terlepas dari perjalanannya dipondok pesantren dan pengembaraannya mengunjungi berbagai karakteristik kehidupan manusia.
Namun, imaji yang dia mainkan dalam puisinya bukan berarti berusaha menjual Aceh untuk mendapatkan belas kasihan, sebagaimana layaknya orang menjual penderitaan. Oleh karena itu Syeh Khalil tidak menunjukkan sebuah kecengengan dalam mengungkapkannya, melainkan dimaksudkan bukan hanya mengenal Aceh lebih dekat. Namun juga memaknai setiap peristiwa dan pengalaman yang menimpa Aceh sebagai pelajaran berharga yang tak pernah usai.
Untuk itu, bagi penggila puisi yang baik alangkah lebih etis jika tidak hanya sekadar memahami bahasa yang dikomunikasikan oleh penyair, tetapi seyogianya juga menghayati dan memaknai lambang, ungkapan, perbandingan yang terdapat dalam puisi tersebut. Jika pembaca sudah dapat mencapai tahap memaknai unsur-unsur tersebut maka sampailah ia pada apa yang dikehendakai oleh penyair. Karena puisi sendiri menyimpan idealisme yang mencerminkan sikap pandangan penyair terhadap tema yang disampaikannya. Hal itu berarti pandangan hidup sejatinya tersirat dalam sajak-sajaknya. Demikian juga, puisi-puisi Syeh Khalil dalam bukunya ini menunjukkan dan mewakili pengalaman hidup yang pernah dijalaninya.
Nilai plus buku setebal 94 halaman ini, salah satunya pada penggunaan bahasa yang bersahaja dan menyentuh. Sebagaimana dalam puisi, bahasa merupakan sarana ungkap yang di garap secara tuntas, mulai dari sudut bunyi sampai pada kemungkinan-kemungkinan yang melambangkan arti. Potensi bahasa puisi dalam buku ini dieksplorasi habis-habisan. Syekh Khalil dalam pemilihan kata-kata tidak hanya berdasarkan makna semata, tetapi juga pada jumlah suku kata, bunyi, tekanan dan lain-lain. Bahkan dalam unsur rima dan irama beberapa puisinya juga diperhatikan dan dipertimbangkannya.


* Anwar Nuris, Peresensi adalah kontributor teater ANCAKA Sumenep Madura, tinggal di Surabaya sebagai Mahasiswa Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Tulisan ini sudah dimuat di Koran RADAR SURABAYA, 02 Maret 2008.
read more “NYANYIAN SYEH KHALIL”