Pendopo

Terhampar seluruh getar hati dalam setiap kata dan maknanya. Terdendang sebuah kisah yang sempat tertoreh di seperempat waktu. Kebahagiaan terasa hanya beberapa kejap dari usia yang tak lagi dihitung oleh hitungan tahun tetapi oleh kedalaman rasa. Maka, di atas sajadah kata ini, ku berusaha memetik dawai hati, nyanyikan kidung sunyi yang rindukan buaian mimpi. Tak usah membuka telinga, belalakkan mata, apalagi memaksa batu bicara pada takdir. Bukan pula penulis, tetapi tetap mencoba menulis.

SURAT UNTUKKU


Anwar Nuris *

Hari ini adalah hari pertamaku masuk kuliah semester III. Semester I dan II telah aku lewati dengan berbagai sejarah kelam. IPK anjlok 1.57, terkena skors 3 minggu karena menghilangkan buku perpustakaan 3 ekslamper sekaligus, surat peringatan dari rektorat karena lambat membayar Herregistrasi. Lebih-lebih surat dari jurusan karena jarang kuliah hingga satu semester, tanpa ada keterangn cuti atau alasan lain. Yang lebih menyedihkan, di putus oleh sang pacar karena terindikasi perselingkuhan. Pada hal, saat malam minggu kemarin, yang aku ajak nonton bioskop hanya sebatas teman dekat.
Jam di dinding sudah meniti angka 6.30 WIB, angka yang begitu dingin, sedingin pagi ini. Sebenarnya jam segini adalah rutinitas yang tidak boleh aku tinggalkan sejak semester kemarin, memeluk bantal, berselimut, tidur di kost sendirian. Tapi untuk semester ini ada kebijakan baru dari fakultas. Jam intensif Bahasa Inggris untuk setiap jurusan pada jam 07.00 WIB hingga jam 08.00 WIB.
Dengan langkah lemas, kuraih handuk kumuh di gantungan baju. Meskipun udara masih dingin, aku coba membulatkan hati untuk tetap ke kampus. Bukan karena jam tambahan intensif bahasa, tetapi karena ada inisiatif baru di kepalaku untuk sekedar melihat-lihat pemandangan alam, makhluk tuhan yang begitu elok nan ayu. Mungkin ada mahasiswi yang cocok, berkenan mengganti kekosongan pasca di putus pacarku yang dulu. Semangat untuk mencari gebetan baru.
Tidak sampai 7 menit, prosesi mandi sudah selesai. Berdandan ala kadarnya, karena memang sejak dulu, aku bukanlah tipe orang yang rajin berhias diri, bagiku yang penting suci.
Sudah siap berangkat dengan tas mungilku sejak semester dua, tas yang hanya berisi ballpoint dan buku catatan. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara ketukan di daun pintu. Tidak biasanya sepagi ini aku dengar ketukan pintu. Tidak mungkin sepagi ini teman-temanku bertamu, ataupun pak kost untuk menagih uang kost, uang listrik atau PDAM. Mungkin orang lain.
“Selamat pagi, Mas..!, apa benar ini Mas Roni?”, dengan sopan pak pos yang kelihatannya masih muda itu menyalamiku sebelum mengutarakan apa maksudnya ke kostku.
“Selamat pagi juga. Ya, benar sekali, ada sesuatu untuk saya?”, balasku seraya sedikit merendahkan bahu tanda menghormatinya.
“Iya, ini”. Sambil merogoh tas orange yang digendongnya, dikeluarkannya satu amplop kecil dan disodorkannya padaku. Aku terima amplop itu dengan wajah penasaran apa gerangan isinya. Setelah kutanda tangani surat tanda terimanya, Pak pos tadi pamit mohon diri.
Aku membolak-balik amplop itu untuk menemukan siapa pengirimnya. Aku temukan; Pengirim: Dede A. Ziyad, Jl. Anggrek 09. Gapura, Sumenep - Madura. Aneh, tidak biasanya kakakku mengirim surat. Kalau ada sesuatu yang penting, atau paling tidak mengetahui kabarku di perantauan, dia hanya memberitahuku dan bertanya via SMS.
Setelah kututup pintu kost, aku duduk di kursi reot yang terdapat di pojok kost. Aku sobek memanjang ujungnya dan ku keluarkan isinya. Ternyata hanya surat biasa, dua lembar kertas ukuran kwarto dengan tulisan tangan. Tanpa pikir panjang kubaca surat itu.

Buat Yth; Adikku
di Perantauan.
Mungkin adik bertanya-tanya, di zaman yang serba maju ini, era globalisasi dan tehnologi, kakak masih sempat menulis surat. Kakak mengakui, zaman sekarang ini semuanya serba cepat, ruang dan waktu bisa diperpendek dan dipersingkat. Kalau hanya sebatas ingin mengetahui kabar adik di perantauan, sebenarnya kakak cukup dengan bertanya lewat SMS atau menelepon adik. Tapi ini kakak lakukan, biar adik selalu dan selalu membaca isi surat ini. Bisa memahami getaran hati kakak selama ini.
Getaran hati kakak saat ini tidak berbeda jauh dengan apa yang pernah adik katakan sebelum berangkat ke Jogjakarta dulu. “Kak.. doakan ya.. semoga adik bisa menjadi penulis di kota para penulis, di Jogjakarta nanti”. Sebait ungkapan adik sendiri yang perlu direfleksikan lagi oleh adik, dan kakak sendiri.
Kakak tahu, dan adik pun pasti lebih memahami, jarak antara Jogjakarta dan Madura bukan jarak yang dekat. Sebuah perantauan panjang bagi adik untuk mengejar impian di seberang. Apa saja aktifitas adik di Jokjakarta, kakak tidak tahu seluruhnya. Adik nakal, rajin, bolos kuliah dan sebagainya, kakak tidak tahu.
Tidak ada misi apa-apa kakak mengirim surat ini. Tulisan di dalam surat ini hanya sebatas getaran hati kakak untuk adiknya. Adik yang sangat kakak cintai dan sayangi. Okelah..!, kakak akan mulai, sehingga kemudian adik mampu menangkap apa dan bagaimana sebenarnya getaran hati yang kakak maksud. 
Pernahkah adik menemukan sebaris celoteh;
Ada daun jatuh, tulis..
Ada batu jatuh, tulis..
Tulis dan tulis..
Di tulis sampai kapan.
Kalau tidak salah, itulah sebagian yang pernah di ungkapkan oleh Raut Sitompul yang kakak temukan dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri; Filsafat Ilmu, sebuah pengantar populer. Ungkapannya sederhana namun mampu menumbuhkan nilai esensi dari kata tulis. Tidak ada sesuatu yang tidak bisa di tulis, dalam artian bahwa tradisi menulis harus di mulai dari sesuatu yang sederhana. Menulis sebenarnya mudah meskipun membutuhkan proses panjang dan sulit. Penulis sekaliber Karen Amstrong misalnya, dia dalam menulis Sejarah Tuhan tidak langsung menjadi sebuah buku. Tetapi melalui proses lama, mulai dari proses keyakinan dan pencariannya terhadap definisi tuhan beberapa agama hingga konklusi akhir terhadap tuhan yang ada di masing-masing agama.
Adik tentu tahu penulis kitab Ihya’ Ulumiddin?, Al-ghazali kan?. Siapa yang menyangka beliau masih “hidup” sampai sekarang, tulisannya menjadi rujukan banyak ulama, cendekiawan, terutama cendekiawan muslim. Beliau dikenang meskipun sudah mendahului kita.
Yang tergolong baru adalah Zainal Arifin Thaha, Jogjakarta. Kota tempat adik kini menimba ilmu. Kota yang di sebut-sebut sebagai kota pendidikan. Banyak yang mengakui, Gus Zainal (sapaan akrab Zainal Arifin Thaha) adalah salah satu inspirator mahasiswa UIN Jogjakarta dalam tradisi tulis-menulis. Bahkan dalam salah satu bukunya, “Aku Menulis Maka Aku Ada” beliau telah mampu memformulasikan nilai filosofis Co geto er Go sum-nya Rene Descartes ke dalam dunia tulis-menulis. Meskipun beliau (Gus Zainal) sudah tiada, tulisan-tulisannya selalu dibaca orang, namanya sering disebut-sebut. Beliau masih hidup.
Ada lagi; sekaliber Al-Farabi misalnya, tokoh filosuf dan pemikir Islam yang kita kenal dengan sebutan “al-mu’allim al-tsani”, guru terbesar kedua setelah Aristoteles, tidak lain adalah seorang penulis.
Coba adik Bayangkan, karya-karya beliau, sejauh yang dapat ditemukan dari beberapa sumber, berjumlah sekitar 117 buku. 43 buku membahas tentang logika, 11 buku membahas metafisika, 7 buku tentang etika, 7 buku tentang ilmu politik, 17 buku membahas tentang musik, ilmu kesehatan, pengobatan, dan sosiologi. Serta 11 buku lainnya merupakan buku-buku komentar atas buku-buku sebelumnya yang di tulis oleh banyak pemikir dan filosuf.
Sebagai contoh; salah satu Kitab atau buku al-Musiqa al-Kabir-nya Al-Farabi, yang menjelaskan tentang teori musik, menjadi salah satu karya monumental di dunia seni musik terutama barat. Karena buku ini menjadi buku wajib bagi mereka yang mendalami musik klasik disana, bahkan buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa mereka. Lagi-lagi ini membuktikan bahwa Al-Farabi masih “hidup”. Karya-karya monumental beliau menjadi rujukan berbagai kalangan intelektual.
Kemudian Ibnu Sina atau Avicenna (Abu Ali al-Husain ibn Abdullah ibn Sina). Adik tentu juga sudah pernah membaca sejarahnya. Beliau semasa hidupnya telah menghasilkan berbagai buku. Dari beberapa sumber, kakak memperoleh data bahwa karya Ibnu Sina mencapai 99 buku; 16 buku di bidang pengobatan, 68 buku di bidang teologi, 11 buku di bidang ilmu falak dan metafisika, dan tidak di sangka ternyata 4 buku beliau merupakan kumpulan puisinya. Karena semangat dan profesionalitas beliau, kerap di ingatkan oleh koleganya agar tidak terlalu memforsir diri dalam bekerja dan belajar. Namun beliau malah berkata; I prefer a short life with width to a narrow one with length. Apa makna ungkapan ini, adik tentu paling tahu.
Selain sejarah di atas, masih banyak tokoh-tokoh yang kakak, adik, dan kita bersama ketahui sejarah dan karya-karyanya. Semisal; Imam al-Syafi’i, al-Ghazali, dan sebagainya. Kemudian Fariduddin Attar, Jalaluddin rumi, Muhammad Iqbal, Ibnu Arabi, Nasrudin Hoja, Kahlil Gibran, Robindranat Tagore, Mahatma Gandhi, Betrand Russel, Jean Paul Sarte, Voltaire, Nietszche, dan sebagainya. Mereka adalah para penulis yang dengan tulisannya mampu merubah dunia.
Lalu para pemikir kontemporer, seperti Sayyid Qutub, Ismai’il Raji al-Faruqi, Sayyid Husein Nashr, Ali Syari’ati, Hasan al-Banna, Muhammad Arkoun, dan sebagainya. Di negeri kita sendiri, banyak sosok yang antusias dalam kepenulisan patut kita refleksikan bersama. Keranjingan mereka terhadap karya sastra sangatlah luar biasa. Orang seperti Gus Dur, Gus Mus, Goenawan Muhammad, Umar Kayam, Kuntowijoyo, Emha Ainun Najib, D. Zawawi Imron, WS. Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Sultan Takdir Ali Syahbana, Akhdiyat Karta Miharja, Sapardi Djoko, Damono, Nur Kholis Majid, dan banyak lagi sastrawan lainnya.
Yang terakhir.. Ada ungkapan Al-Ghazali; kalau engkau bukan anak raja dan engkau bukan pula anak ulama besar, maka jadilah penulis. Aku dan adik anak siapa ya..!?
Itulah getaran hati seorang kakak yang dari getarannya kamu sebagai adikku akan merasakan getarannya juga. Getaran yang tidak semua orang merasakannya. Terlepas dari wacana di atas, getaran hati kakak tidaklah menjamin hati adik bergetar jua. Jadi, kemauan dan cita-cita kakak bukan berarti harus adik penuhi. Cita-cita kakak, adalah bagaimana adik sukses dan dapat dibanggakan oleh keluarga. Ingat dik..!, bapak dan ibu di rumah selalu semangat dalam bekerja keras untuk biaya adik kuliah. Apa yang mereka lakukan adalah demi kesuksesan kita mencapai cita-cita.
Entahlah Dik..!, tiba-tiba kakak berinisiatif menulis surat ini. Sudah satu tahun lebih adik menimba ilmu di perantauan. Dan selama itu pula kakak belum pernah melihat nama adik terpampang di media massa. Kakak tidak memaksa adik untuk menjadi seorang penulis. Kakak hanya bertanya-tanya, di saat nama teman-teman seangkatan adik di sana sering muncul di media massa, menulis puisi, artikel ilmiyah, opini, kolom, cerpen dan lain sebagainya. Nama adik kok tidak pernah kakak lihat.
Kakak sadar, kakak yang sudah lulus kuliah ini bukanlah penulis. Kakak yang pernah kuliah di surabaya ini tulisannya tidak pernah di muat di media massa. Kakak hanya lulusan tarbiyah yang tak pernah aktif di penerbitan. Antara adik dengan kakak harus tidak harus sama kan?.
Adik tentu lebih mengerti perbandingan Jokjakarta sebagai kota pendidikan dan tempat para penulis produktif. Tidakkah ada keinginan adik seperti mereka, atau bahkan lebih dari mereka?.
Mohon maaf sebelumnya, mungkin surat kakak ini membuat risau hati adik. Atau bahkan menyalahkan kakak yang hanya bisa “memarahi”. Tapi kakak hanya ingin mengingatkan kembali bagaimana keinginan adik dulu, ingin menjadi penulis di kota para penulis. Itu saja.
Oke!, mungkin bagi adik semua orang tidak harus sama, adik bisa menentukan jalannya sendiri, tapi bukankah menulis itu adalah salah satu tradisi intelektual. Dan adik adalah mahasiswa, seorang intelektual, kenapa tidak menulis sebagaimana para intelektual yang lain?.
Selamat beraktifitas, rajin-rajinlah kuliah, jaga diri baik-baik. Kami sekeluarga selalu mendoakan adik. Semoga sukses, meskipun prosesnya tidak sama. Amin..

Terhenyak juga membaca surat kakakku. Aku mendongakkan kepala kelangit-langit kostku, menarik nafas panjang mencoba menangkap kembali apa yang sebenarnya terjadi pada diriku ini. Di katakan kuliah, kebanyakan bolosnya. Di katakan intelektual, malah tidak mungkin. Jarang membaca, diskusi, apalagi menulis.
Kulipat lembar surat itu dan kumasukkan ke dalam amplopnya lagi. Kulihat jam di Hp-ku sudah menunjukkan waktu 07.47 WIB. Sepertinya aku lambat lagi hari ini untuk mengikuti intensif bahasa. Dengan hati risau, aku putuskan tidak ke kampus hari ini. Kubaringkan badanku dengan tas mungil yang masih di pinggangku.
Kak.. terima kasih, kakak telah mengetuk hatiku yang beku. Sebelum berangkat dari rumah untuk kuliah Jogjakarta ini, keinginan terbesarku adalah menjadi penulis. Tetapi ternyata aku tidak menjalani proses untuk menjadi seorang penulis. Maafkan aku kak..!, Mak, Pak..!.



* Anwar Nuris, Penulis adalah Kontributor Teater ANCAKA Gapura - Sumenep, sekarang nyanggong di IKMAS (Ikatan Mahasiswa Sumenep) di Surabaya. Tulisan ini sudah dipublikasikan LPMI (Lingkar Pena Mahasiswa Independen) PMII Komisariat Tarbiyah Cabang Surabaya Selatan di Bulletin TransForma.