Pendopo

Terhampar seluruh getar hati dalam setiap kata dan maknanya. Terdendang sebuah kisah yang sempat tertoreh di seperempat waktu. Kebahagiaan terasa hanya beberapa kejap dari usia yang tak lagi dihitung oleh hitungan tahun tetapi oleh kedalaman rasa. Maka, di atas sajadah kata ini, ku berusaha memetik dawai hati, nyanyikan kidung sunyi yang rindukan buaian mimpi. Tak usah membuka telinga, belalakkan mata, apalagi memaksa batu bicara pada takdir. Bukan pula penulis, tetapi tetap mencoba menulis.

TESAURUS-NYA WARGA NU

Judul Buku : Antologi NU; Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah
Penulis : H. Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, S.Sos
Pengantar : K.H. Abdul Muchith Muzadi
Editor : A. Ma'ruf Asrori
Penerbit : Khalista, Surabaya
Cetakan : I, Juni 2007
Tebal : xvii + 322 halaman
Peresensi : Anwar Nuris *
Kalau bahasa Indonesia mempunyai kamus "Tesaurus" sebagai buku referensi ontemporer yang isinya kompleks, terdiri dari sinonim-sinonim kata atau kelompok kata yang tersusun secara sistematis maka mungkin tidak berlebihan jika buku yang berjudul Antologi NU, sejarah, istilah, amaliyah uswah ini disejajarkan dengan kamus Tesaurus tersebut, sebab dari beberapa ulasan dan pembahasannya yanag kompleks tidak hanya memberikan sumbangsih besar bagi kaum Nahdliyin sendiri tetapi juga oleh banyak pihak luar NU yang ingin tahu dan mendalami tentang NU.Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa berdirinya organisasi NU tidak terlepas dari pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam. Setelah Raja Ibnu Saud dikabarkan akan mengadakan muktamar yang mengundang perwakilan organisasi Islam sedunia yang didalamnya akan dibahas tentang penerapan asas tunggal yakni madzhab Wahabi dengan melarang semua bentuk amaliah kegamaan ala ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, maka keinginan tersebut mendapat respon miring dari umat Islam sedunia, termasuk di Indonesia yang diwakili oleh kaum modernis (Muhammadiyah) serta kaum tradisionalis (Pesantren). Namun dari kedua kubu ini sendiri malah terjadi perselisihan dan perbedaan dari segi keorganisasian formal. Dari perbedaan tersebut, akibatnya kalangan pesantren tidak dilibatkan sebagai delegasi ke Muktamar yang akan berlangsung nanti.
Didorong oleh semangat yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hijaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah. (hal. 69-70).
Alhasil, perjuangan Komite Hijaz di muktamar tersebut yang didukung oleh organisasi Islam yang lain dari segala penjuru di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya dan hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing.
Dari perjuangan komite Hijaz tersebut berdirilah organisasi yang di beri nama Nahdlatul Ulama pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H di Surabaya. Sebagai jam’iyah diniyah ijtima’iyah (organisasi keagamaan dan sosial) yang menganut faham Ahlussunah wal Jama'ah (Aswaja). Secara sederhana Aswaja-nya NU ini dalam bidang teologi mengikuti pemikiran Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Dalam bidang fiqh mengikuti salah satu dari empat Madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi'i, atau Hambali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi. Sedangkan pendekatan kemasyarakatan NU dapat dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu tawassuth dan I’tidal (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang).
Sejauh menapaki sejarah, NU telah memberikan kontribusi besar bagi bangsa, negara dan agama, baik sekop nasional maupun internasional, baik ketika masih berbentuk jam’iyah ijtima’iyah diniyah Mahdlah (organisasi sosial keagamaan murni) atau setelah menjadi partai politik.
Dengan terbentuknya komite Hijaz di atas yang hasilnya benar-benar mewarnai dunia Islam. NU mendeklarasikan Resolusi Jihad, untuk membakar semangat Arek-arek Suroboyo sebelum peristiwa perang 10 Nopember di Surabaya. Pasca peristiwa G 30 S/PKI 1965, NU adalah organisasi pertama kali menuntut pembubaran PKI. Setelah itu, disaat pemerintah dinilai lamban dan tidak serius menanganinya, fraksi NU mengeluarkan Resolusi Nuddin Lubis (1966). Pada tahun 1967, disaat ketua MPRS dijabat oleh jenderal AH Nasution, NU kembali menggulirkan gebrakan besar. Di tengah Sidang Umum MPRS, muncullah Resolusi Djamaluddin Malik.
Tidak saja dalam perjuangan fisik dan politik NU berperan, namun juga dalam penegakan agama Islam yang Rahmatan lil ‘alamin, yaitu dengan cara mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Aswaja, sehingga di bidang budaya dan amaliyah NU tetap toleran, bahkan melestarikan sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1985, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU. Peran penting diatas tidak lepas dari kreativitas para tokohnya sebagai pengendali NU sekaligus sebagi uswah (teladan) bagi umatnya.
Dalam buku ini, terangkum dalam empat bab. Pertama membahas Nahdlatul Ulama itu sendiri, baik sejarah, unsur eksternal dan internal organisasi. Kedua, istilah-istilah organisasi. Ketiga, budaya serta amaliyah warga NU. Keempat, pemaparan singkat biografi 49 tokoh NU, mulai dari pemberi restu, pendiri, pejuang, penegak, pembaharu, hingga pelestari.
Gaya penulisan buku yang tersusun sistematis layaknya sebuah kamus begitu pula pemberian judul yang sebelumnya ditawarkan oleh responden utama –K.H. Abdul Muchith Muzadi- dengan judul Primbon NU di rubah menjadi Antologi NU oleh editor –A. Ma’ruf Asrori- menjadikan buku ini lebih “menggigit” serta membuat penasaran bagi orang yang melihatnya.
Setelah saya baca keseluruhan buku ini terasa agak “janggal” sebab ternyata rujukan buku ini tidak mengambil langsung dari beberapa buku atau kitab yang sifatnya referensial, melainkan hanya merujuk pada beberapa literatur yang sudah di-Indonesia-kan, misalnya saja al-Qanun al-Asasi li jam’iyah Nahdlatil Ulama karangannya K.H. Hasyim Asy’ari selaku pendiri NU tidak dicantumkan dalam daftar rujukan.
Namun terlepas dari “kejanggalan” tersebut, terobosan yang dilakukan oleh penulis, editor serta para responden ini secara tidak langsung telah membuka lembaran baru khazanah keilmuan di NU dan patut kita acungkan jempol. Bisa jadi kehadiran buku ini memberikan nuansa baru bagi mereka yang masih berkutat di NU maupun di luar NU.
Mungkin sebagai nilai plus buku ini, disana terpampang foto-foto bersejarah sehingga membuat para pengkaji seolah-olah bersentuhan langsung dengan sejarah. Buku semacam ini sangat dibutuhkan, bukan saja oleh kaum Nahdliyin sendiri, tetapi oleh banyak pihak luar NU yang ingin tahu tentang NU. NU tidak hanya dipahami sekilas saja, tapi bagaimana warga NU benar-benar tahu terhadap seluk beluknya NU. Wa Allah A’lamu.

* Anwar Nuris, Mantan Pengurus IPNU ANCAB Gapura Sumenep, Alumnus PP. Nasy'atul Muta'allimin Gapura Sumenep Madura. Dan sekarang tercatat sebagai Mahasiswa Jurusan Kependidikan Islam KI/MP Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya dan sekaligus salah satu Kontributor Ikatan Mahasiswa Sumenep (IKMAS) di Surabaya. Tulisan ini sudah di muat di Majalah AULA, Juli 2007.