Pendopo

Terhampar seluruh getar hati dalam setiap kata dan maknanya. Terdendang sebuah kisah yang sempat tertoreh di seperempat waktu. Kebahagiaan terasa hanya beberapa kejap dari usia yang tak lagi dihitung oleh hitungan tahun tetapi oleh kedalaman rasa. Maka, di atas sajadah kata ini, ku berusaha memetik dawai hati, nyanyikan kidung sunyi yang rindukan buaian mimpi. Tak usah membuka telinga, belalakkan mata, apalagi memaksa batu bicara pada takdir. Bukan pula penulis, tetapi tetap mencoba menulis.

99 SAJAK, BERCERMIN KEPADA AIR

Judul Buku : Notasi Pendosa, sembilan puluh sembilan sajak
Penulis : Acep Iwan Saidi
Penerbit : Pustaka Sastra LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Juni 2007
Tebal : xx + 148 halaman
Peresensi : Anwar Nuris *

Menulis puisi bukanlah pekerjaan yang iseng atau sambil lalu sehingga untuk disebut sebagai penyair yang sesungguhnya tidaklah mudah. Karena dalam puisi, potensi bahasa di eksplorasi secara tuntas, mulai dari pemilihan kata-kata, unsur rima hingga irama menjadi bahan pertimbangan dan perhatian khusus.
Puisi bukan hanya bahasa seorang pecinta, perayu, atau bahkan orang yang lagi putus cinta, tetapi dapat memiliki peran universal menurut tema yang dituangkan penyair dalam puisinya, seperti tema kemanusiaan, cinta kasih, dan sebagainya. Maka pembaca puisi yang baik tidak hanya sekedar memahami bahasa yang dikomunikasikan oleh penyair, tetapi seyogianya juga menghayati dan memahami lambang ungkapan serta perbandingan yang terdapat dalam puisi tersebut.
Jika pembaca puisi sudah dapat mencapai tahap memaknai unsur-unsur tersebut, maka sampailah ia pada apa yang dikehendaki oleh penyair. Karena, puisi sendiri menyimpan idealisme yang mencerminkan sikap dan pandangan penyair terhadap tema yang disampaikannya.
Buku yang berjudul Notasi Pendosa ini, merupakan antologi puisi milik Acep Iwan Saidi yang menunjukkan dan mewakili pengalaman hidup yang pernah digelutinya, dengan sosoknya yang kita kenal telah lama berkiprah di dunia sastra lebih dari satu dekade. Kali ini yang menjadi bidikan dalam puisi-puisinya adalah tentang kedekatan dirinya dengan air, terutama laut, yang memang banyak menyimpan keindahan dan merupakan sumber inspirasi yang tak pernah mati. Perjumpaan dan pergaulannya dengan laut menghasilkan puisi-puisi yang penuh kecerdasan imaji serta mampu menggambarkan hal ihwal bencana, nasib sajak, kota yang penuh prahara, asmara, dan akhirnya perkara dosa -merupakan tema besar buku ini- yang bermain di antara nota dan notasi.
Selain itu Acep -begitu sapaan dalam buku ini- juga mengangkat tema religius yang berkarakter kuat yang tampak menyiratkan kesan ketulusan dan kejujuran sehingga menghasilkan efek mengharukan dan menyentuh. Dan, beberapa tema yang lain yang tidak luput dari perhatiannya, seperti tema sosial, cinta dan kesedihan, luka dan kesunyian digarap begitu hangat dalam kumpulan puisinya ini.
Salah satu terobosan baru serta menarik dalam puisi Acep kali ini terletak pada imajinasi utama yang dimainkannya yaitu berkisar sekitar air, terutama laut dan sungai. Laut adalah cermin yang senantiasa memantulkan gejolak ruh sang penyair. Ada keintiman yang mengesankan dalam persenggamaan penulis dengan laut sebagai medium katarsis tempat segala pengalaman batin, terutama tentang luka dan barangkali juga dosa yang dicuci, ditransformasi, kemudian dibenahi.
Arofah (1), baik dari segi bahasa, rima dan iramanya. (hal. 121). Selain itu, pada sajak-sajak religiusnya kerap terasa perpaduan mengharukan antara ketulusan, depresi, kegilaan yang lucu dan kecerdasan imaji, seperti sajaknya yang bertajuk Doa sebelum makan : ”Tuhan, aku ingin kau masuk/ke dalam mulutku/dan aku tak kan pernah bersiwak!”. (hal. 134). Sedangkan puisinya yang bertajuk Variasi pada keheningan misalnya, serta puisi-puisinya yang lain dalam buku ini yang bertemakan luka, terutama dosa telah mampu memberikan nilai masokistis serta menggumpal dengan kedalaman yang cantik pada sajak-sajak religiusnya. (hal. 20).
Disamping kemampuan penulis menafsirkan kejadian secara menakjubkan serta mewujudkannya dalam metafor-metafor yang pas dengan rangkaian kata yang bermakna magis, juga terasa di beberapa bagian lain semacam ada kecanggungan terutama ketika penulis larut dalam sentimentalisme atas kepapaan dan isu sosial seperti carut marutnya kehidupan kota, kemerdekaan atau bencana Aceh. Ada kecanggungan antara menjelaskan dan melukiskan, antara bercerita balada dan bersajak memadatkan rasa. Mungkin ini salah satu kelemahan puisi dalam bukunya kali ini dan dapat kita amati misalnya pada sajaknya yang bertajuk Gadis kecil dalam tenda, Di gerbang Mall, Di dekat bengkel, Doa menjelang lebaran, dan lain sebagainya.
Namun terlepas dari beberapa kecanggungan di atas, buku ini sangat cocok dibaca dan dihayati oleh para penggila sastra terutama puisi, serta patut di acungi jempol karena antologi puisi milik Acep Iwan Saidi ini mempunyai daya kekuatan yang mampu mengajak pembaca bertualang dalam dunia imajinasi serta makna tematik, simbolik dan estetiknya.
Nilai plus buku ini adalah kegeniusan penyair dalam kepenulisan puisi yang melahirkan efek maksimal dari rajutan kata yang minimal, seperti dalam beberapa puisi serta catatan-catatan pendosa macam Acep ini yang hadir sebagai ketulusan religius yang nakal namun diperlukan, bahkan menurut I. Bambang Sugiharto, pengantar buku ini, mengatakan bahwa agar religiusitas tidak menjadi formalitas menyesatkan, maka selain hafal 99 nama Tuhan (asma’ al-husna), ada baiknya pembaca menghayati 99 catatan pendosa milik Acep ini.
Refleksi akhir bahwa, Acep dengan Notasi pendosa-nya maka dia ada, sejajar dengan ungkapan Zainal Arifin Toha, Aku menulis maka aku ada, atau bahkan Rene Descartes dengan sabdanya aku berfikir maka aku ada. Selamat Membaca!.

* Peresensi adalah Mahasiswa Jurusan KI Konsentrasi MP Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Salah satu kontributor fungsionaris Ikatan Mahasiswa Sumenep (IKMAS) di Surabaya. Tulisan ini sudah dimuat di Koran OPSI NASIONAL, 15 Januari 2008.