Tanggal 14 Februari 2008 sebagai perayaan hari Valentine telah berlalu, kemarin pada hari Kamis (14/2/2008) pemerintah Singapura tidak mau ketinggalan dalam momen hari kasih sayang ini, yaitu dengan menggalang perkawinan, terlebih lagi agar dari perkawinan tesebut menghasilkan keturunan. Dapat dimaklumi karena dalam beberapa tahun terakhir ini, angka kelahiran per perempuan disana hanya 1,24 persen pertahun, jauh dari angka 2,1 persen yang diperlukan untuk mempertahankan populasi Negara pulau itu.
Oleh karena itu, kemarin pemerintah menggelar “Romancing Singapore” guna mendorong pria dan perempuan bujang bertemu dan diharapkan menikah terus punya anak. Meskipun terkesan cinta yang dipaksakan, hal ini membuktikan bahwa Valentine’s Day masih mempunyai nuansa nilai tersendiri untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan cinta.
Secara geneologis-historis, Valentine merupakan produk budaya Nasrani, karena terambil dari nama pendeta Romawi Santo Valentine. Hari Valentine dirayakan untuk mengenang kematian sang pengasih Santo Valentine, yang mati karena telah melanggar aturan kaisar kejam saat itu yang bernama Claudius II. Kaisar membuat aturan bahwa semua pertunangan dan perkawinan di Romawi harus dibatalkan. Hal ini dilakukan kaisar karena ada kepentingan politik di sana, yaitu untuk menambah kekuatan militer. Tetapi, Santo Valentine bersama Santo Marius dan para martir Kristiani lainnya justru menikahkan pasangan Romawi secara sembunyi-sembunyi. Tindakan menentang itupun diketahui oleh Kaisar. Akibatnya, Santo Valentine di siksa dengan kejam hingga mati dan kepalanya dipenggal. Hukuman ini terjadi pada tanggal 14 Februari 270 M. Untuk mengenang jasa Santo Valentine itulah akhirnya para pastur di Romawi menetapkan tanggal 14 Februari sebagai Hari Santo Valentine.
Terlepas dari kebenaran sejarah tersebut, sejarah juga yang kemudian berubah. 14 Februari bukan hanya untuk mengenang jasa Santo Valentine, bukan lagi hari besar orang Romawi, dan tidak hanya milik umat Kristiani. Kini ia telah melintasi batas. Valentine’s Day telah dirayakan manusia sejagad, lintas Negara, suku, bangsa, ras, dan bahkan agama. Di Italia yang notabene mayoritas katholik, jelas jutaan pasangan pada tanggal 14 Februari merayakannya. Di Malaysia yang agamis, jutaan tangkai bunga berserakan, pernak-pernik warna pink serta ornamen menghiasi hari kasih saying tersebut. Dan di Negara kita, Indonesia, fenomena 14 Februari mempunyai eksistensialitas tersendiri dalam memaknai cinta, khususnya pada kaum mudanya, tak ayal malah menjadi polemik yang berkepanjangan terutama kalau dilihat dari perspektif agama.
Valentine dan Interaksi dalam kehidupan
Makna valentine secara prinsipil adalah sangat luhur, pesan moral yang ada di dalamnya adalah cinta yang dalam konteks ini adalah cinta yang bersumber dari hati nurani bukan dari hawa nafsu. Artinya bahwa, pesan cinta yang ada dalam valentine adalah cinta dalam arti kasih sayang, yang mungkin apabila lebih diorientasikan kepada nilai-nilai sosial dan kemanusiaan akan lebih bermakna. Dengan kata lain, bervalentine pada dasarnya adalah berusaha untuk mengaktualisasikan komitmen, setia dan konsisten dalam memperjuangkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial dan kemanusiaan yang berdasarkan kasih sayang.
Oleh karena itu, valentine secara esensialitas tidak harus tergantung dengan ruang dan waktu, tidak harus melihat momen 14 Februari, kapan, dimana, dan untuk siapa. Budaya Valentine dalam konteks ini tentu sangat urgen untuk dibudayakan. Karena seperti sekarang ini, bangsa Indonesia khususnya, telah dilanda krisis multidimensional. Perang saudara, sentimen keagamaan akibat banyak bermunculan aliran sempalan, tindak kekerasan mengalami eskalasi dan konflik terus melanda kehidupan kita. Kehidupan katakanlah nyaris tidak pernah damai.
Dalam kehidupan perekonomian, hanya gara-gara alasan untuk penertiban, PKL (pedagang kaki lima) di beberapa jalan di Surabaya misalnya, harus rela angkat kaki karena akan segera dilakukan pembongkaran, hal ini sudah menggambarkan bahwa setiap keputusan yang akan diambil oleh pemerintah terkadang tanpa melihat akibat yang akan ditimbulkan. Pengangguran yang berujung pada tindak kekerasan dan kriminalitas secara tak langsung telah menodai arti penting kasih sayang antar sesama.
Sistem perekonomian pasar terutama perdagangan harus lebih didasarkan pada rasa kasih sayang, artinya prinsip ekonomi yang menyebutkan bahwa bagaimana memperoleh penghasilan besar dengan pengeluaran yang kecil tidak lantas diterpakan secara membabi-buta. Dengan kondisi saat ini, bencana, kelaparan, banjir, longsor dan sebagainya harus mampu ditanggapi dengan rasa kasih sayang, rendah hati, peduli terhadap sesama dan lebih ditekankan pada memberi dari pada menerima.
Melalui perayaan Valentin kemarin, seyogianya bangsa ini lebih arif menghadapi dan mengimplementasikan dalam kehidupan rasa kasih sayang dan cinta tersebut. Sebagaimana di lansir, bahwa Valentine merupakan pemaknaan kasih sayang melalui pendekatan Kultural, artinya perayaan Valentine ini sudah saatnya diorientasikan untuk menjalin kasih sayang dan persaudaraan antar sesama umat manusia. Sehingga budaya cinta dan kasih sayang nantinya benar-benar menjadi karakter diri kita, bangsa dan Negara serta menjadi bagian yang integral kehidupan kita. Sehingga semisal budaya kekerasan dan konflik yang telah berakar kuat dalam kehidupan nantinya bisa dibasmi, paling tidak bisa diminimalisir. Penyelesaian konflik dengan metode ini tentu lebih efektif dan bertahan lama, karena penyelesaian konflik ini tidak didasarkan atas pemaksaan keamanan, melainkan atas cinta dan kesadaran.
Yang perlu kita kritisi juga disini, bahwa dalam perayaan valentine ini terkadang diwarnai oleh bentuk-bentuk penyimpangan yang telah dilakukan oleh sebagian pihak yang merayakan Valentine, dalam hal ini adalah kaum muda-mudinya. Yang mana hal ini jelas sangat bertolak belakang dengan pesan moral dan sosial hari Valentine. Bentuk-bentuk penyimpangan yang dimaksud diantaranya adalah sek bebas, pesta narkoba, minum-minuman keras dan hura-hura lainya yang masuk dalam kategori patologi sosial.
Setiap kali hari valentin tiba maka kebanyakan anak-anak muda merayakaanya dengan aktifitas-aktifitas tersebut. Dengan alasan hari kasih sayang mereka telah memaknai Valentine dengan perayaan seks bebas (free sex) dan sejenisnya. Hal-hal negatif inilah sebenarnya yang telah menjadikan makna dan fungsi esensial Valentine menjadi ternodai dan terdistorsi.
Cinta dan kasih sayang yang ada dalam semangat perayaan Valentine kemarin lebih lanjut harus dan terus menerus di implementasikan dan di manifestasikan dalam kehidupan sehari-hari tanpa melihat dan menunggu momen 14 Februari, harus kita maknai sebagai bentuk komitmen konkrit kita terhadap nilai-nilai sosial, budaya, politik, dan ekonomi, dan bahkan agama, secara komprehensip dan berkelanjutan, bukan sebagai hura-hura pelampiasan nafsu. Ia berpotensi menjadi sarana untuk membasmi budaya kekerasan, menegakkan perdamaian dan kerukunan antar sesama manusia. Maka kalau semangat valentine tidak mengarah kepada konteks ini, dan masih cenderung hedonis dan materialis, maka valentin selamanya tidak akan berguna. Maka tidaklah pantas, ketika momen Valentine 14 Februari telah berlalu, kita bergumam; Arrivederci Valentine’s Day!, selamat tinggal hari kasih sayang!.
Oleh karena itu, kemarin pemerintah menggelar “Romancing Singapore” guna mendorong pria dan perempuan bujang bertemu dan diharapkan menikah terus punya anak. Meskipun terkesan cinta yang dipaksakan, hal ini membuktikan bahwa Valentine’s Day masih mempunyai nuansa nilai tersendiri untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan cinta.
Secara geneologis-historis, Valentine merupakan produk budaya Nasrani, karena terambil dari nama pendeta Romawi Santo Valentine. Hari Valentine dirayakan untuk mengenang kematian sang pengasih Santo Valentine, yang mati karena telah melanggar aturan kaisar kejam saat itu yang bernama Claudius II. Kaisar membuat aturan bahwa semua pertunangan dan perkawinan di Romawi harus dibatalkan. Hal ini dilakukan kaisar karena ada kepentingan politik di sana, yaitu untuk menambah kekuatan militer. Tetapi, Santo Valentine bersama Santo Marius dan para martir Kristiani lainnya justru menikahkan pasangan Romawi secara sembunyi-sembunyi. Tindakan menentang itupun diketahui oleh Kaisar. Akibatnya, Santo Valentine di siksa dengan kejam hingga mati dan kepalanya dipenggal. Hukuman ini terjadi pada tanggal 14 Februari 270 M. Untuk mengenang jasa Santo Valentine itulah akhirnya para pastur di Romawi menetapkan tanggal 14 Februari sebagai Hari Santo Valentine.
Terlepas dari kebenaran sejarah tersebut, sejarah juga yang kemudian berubah. 14 Februari bukan hanya untuk mengenang jasa Santo Valentine, bukan lagi hari besar orang Romawi, dan tidak hanya milik umat Kristiani. Kini ia telah melintasi batas. Valentine’s Day telah dirayakan manusia sejagad, lintas Negara, suku, bangsa, ras, dan bahkan agama. Di Italia yang notabene mayoritas katholik, jelas jutaan pasangan pada tanggal 14 Februari merayakannya. Di Malaysia yang agamis, jutaan tangkai bunga berserakan, pernak-pernik warna pink serta ornamen menghiasi hari kasih saying tersebut. Dan di Negara kita, Indonesia, fenomena 14 Februari mempunyai eksistensialitas tersendiri dalam memaknai cinta, khususnya pada kaum mudanya, tak ayal malah menjadi polemik yang berkepanjangan terutama kalau dilihat dari perspektif agama.
Valentine dan Interaksi dalam kehidupan
Makna valentine secara prinsipil adalah sangat luhur, pesan moral yang ada di dalamnya adalah cinta yang dalam konteks ini adalah cinta yang bersumber dari hati nurani bukan dari hawa nafsu. Artinya bahwa, pesan cinta yang ada dalam valentine adalah cinta dalam arti kasih sayang, yang mungkin apabila lebih diorientasikan kepada nilai-nilai sosial dan kemanusiaan akan lebih bermakna. Dengan kata lain, bervalentine pada dasarnya adalah berusaha untuk mengaktualisasikan komitmen, setia dan konsisten dalam memperjuangkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial dan kemanusiaan yang berdasarkan kasih sayang.
Oleh karena itu, valentine secara esensialitas tidak harus tergantung dengan ruang dan waktu, tidak harus melihat momen 14 Februari, kapan, dimana, dan untuk siapa. Budaya Valentine dalam konteks ini tentu sangat urgen untuk dibudayakan. Karena seperti sekarang ini, bangsa Indonesia khususnya, telah dilanda krisis multidimensional. Perang saudara, sentimen keagamaan akibat banyak bermunculan aliran sempalan, tindak kekerasan mengalami eskalasi dan konflik terus melanda kehidupan kita. Kehidupan katakanlah nyaris tidak pernah damai.
Dalam kehidupan perekonomian, hanya gara-gara alasan untuk penertiban, PKL (pedagang kaki lima) di beberapa jalan di Surabaya misalnya, harus rela angkat kaki karena akan segera dilakukan pembongkaran, hal ini sudah menggambarkan bahwa setiap keputusan yang akan diambil oleh pemerintah terkadang tanpa melihat akibat yang akan ditimbulkan. Pengangguran yang berujung pada tindak kekerasan dan kriminalitas secara tak langsung telah menodai arti penting kasih sayang antar sesama.
Sistem perekonomian pasar terutama perdagangan harus lebih didasarkan pada rasa kasih sayang, artinya prinsip ekonomi yang menyebutkan bahwa bagaimana memperoleh penghasilan besar dengan pengeluaran yang kecil tidak lantas diterpakan secara membabi-buta. Dengan kondisi saat ini, bencana, kelaparan, banjir, longsor dan sebagainya harus mampu ditanggapi dengan rasa kasih sayang, rendah hati, peduli terhadap sesama dan lebih ditekankan pada memberi dari pada menerima.
Melalui perayaan Valentin kemarin, seyogianya bangsa ini lebih arif menghadapi dan mengimplementasikan dalam kehidupan rasa kasih sayang dan cinta tersebut. Sebagaimana di lansir, bahwa Valentine merupakan pemaknaan kasih sayang melalui pendekatan Kultural, artinya perayaan Valentine ini sudah saatnya diorientasikan untuk menjalin kasih sayang dan persaudaraan antar sesama umat manusia. Sehingga budaya cinta dan kasih sayang nantinya benar-benar menjadi karakter diri kita, bangsa dan Negara serta menjadi bagian yang integral kehidupan kita. Sehingga semisal budaya kekerasan dan konflik yang telah berakar kuat dalam kehidupan nantinya bisa dibasmi, paling tidak bisa diminimalisir. Penyelesaian konflik dengan metode ini tentu lebih efektif dan bertahan lama, karena penyelesaian konflik ini tidak didasarkan atas pemaksaan keamanan, melainkan atas cinta dan kesadaran.
Yang perlu kita kritisi juga disini, bahwa dalam perayaan valentine ini terkadang diwarnai oleh bentuk-bentuk penyimpangan yang telah dilakukan oleh sebagian pihak yang merayakan Valentine, dalam hal ini adalah kaum muda-mudinya. Yang mana hal ini jelas sangat bertolak belakang dengan pesan moral dan sosial hari Valentine. Bentuk-bentuk penyimpangan yang dimaksud diantaranya adalah sek bebas, pesta narkoba, minum-minuman keras dan hura-hura lainya yang masuk dalam kategori patologi sosial.
Setiap kali hari valentin tiba maka kebanyakan anak-anak muda merayakaanya dengan aktifitas-aktifitas tersebut. Dengan alasan hari kasih sayang mereka telah memaknai Valentine dengan perayaan seks bebas (free sex) dan sejenisnya. Hal-hal negatif inilah sebenarnya yang telah menjadikan makna dan fungsi esensial Valentine menjadi ternodai dan terdistorsi.
Cinta dan kasih sayang yang ada dalam semangat perayaan Valentine kemarin lebih lanjut harus dan terus menerus di implementasikan dan di manifestasikan dalam kehidupan sehari-hari tanpa melihat dan menunggu momen 14 Februari, harus kita maknai sebagai bentuk komitmen konkrit kita terhadap nilai-nilai sosial, budaya, politik, dan ekonomi, dan bahkan agama, secara komprehensip dan berkelanjutan, bukan sebagai hura-hura pelampiasan nafsu. Ia berpotensi menjadi sarana untuk membasmi budaya kekerasan, menegakkan perdamaian dan kerukunan antar sesama manusia. Maka kalau semangat valentine tidak mengarah kepada konteks ini, dan masih cenderung hedonis dan materialis, maka valentin selamanya tidak akan berguna. Maka tidaklah pantas, ketika momen Valentine 14 Februari telah berlalu, kita bergumam; Arrivederci Valentine’s Day!, selamat tinggal hari kasih sayang!.
* Anwar Nuris, Sekjend HMJ Kependidikan Islam Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Pengelola Komunitas Sastrawan-Intelektualis SENJANUARI Surabaya. Salah satu kontributor fungsionaris Ikatan Mahasiswa Sumenep (IKMAS) di Surabaya. Tulisan ini sudah dimuat di Koran SURABAYA PAGI, 16 Februari 2008.