Anwar Nuris *
Ada yang menarik dan cukup menggelitik untuk dikaji menyambut pesta demokrasi (Pilgub) di Jawa Timur yang sudah di ambang pintu. Pasalnya harapan sebagian warga Nahdlatul Ulama agar Ketua PWNU Jawa Timur Dr. Ali Maschan Moesa MSi untuk tidak maju dalam pemilihan Gubernur Jatim hancur sudah. Ali Maschan benar-benar sudah disunting oleh Soenarjo untuk mendampinginya menjadi pasangan cagub dan cawagub Jawa Timur.
Jadi sampai saat ini sudah dua calon Gubernur yang mempunyai pasangan, Soenarjo berpasangan dengan Ali Maschan Moesa, serta Soekarwo dan Syaifullah Yusuf sebagai pasangan cagub dan cawagub. Tinggal cagub Achmadi dan cagub Sutjipto yang masih belum menemukan titik terang siapa pasangan mereka.
Dari keempat cagub tersebut, dua pada posisi di atas, yaitu Soenarjo dan Soekarwo, dan dua pada posisi di bawah, yaitu Achmady dan Sutjipto. Maka dari ini dapat kita baca bahwa calon wakil gubernur (cawagub) Jatim dipandang sangat menentukan serta besar peranannya dalam mendulang suara.
Cagub Soekarwo sudah berhasil menggandeng cawagub Syaifullah Yusuf yang kelihatannya akan membantu, dan tampaknya Soenarjo juga sudah berhasil menggaet Ali Maschan Moesa yang menambah proses pilgub nanti akan semakin hangat. Sedangkan cagub Sutjipto masih belum jelas juga siapa yang akan mendampinginya sebagai cawagub. Jadi bisa dipastikan, Jawa Timur yang notabene berbasis mayoritas Nahdlatul Ulama, cagub sejak awal sudah mulai bergerilya mencari tokoh NU atau paling tidak menjaring orang-orang yang sudah mempunyai pamor di organisasi besar tersebut.
Sosok Ali Maschan Moesa sebagai Ketua PWNU Jatim akhirnya bersedia mendampingi Soenarjo dalam pilgub nanti. Sesuai hasil Konferwil NU di Probolinggo (2-4 November 2007) kemarin, Ali Maschan terpilih secara aklamasi menjadi Ketua PWNU Jatim dengan syarat menandatangani kontrak jam’iyyah yang merupakan kontrak sosial antara beliau dengan utusan NU cabang se-Jawa Timur. Kontrak tersebut mengamanatkan Ketua terpilih tidak boleh berpolitik praktis, dan kalau tetap terjun di dalamnya, maka yang bersangkutan harus non-aktif.
Dalam menanggapi fenomena seperti ini, warga NU yang agak keberatan terhadap jalan politik yang di ambil oleh Ali Maschan harus bersikap lebih dewasa. Karena sebenarnya, kalau kembali ke AD/ART NU tidak ada larangan untuk menjadi cagub-cawagub. AD/ART hanya menyebut agar para pengurus yang mencalonkan diri menjadi cagub-cawagub untuk non-aktif. Meskipun demikian, secara kultur-psikologis, sebagian warga NU sendiri kurang menyetujui langkah Ketua PWNU Jatim ini.
Jalan Panjang Menuju Pilgub
Tulisan ini selanjutnya bukan hendak mengklaim benar atau tidak, baik atau buruk atau bahkan menghakimi dan mengadili gerakan politik cagub maupun cawagub yang akan bersaing memperebutkan Jatim I dan Jatim II tersebut, terlepas dari dilematisnya PKB sebagai parpol dan NU sebagai non-parpol dalan penentuan cagub dan cawagub, terutama dengan sosok Ali Maschan Moesa yang sejak awal sudah diperebutkan. Tulisan ini hanya sebatas refleksi terhadap wacana yang berkembang seputar pilgub Jatim, menganalisa peta politik kaitannya dengan basis massa masing-masing, apalagi ditambah dengan Ali Maschan Moesa yang sudah menyalakan lampu hijau untuk mendampingi Soenarjo.
Pertama, lebih dari 30.000 kader Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN) menyemarakkan deklarasi pasangan cagub dan cawagub yang mereka usung, Soekarwo dan Syaifullah Yusuf, pada minggu (17/2) kemarin di Gelora Pantjasila Surabaya. Ini menandakan bahwa mereka tinggal mempersiapkan diri bagaimana langkah dan gerakan kampanye nanti dalam rangka mendulang suara sebanyak mungkin.
Pasangan ini sudah mendapat restu dan dukungan dari sebagian Ulama PKB dan PKNU, antara lain KH. Abdullah Sahal, KH. Mahrus Malik, KH. Anwar Iskandar, KH. Imam Yahya, KH. Fahrurrozi Burhan, dan KH. Masduqi Mahfudz.
Kedua, mengenai calon wakil gubernur yang akan mendampingi Sutjipto, ketua pemenangan Sutjipto dari DPP PDI-P Jatim Ali Mudji mengatakan, bahwa penentuan cawagub masih menunggu rapat Pimpinan Wilayah PPP yang rencananya akan digelar akhir pekan ini.
Sejauh ini, nama cawagub yang muncul antara lain Ketua Umum Muslimat NU Khafifah Indar Parawansa, Ketua Kosgoro 1957 Jatim Ridlwan Hisyam dan Ketua DPW PPP Jatim Farid Al Fauzi. Meskipun sebelumnya sudah tersiar kabar bahwa PPP akan mengusung Djoko Subroto bersama partai-partai lain dan parpol non-parlemen, Ali mengatakan PDI-P dan PPP sudah bersepakat untuk membangun koalisi.
Ketiga, Ali Maschan Moesa yang kemudian berhasil disunting oleh cagub Soenarjo dapat diprediksikan, bahwa kompetisi hangat antar calon kepala daerah Jatim ini benar-benar akan menjadi kenyataan. Sebab peluang pasangan Soenarjo dan pasangan Soekarwo untuk menang diperkirakan fifty-fifty. Oleh karena itu, sejak awal Soenarjo sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menggandeng Ketua PWNU Jatim tersebut, walaupun sebelumnya Ali Maschan dikabarkan sempat dilirik oleh cagub dari PKB, Achmady.
Logikanya, seandainya Ali Maschan Moesa berpasangan dengan Achmady, sedangkan Soenarjo berpasangan dengan figur lain, maka dapat dipastikan bahwa pasangan Soekarwo dan Syaifullah Yusuf yang akan berpeluang besar memenangkan pilgub Jatim ini. Walapun tidak bisa disangkal juga kemudiaan, seandainya Achmady berhasil menggaet Ali Maschan Moesa, maka juga berpeluang besar untuk menang karena mengingat pasangan ini sama-sama berangkat dari kultur organisasi yang sama, yaitu Nahdlatul Ulama, dan ini bisa dinilai akan lebih baik untuk konsolidasi internal organisasi NU.
Namun, sudah tidak bisa dibayangkan apabila Ali Maschan Moesa memilih berdampingan dengan Soenarjo, dan ini benar-benar sudah terjadi, karena Suara massa PKB sebagai partai politik yang mengusung cagub Achmady dan NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan akan pecah, meskipun PKB dan NU secara kultur organisatoris adalah sama.
Hal ini mungkin akan menimbulkan semakin mengerasnya resistensi NU serta perseteruan antara PKB, PBNU, dan Gus Dur. Dan tidak menutup kemungkinan pula, NU disoroti sebagai pragmatis sempit kalau tidak secepatnya di antisipasi.
Terlepas dari keberhasilan Soenarjo menggandeng Ali Maschan, Jika Mochammad Toha menulis Mengapa Cagub Berebut Ali Maschan? (Kompas, 19/2), ini sudah jelas dan pasti karena sosok seorang Ali Maschan layak untuk diperebutkan, di samping sebagai Ketua PWNU Jatim yang notabene mempunyai basis massa kuat dan mayoritas, khususnya di tingkat Jatim, beliau juga belum pernah terkotori oleh hal-hal yang berbau politik praktis.
Kemudian, tulisan tersebut yang juga memancing ide Salahuddin Wahid untuk menulis Mengapa PKB Tidak Mengincar Ali Maschan? (Kompas, 21/2), ini tidak terlepas proses penjaringan calon di internal partai. PKB tidak menunjuk kader untuk menjadi cagub atau cawagub, tetapi membuka pendaftaran, dan yang mendaftarkan diri adalah Achmady sedangkan Ali Maschan Moesa tidak. Di samping itu, Ali Maschan Moesa dinilai bukanlah sosok yang pernah aktif secara langsung di kepemerintahan, yakni pengalaman sebagai eksekutif.
Terlepas dari fenomena tersebut, sosok Ali Maschan Moesa sebagai figur NU yang masih belum ternodai dengan hal-hal yang berbau politik birokrasi dan juga masih disegani di tingkat Jawa Timur, walaupun sudah menentukan pilihan untuk berpasangan dengan Soenarjo, masuk dalam lingkaran pertarungan pilgub Jatim 2008, ini bukan berarti hancurnya semangat untuk tetap memperjuangkan Khitthah Nahdliyyah secara kultural-subtansial.
Walaupun sebenarnya sebagian warga Nahdliyin masih mengharap agar seorang Ali Maschan tetap memilih untuk berjuang di NU, namun apalah daya nasi sudah menjadi bubur, harus diterima dengan lapang dada. Secara AD/ART NU, memang Ali Maschan memang tidak melanggar. Namun berhubung kontrak jam’iyyahnya lebih di maknai kontrak sosial, maka secara psikologis, Ali Maschan telah “melukai” sebagian warga NU khususnya wilayah Jawa Timur yang telah mengamanatinya untuk tidak membawa NU ke politik praktis.
Bagi warga NU Jatim khususnya dan warga Jatim pada umumnya, bahwa faktor ikut atau tidaknya seorang Ali Maschan Moesa di kancah pilgub Jawa Timur tetap akan mempengaruhi NU-PKB terutama di wilayah Jawa Timur itu sendiri. Kita harus merelakan apa yang sudah terjadi dan berusaha antisipatif terhadap hal-hal yang tidak di inginkan yang bakal terjadi.
Jadi sampai saat ini sudah dua calon Gubernur yang mempunyai pasangan, Soenarjo berpasangan dengan Ali Maschan Moesa, serta Soekarwo dan Syaifullah Yusuf sebagai pasangan cagub dan cawagub. Tinggal cagub Achmadi dan cagub Sutjipto yang masih belum menemukan titik terang siapa pasangan mereka.
Dari keempat cagub tersebut, dua pada posisi di atas, yaitu Soenarjo dan Soekarwo, dan dua pada posisi di bawah, yaitu Achmady dan Sutjipto. Maka dari ini dapat kita baca bahwa calon wakil gubernur (cawagub) Jatim dipandang sangat menentukan serta besar peranannya dalam mendulang suara.
Cagub Soekarwo sudah berhasil menggandeng cawagub Syaifullah Yusuf yang kelihatannya akan membantu, dan tampaknya Soenarjo juga sudah berhasil menggaet Ali Maschan Moesa yang menambah proses pilgub nanti akan semakin hangat. Sedangkan cagub Sutjipto masih belum jelas juga siapa yang akan mendampinginya sebagai cawagub. Jadi bisa dipastikan, Jawa Timur yang notabene berbasis mayoritas Nahdlatul Ulama, cagub sejak awal sudah mulai bergerilya mencari tokoh NU atau paling tidak menjaring orang-orang yang sudah mempunyai pamor di organisasi besar tersebut.
Sosok Ali Maschan Moesa sebagai Ketua PWNU Jatim akhirnya bersedia mendampingi Soenarjo dalam pilgub nanti. Sesuai hasil Konferwil NU di Probolinggo (2-4 November 2007) kemarin, Ali Maschan terpilih secara aklamasi menjadi Ketua PWNU Jatim dengan syarat menandatangani kontrak jam’iyyah yang merupakan kontrak sosial antara beliau dengan utusan NU cabang se-Jawa Timur. Kontrak tersebut mengamanatkan Ketua terpilih tidak boleh berpolitik praktis, dan kalau tetap terjun di dalamnya, maka yang bersangkutan harus non-aktif.
Dalam menanggapi fenomena seperti ini, warga NU yang agak keberatan terhadap jalan politik yang di ambil oleh Ali Maschan harus bersikap lebih dewasa. Karena sebenarnya, kalau kembali ke AD/ART NU tidak ada larangan untuk menjadi cagub-cawagub. AD/ART hanya menyebut agar para pengurus yang mencalonkan diri menjadi cagub-cawagub untuk non-aktif. Meskipun demikian, secara kultur-psikologis, sebagian warga NU sendiri kurang menyetujui langkah Ketua PWNU Jatim ini.
Jalan Panjang Menuju Pilgub
Tulisan ini selanjutnya bukan hendak mengklaim benar atau tidak, baik atau buruk atau bahkan menghakimi dan mengadili gerakan politik cagub maupun cawagub yang akan bersaing memperebutkan Jatim I dan Jatim II tersebut, terlepas dari dilematisnya PKB sebagai parpol dan NU sebagai non-parpol dalan penentuan cagub dan cawagub, terutama dengan sosok Ali Maschan Moesa yang sejak awal sudah diperebutkan. Tulisan ini hanya sebatas refleksi terhadap wacana yang berkembang seputar pilgub Jatim, menganalisa peta politik kaitannya dengan basis massa masing-masing, apalagi ditambah dengan Ali Maschan Moesa yang sudah menyalakan lampu hijau untuk mendampingi Soenarjo.
Pertama, lebih dari 30.000 kader Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN) menyemarakkan deklarasi pasangan cagub dan cawagub yang mereka usung, Soekarwo dan Syaifullah Yusuf, pada minggu (17/2) kemarin di Gelora Pantjasila Surabaya. Ini menandakan bahwa mereka tinggal mempersiapkan diri bagaimana langkah dan gerakan kampanye nanti dalam rangka mendulang suara sebanyak mungkin.
Pasangan ini sudah mendapat restu dan dukungan dari sebagian Ulama PKB dan PKNU, antara lain KH. Abdullah Sahal, KH. Mahrus Malik, KH. Anwar Iskandar, KH. Imam Yahya, KH. Fahrurrozi Burhan, dan KH. Masduqi Mahfudz.
Kedua, mengenai calon wakil gubernur yang akan mendampingi Sutjipto, ketua pemenangan Sutjipto dari DPP PDI-P Jatim Ali Mudji mengatakan, bahwa penentuan cawagub masih menunggu rapat Pimpinan Wilayah PPP yang rencananya akan digelar akhir pekan ini.
Sejauh ini, nama cawagub yang muncul antara lain Ketua Umum Muslimat NU Khafifah Indar Parawansa, Ketua Kosgoro 1957 Jatim Ridlwan Hisyam dan Ketua DPW PPP Jatim Farid Al Fauzi. Meskipun sebelumnya sudah tersiar kabar bahwa PPP akan mengusung Djoko Subroto bersama partai-partai lain dan parpol non-parlemen, Ali mengatakan PDI-P dan PPP sudah bersepakat untuk membangun koalisi.
Ketiga, Ali Maschan Moesa yang kemudian berhasil disunting oleh cagub Soenarjo dapat diprediksikan, bahwa kompetisi hangat antar calon kepala daerah Jatim ini benar-benar akan menjadi kenyataan. Sebab peluang pasangan Soenarjo dan pasangan Soekarwo untuk menang diperkirakan fifty-fifty. Oleh karena itu, sejak awal Soenarjo sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menggandeng Ketua PWNU Jatim tersebut, walaupun sebelumnya Ali Maschan dikabarkan sempat dilirik oleh cagub dari PKB, Achmady.
Logikanya, seandainya Ali Maschan Moesa berpasangan dengan Achmady, sedangkan Soenarjo berpasangan dengan figur lain, maka dapat dipastikan bahwa pasangan Soekarwo dan Syaifullah Yusuf yang akan berpeluang besar memenangkan pilgub Jatim ini. Walapun tidak bisa disangkal juga kemudiaan, seandainya Achmady berhasil menggaet Ali Maschan Moesa, maka juga berpeluang besar untuk menang karena mengingat pasangan ini sama-sama berangkat dari kultur organisasi yang sama, yaitu Nahdlatul Ulama, dan ini bisa dinilai akan lebih baik untuk konsolidasi internal organisasi NU.
Namun, sudah tidak bisa dibayangkan apabila Ali Maschan Moesa memilih berdampingan dengan Soenarjo, dan ini benar-benar sudah terjadi, karena Suara massa PKB sebagai partai politik yang mengusung cagub Achmady dan NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan akan pecah, meskipun PKB dan NU secara kultur organisatoris adalah sama.
Hal ini mungkin akan menimbulkan semakin mengerasnya resistensi NU serta perseteruan antara PKB, PBNU, dan Gus Dur. Dan tidak menutup kemungkinan pula, NU disoroti sebagai pragmatis sempit kalau tidak secepatnya di antisipasi.
Terlepas dari keberhasilan Soenarjo menggandeng Ali Maschan, Jika Mochammad Toha menulis Mengapa Cagub Berebut Ali Maschan? (Kompas, 19/2), ini sudah jelas dan pasti karena sosok seorang Ali Maschan layak untuk diperebutkan, di samping sebagai Ketua PWNU Jatim yang notabene mempunyai basis massa kuat dan mayoritas, khususnya di tingkat Jatim, beliau juga belum pernah terkotori oleh hal-hal yang berbau politik praktis.
Kemudian, tulisan tersebut yang juga memancing ide Salahuddin Wahid untuk menulis Mengapa PKB Tidak Mengincar Ali Maschan? (Kompas, 21/2), ini tidak terlepas proses penjaringan calon di internal partai. PKB tidak menunjuk kader untuk menjadi cagub atau cawagub, tetapi membuka pendaftaran, dan yang mendaftarkan diri adalah Achmady sedangkan Ali Maschan Moesa tidak. Di samping itu, Ali Maschan Moesa dinilai bukanlah sosok yang pernah aktif secara langsung di kepemerintahan, yakni pengalaman sebagai eksekutif.
Terlepas dari fenomena tersebut, sosok Ali Maschan Moesa sebagai figur NU yang masih belum ternodai dengan hal-hal yang berbau politik birokrasi dan juga masih disegani di tingkat Jawa Timur, walaupun sudah menentukan pilihan untuk berpasangan dengan Soenarjo, masuk dalam lingkaran pertarungan pilgub Jatim 2008, ini bukan berarti hancurnya semangat untuk tetap memperjuangkan Khitthah Nahdliyyah secara kultural-subtansial.
Walaupun sebenarnya sebagian warga Nahdliyin masih mengharap agar seorang Ali Maschan tetap memilih untuk berjuang di NU, namun apalah daya nasi sudah menjadi bubur, harus diterima dengan lapang dada. Secara AD/ART NU, memang Ali Maschan memang tidak melanggar. Namun berhubung kontrak jam’iyyahnya lebih di maknai kontrak sosial, maka secara psikologis, Ali Maschan telah “melukai” sebagian warga NU khususnya wilayah Jawa Timur yang telah mengamanatinya untuk tidak membawa NU ke politik praktis.
Bagi warga NU Jatim khususnya dan warga Jatim pada umumnya, bahwa faktor ikut atau tidaknya seorang Ali Maschan Moesa di kancah pilgub Jawa Timur tetap akan mempengaruhi NU-PKB terutama di wilayah Jawa Timur itu sendiri. Kita harus merelakan apa yang sudah terjadi dan berusaha antisipatif terhadap hal-hal yang tidak di inginkan yang bakal terjadi.
* Anwar Nuris, Sekjend HMJ Kependidikan Islam Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Pengelola Komunitas Sastrawan-Intelektualis SENJANUARI Surabaya. Salah satu kontributor fungsionaris Ikatan Mahasiswa Sumenep (IKMAS) di Surabaya. Tulisan ini sudah dimuat di Koran SURABAYA PAGI, 25 Februari 2008.