Pendopo

Terhampar seluruh getar hati dalam setiap kata dan maknanya. Terdendang sebuah kisah yang sempat tertoreh di seperempat waktu. Kebahagiaan terasa hanya beberapa kejap dari usia yang tak lagi dihitung oleh hitungan tahun tetapi oleh kedalaman rasa. Maka, di atas sajadah kata ini, ku berusaha memetik dawai hati, nyanyikan kidung sunyi yang rindukan buaian mimpi. Tak usah membuka telinga, belalakkan mata, apalagi memaksa batu bicara pada takdir. Bukan pula penulis, tetapi tetap mencoba menulis.

METODE INDUKSI DALAM QAWAID FIQHIYAH


Judul Buku : Hukum Manusia sebagai Hukum Tuhan
Penulis : Dr. H. Abdul Mun’im Saleh, M.Ag.
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Desember, 2009
Tebal : x + 343 halaman
Peresensi : Anwar Nuris*



Secara praktis, fikih biasanya dibahasaindonesiakan dengan hukum Islam yang dalam bahasa Inggris disebut Islamic law atau Islamic jurisprudence. Fikih diartikan oleh Imam Abu Hanifah dengan pengetahuan seseorang tentang hak dan kewajibannya. Cakupan dalam pengertian ini berwilayah amat luas, tetapi filosofinya amat sederhana. Yaitu seseorang yang dalam teksnya dinyatakan al-nafs yang kemudian dinyatakan sebagai pihak yang mempunyai pengetahuan (ma’rifat/knowledge) tentang hak dan kewajibannya.
Hak dan kewajiban merupakan fenomena manusia dalam berinteraksi, sebab sesungguhnya interaksi (sosial) manusia dalam masyarakat itu adalah menunaikan kewajiban dan menerima hak. Hak dan kewajiban bagi manusia itu berdimensi sakral (berhubungan dengan Tuhan) dan berdimensi profan (berkenaan dengan sesama dan lingkungannya). Fenomena ini sebenarnya memperlihatkan bahwa manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon menurut Aristoteles; madaniyyun bit-thab’i menurut Ibnu Khaldun). Dengan demikian, Fikih dalam kawasan yang abstrak adalah pengetahuan manusia tentang posisinya (hak dan kewajiban) sebagai makhluk sosial. Demikianlah sekilas tentang fikih yang berkenaan dengan perbuatan manusia (mukallaf).
Disisi lain, Noel J. Coulson di tengah kritiknya tentang miskinnya aspek historis dalam literatur kajian hukum Islam, menegaskan bahwa sejarah hukum Islam memang sebenarnya ada, dan syari’ah pun menjadi sistem hukum yang berevolusi. Hukum Islam (klasik) merupakan puncak proses kesejarahan dari usaha untuk menerapkan kehendak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Dengan kata lain, ia merupakan usaha untuk menjabarkan kemauan dan ajaran Tuhan dalam istilah-istilah hukum.
Kemauan Tuhanlah yang kita cari, hal itu merupakan cerminan dari sebuah masyarakat yang meyakini hakikat hukum Tuhan adalah hukum Tuhan. Dalam kajian sosiologi hukum, diyakini terdapat korelasi positif antara hakikat hukum bagi masyarakat dengan hakikat sistem sosialnya. Jika orang memahami hukum sebagai fenomena sosial, maka ia akan mengerti lebih banyak tentang masyarakat yang memilikinya. 
Ketika para pemikir Islam beramai-ramai menyerukan ditemukannya nilai Islam yang fundamental (maqashidus syari’ah) untuk menghadapi kasus-kasus hukum baru yang dipicu oleh perubahan sosial yang demikian pesat, mereka belum berhasil mendapatkan solusi bagaimana nilai-nilai itu ditemukan beserta aplikasinya untuk menciptakan sosok fiqh yang dianggap situasional dan dapat dipertanggungjawabkan secara epistimologis menurut Islam.
Masdar Farid Mas’udi mengemukakan bahwa nilai-nilai (ajaran Islam) itu sah dengan sendirinya, bersifat prinsipil dan fundamental serta kebenaran dan keabsahannya tidak memerlukan verifikasi dari luar dirinya, sehingga harus dijunjung tinggi sedemikian rupa dan teks sucipun harus tunduk kepadanya.
Sedangkan Munawir Sjadzali dengan isu reaktualisasi menyerukan ditemukannya apa yang disebut dengan ruh Islam yang paling mendasar. Segala hasil pemahaman dan penafsiran terhadap Islam yang tidak sesuai dengan ruh Islam harus dibongkar. Begitu pula dengan isu yang dihembuskan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan isu pribumisasi Islam dan Nurcholis Madjid dengan argumennya tentang kontekstualisasi ajaran Islam.
Selama masa percaturan pemikiran hukum Islam tersebut, tidak satupun tokoh yang memperhatikan salah satu khazanah keilmuan yang penting bagi umat Islam, yaitu al-qawaidul fiqhiyah. Mereka juga tidak menyodorkan sumbangan kajian aspek metodologis dan hanya berkutat pada perbincangan filosofis.
Al-qawaidul fiqhiyah merupakan kekayaan keilmuan Islam yang bisa disebut sebagai model penemuan maqashidus syari’ah atau nilai-nilai fundamental, karena ilmu ini merupakan aspek prosedural dari pengelolaan maslahah yang telah disepakati sebagai tujuan hukum Islam. Rumusan-rumusan kaidahnya yang bersifat universal-abstrak meniscayakan penggunaan metode induktif, berangkat dari partikular-partikular hasil pemikiran fikih menuju kesimpulan general-universal yang berbasis pada kesamaan atau padanan.
Kaidah-kaidah dari ilmu ini dilukiskan oleh pemikir kontemporer sebagai lukisan yang baik tentang prinsip-prinsip fiqh dan pedoman bagi penyusunan hukum positif (furu’). Para fuqaha’ perintis dan penyusun ilmu ini dengan demikian telah menyediakan fasilitas untuk memandu langkah-langkah penalaran hukum dalam berbagai tingkatannya berikut contoh-contohnya.
Meskipun demikian, diskursus di atas hanya sebatas persepsi orang tentang ijtihad yang selama ini tidak memperhitungkan peranan al-qawaidul fiqhiyah. Berfikir mengembangkan hukum Islam tanpa menyertakan fasilitas yang diberikan ilmu hukum Islam adalah menyalahi logika kemajuan ilmu pengetahuan yang selalu merupakan akumulasi pengetahuan dari masa lalu untuk dijadikan pijakan kemajuan masa kini dan mendatang.
Buku Hukum Manusia sebagai Hukum Tuhan, Berpikir Induktif Menemukan Hakikat Hukum Model Al-Qawaid Al-Fiqhiyah ini bermaksud menjelaskan makna dari segala aktifitas pemikiran hukum di luar apa yang secara konvensional disebut ijtihad yang biasanya dipersepsi sebagai aktifitas nalar deduktif atas sumber tekstual (nash) dan secara tipikal bisa dipahami sebagai bidang peranan ilmu ushul fiqh saja. 
Buku setebal 343 halaman ini disamping mengkaji keterlibatan metode induktif dalam pengembangan fiqh juga bisa disimak bagaimana pembacaan kritis penulis terhadap kitab yang dikaji yaitu Al-asbah wan nazhair susunan as-Suyuthi sebagai kitab yang paling popular di dunia Islam. (Hal. 168)
Meskipun berasal dari proses penelitian akademis (desertasi), dengan bahasa lugas yang mudah dipahami oleh kaum awam sekalipun, buku ini menjelaskan secara detail mekanisme-aplikatif metode induksi dalam penyusunan kaidah fiqh serta implementasinya dalam proses pengembangan hukum Islam sehingga hasilnya tetap diyakini sesuai dengan bingkai hukum Tuhan.

* Peresensi adalah kandidat Es Wan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, sekarang masih nyantri di Pondok Budaya IKON Surabaya. Tulisan ini sudah di NU Online PB NU, Edisi 18 Februari 2010.